Teori politik empiris terdiri dari 3 (tiga) teori, yaitu teori behavioralis, rational-choice, dan discourse-theory.
1. Behavioral Analysis
- Konsentrasi pada penjelasan perlaku politik pada level individu.
- Metodologi; menggunakan data-data agrgate dan analisis kuantitatif; menggunakan hipotesis
- Sifat teori; (a). empiris, (b). kausal (sebab-akibat), dapat melakukan predisksi.
2. Rational Choice Theory
Dalam rational choice theory, perilaku politik hanya bisa dipahami sebagai hash pilihan rasional berdasarkan self interested individuals. Asumsi dasar teori ini adalah setiap individu mempunyai kapasitas rasional; dimana individu dapat menentukan rangking dari berbagai pilihan yang dimilikinya; serta membuat pilihan yang memaksimalkan kepentingannya.
Pada mulanya rational choice theory, banyak digunakan oleh ilmuwan ekonomi, sebagai methode standar ekonomika mikro. Namun, rational choice kemudian muncul sebagai teori yang berpengaruh dalam ilmu politik sejak pertengahan tahun 1950-an (dengan pioner Anthony Downs).
Pada awalnya digunakan untuk memahami perilaku pemilih dalam pemilu dan kompetisi antar partai politik
Variasnya meliputi: game theory : social choice theory ; dan public choice theory. .Game Theory memasuki tema-tema strategi interdependensi yang banyak berguna dalam menjelaskan formasi dalam koalisi legislatif, serta tindakantindakan kolektif termasuk dalam menjelaskan fenomena hubungan internasional.
Game Theory percaya dengan ekuilibrium dari interdependensi tersebut. Social choice theory menyangkut tentang agregasi preferensi kepentingan individual warga negara menghasilan rangking sosial dari alternatif tindakan. Sedangkan, tema yang penting dalam public choice theory adalah intervensi pemerintahan ke dalam memperbaiki kesalahan pasar sering lebih banyak mendatangkan masatah dibandingkan mengatasinya.
Argumen yang dimunculkan adalah kombinasi antara kepentingan birokrasi untuk “maximising their budgets” dengan kontrol birokrasi atas informasi tentang public goods justru menghasilkan pengorbanan waga negara. Tema yang lain adalah kehadiran pemburu rente (rent seeking) yang disebutkan mempunyai kosekuensi pada pada efisiensi pasar dan memperlamban pertumbuhan ekonomi.
Orientasi methodologinya; deductive reasoning; prediksi; empirical theory, dan sifat teori: empirical; predictive dan peskriptif.
Kritik terhadap teori ini berasal dari: the heretics; sosiologist; psikologist; serta arus utama ilmu politik. Salah satu kritik yang penting dari the heretics adalah berkaitan dengan pertanyaan atas kapasitas rasional dari individu dalam limitasi (keterbatasan) informasi, waktu, serta kapasitas kognitif individu dalam memproses informasi. Kritik dari kalangan sosiologist menekankan bahwa perilaku individu lebih ditentukan oleh fungsi dan posisi dalam struktur sosial.
Sociologist lebih melihat variabel kelas sosial, lokasi geografi, gender, pola produksi dan konsumsi serta agama sebagai variabel determinan dalam perilaku politik. Sedangkan kritik kalangan psikologis bersumber pada pandangan mereka bahwa faktor-faktor irrasional (cemburu/ iri hati, dendam, rasa bersalah, keserakahan) juga mendorong motivasi individu. Kritik lain menyangkut pengaruh ideologi dalam menentukan pilihan politik serta ketidakmampuan rational choice theory untuk menjelaskan kemampuan partai untuk melakukan manipulasi preferensi pemilih.
3. Discourse Theory
Discourse analysis menekankan pada bagaimana diskursus- struktur pemaknaan- bisa menimbulkan tindakan-tindakan yang pasti; bagiaman wacana diproduksi, berfungsi dan berubah. Konsep diskursus tidak hanya menyangkut ideologi, melainkan juga seluruh praktik-praktik sosial dan politik.
Discourse Theory mendapatkan inspirasi dari ilmu-ilmu interpretative, seperti; hermeneutics, phenomenology, structuralims dan decontruction. Sedangkan orientasi methodologinya adalah relativist, yaitu melarutkan perbedaan antara realisme ide, dengan realisme obyek dengan menempatkan wacana sama bermaknanya dengan melihat semua obyek dan tindakan. Dan sifat teorinya empirical.
Konsep-konsep penting dalam discourses theory; antagonisme; subyektivitas dan agency; hegemoni. Konsep antagonisme menempati tempat yang sentral dalam discourse theory, sehingga memunculkan penanda/ pembeda antara ‘lawan” dan “kawan’; penjajah dengan yang terjajah.
Konsep kedua yang penting dalam soal agency. Berbeda dengan pandangan deterministik yang melihat subyek ditentukan (terkonstruksikan) posisinya dalam struktur kelas ataupun ideologi. Discourse theory justru melihat bahwa individu dapat memiliki berbagai subject position; individu bisa menjadi buruh, kristiani, enviromentalist, nasionalis dan perempuan.
Sehingga, individu akan bertindak sesuai dengan secara berbeda-beda tergantung pada identitas apa yang diperlihatkannya. Konsep ketiga adalah hegemoni. Dalam discouses analysis, upaya memperjuangkan dan mempertahakan hegemoni dalam proyek politik merupakan sesuatu yang sangat penting.Teori politik empiris terdiri dari 3 (tiga) teori, yaitu teori behavioralis, rational-choice, dan discourse-theory.