Pada abad 20, proses percepatan urbanisasi, khususnya di negara-negara dunia ketiga, merupakan sesuatu yang sangat fenomenal. Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 6.1, apabila pada tahun 1950 baru sekitar 17 persen penduduk di dunia ketiga tinggal di wilayah perkotaan, pada akhir abad 20, jumlah penduduk perkotaan di dunia ketiga akan mencapai sekitar 45 persen dari total jumah penduduk.
1. Urbanisasi dan perkembangan kota
Antara saat ini dan tahun 2025, prosentase penduduk yang tinggal di perkotaan akan mencapai sekitar 85 persen di negara-negara maju dan sekitar 61 di negara-negara berkembang atau dunia ketiga. Pada tahun 2025 tersebut, juga diproyeksikan bahwa sekitar 80 persen penduduk perkotaan di dunia akan tinggal di kota-kota negara berkembang.
Tabel : Kecenderungan dan proyeksi penduduk perkotaan per wilayah, 1950 -2000
Lebih lanjut, jumlah absolut penduduk perkotaan di dunia juga menunjukkan angka yang sangat fenomenal. Apabila pada tahun 1975, baru terdapat sebesar
1,54 milyar penduduk dunia yang tinggal di wilayah perkotaan, pada tahun 2000, diproyeksikan terdapat 2,92 milyar penduduk dunia yang tinggal di perkotaan. Penting dicatat bahwa angka ini akan berlipat dua kali pada tahun 2025 nanti, dimana sekitar 5,07 milyar penduduk dunia akan tinggal di wilayah perkotaan (Unitaed Nation, 1995).
Peningkatan jumlah penduduk dunia yang tinggal di perkotaan tentunya mempunyai implikasi yang sangat besar bagi perkembangan dan penataan kota. terutama karena tuntutan perkembangan berbagai fasilitas dan ruang kota. Lebih lanjut, pertambahan penduduk kota juga mempunyai implikasi lingkungan yang besar, karena tidak saja tekanan terhadap areal-areal pertanian subur di sekitar kota meningkat, akan tetapi lingkungan kota itu sendiri semakin menimbulkan banyak persoalan-persoalan lingkungan, terutama berkaitan dengan limbah dan polusi.
Fenomena lain yang menarik dan perlu dicatat dalam kaitannya dengan percepatan urbanisasi di negara-negara berkembang menyangkut membengkaknya jumlah kota-kota besar atau apa yang sering disebut sebagai kota metropolitan atau juga mega cities. Bertambahnya jumlah kota-kota besar ini sangat penting dikaji, oleh karena mempunyai implikasi yang sangat signifikan dalam memberikan tekanan terhadap lingkungan serta model-model penataan ruang kota.
Seperti terlihat dalam Tabel 6.2, Tabel 6.3, dan Kotak 6.1, pada tahun 2000, akan terdapat sekitar 50 kota di dunia yang berpenduduk lebih dari 4 juta jiwa. Lebih lanjut, pada tahun tersebut, enam kota terbesar di dunia akan berada di benua Asia dan dua di Amerika Latin. Pada tahun 2025, delapan belas dari dua puluh lima kota terbesar di dunia diperkirakan akan berada di negara-negara berkembang (United Nations, 1995).
Gambar : Perkembangan penduduk perkotaan di dunia
Catatan: ECA: Europe and Central Asia; LAC: Latin America and the Caribbean, MENA: Middle East and North Africa
Tabel : Distribusi besaran kota di negara berkembang
Di benua Asia sendiri, fenomena berkembangya kota-kota besar perlu mendapat perhatian yang serius, karena implikasi lingkungan, sosial, serta politiknya yang sangat kompleks. Sebagamana dapat dilihat dalam Tabel 6.3,. terdapat sembilan kota-kota besar di Asia yang menunjukkan perkembangan sangat mencolok.
Dari sembilan kota tersebut. diproyeksikan bahwa pada tahun 2025 mendatang, lima darinya akan mempunyai penduduk lebih dari 20 juta jiwa (Bangkok, Beijing, Jakarta, Shanghai, dan Tokyo). Angka-angka tersebut tentunya perlu mendapat perhatian yang serius bagi para perencana dan pengelola kota, oleh karena akan mempunyai implikasi yang luas bagi perkembangan dan penataan kota. Menata perkembangan kota dengan penduduk lebih dari 20 juta tentunya bukan merupakan sesuatu yang mudah, karena berarti seperti menata seluruh penduduk Kanada atau Australia, “hanya” dalam satu spot atau kota saja.
Tabel : Proyeksi penduduk di sembilan kota besar di Asia
Sebagaimana telah banyak dikaji dan didokumentasi, terdapat kecenderungan bahwa kondisi lingkungan kota-kota besar di dunia ketiga menunjukkan penurunan yang sangat tajam. Hal ini tentunya sangat tidak positip karena sebagian besar penduduk dunia ketiga justru tinggal di kota-kota besar. Lebih lanjut, penelitian juga menunjukkan bahwa persoalan-persoalan lingkungan di kotakota besar jauh lebih kompleks dan sulit dicari pemecahannya dibanding persoalan lingkungan kota-kota sedang atau kecil. Persoalan sosial kota-kota besar juga cenderung sangat kompleks dan rumit serta membutuhkan penanganan yang
hatihati. Singkatnya kecenderungan bertambahnya jumlah kota-kota besar di negaranegara berkembang menuntut model-model penanganan lingkungan kota yang spesifik dan kompleks.
2. Klasifikasi perkotaan berdasarkan karekteristik demografi
Berikut empat prinsip dasar klasifikasi kota yang di dunia berkembang saat ini dibedakan berdasar populasi, angka pertumbuhan, keanekaragaman peraturan dan kemampuan administrasi :
• Kota Metropolitan : Jumlah kota-kota dengan kepadatan penduduk lebih dari 2 juta akan bertambah dari 112 pada 1990 hingga 172 pada akhir abad ini. Angka pertumbuhan urban yang ada didalamnya akan terus bertambah 4 persen pertahun dalam dekade ini. Kebanyakan dari pertumbuhan ini akan terkonsentrasi pada kawasan pinggiran, ataupun pengurangan pada pusat kota. Kota metropolitan ini akan bertambah jumlahnya di negara berkembang, dan kota ini dapat mempunyai beberapa model pengelolaan kota.
• Kota Besar: Kota dengan populasi antara 500.000 sampai dengan 2 juta jiwa ini adalah kota yang paling cepat tumbuh dibandingkan kota metropolitan. Di negara berkembang, kebanyakan kota dalam katagori ini akan menjadi kawasan besar metropolitan dalam satu-dua dekade, hanya dengan memindahkan pusat kota baru ke kota berukuran sedang atau menengah. Saat ini ada sekitar 330 kota seperti ini di negara berkembang, dan diperkirakan akan menjadi 400 kota pada tahun 2000 ( lihat tabel 2.2). Sekitar seperlima dari populasi urban ada pada kawasan ini, namun angkanya terus berkurang Ilayaknya kota besar yang beralih ke metropolitan
• Kota sedang : Saat ini terdapat sekitar 1.400 kota dengan penduduk 100.000-
500.000 jiwa. Jenis kota semacam ini terus berkembang, tetapi jumlah penduduk urban mengalami penurunan. Sekitar 14 persen dari seluruh penduduk kota di dunia berada di kota seperti ini.
• Kota kecil : Kurang lebih sepuluh dari seribu pusat urban di dunia dengan penduduk kurang dari 100.000 jiwa, serta 36% penduduk urban di dunia tinggal di
kawasan ini. Meskipun demikian jumlah penduduk ini terus mengalami penurunan. Pada umumnya kota kecil mempunyai pemerintahan yang lemah, meskipun beberapa diantaranya mempunya pemerintahan yang penting. Banyak dari kota kecil merupakan pusat penelitian di bidang pertanian.
Perluasan kawasan kota terjadi di negara-negara berkembang. Diantaranya perluasan kawasan metropolitan, seperti kawasan metropolitan Bangkok dan Sao Paulo, serta perluasan kawasan Industri, seperti terjadi di kawasan industri Upper Silesian di dekat Katowice, Polandia.
Source : United Nations, 1985 dan National Institute of Urban Affairs, 1988
3. Implikasi Urbanisasi dan Perkembangan Kota Terhadap Persoalan Lingkungan
Sebagaimana dapat diduga, implikasi percepatan urbanisasi dan perkembangan kota di dunia terhadap persoalan-persoalan lingkungan sangatlah besar dan kompleks.
Urbanisasi dan perkembangan kota berarti:
- meningkatnya tekanan terhadap daerah-daerah pertanian subur atau daerah-daerah yang mempunyai nilai ekologis penting,
- meningkatnya limbah, polusi, serta berbagai persoalan lingkungan urban lain.
Lebih menarik sekaligus kompleks, tingkat urbanisasi dan implikasinya terhadap persoalan lingkungan ini juga berkaitan dengan tingkat perkembangan ekonomi suatu negara. Sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 6.4, terdapat kaitan yang signifikan antara tingkat ekonomi suatu negara dengan persoalan urbanisasi dan lingkungan perkotaanya. Dapat dikatakan secara umum bahwa pada negara- negara yang sedang berkembang, persoalan pelayanan kebutuhan dasar seperti air bersih, sanitasi, dan perumahan, masihlah sangat rendah. Hal ini tentunya dilematis, oleh karena kebutuhan dasar tersebut sangat mutlak diperlukan untuk pengembangan sumber daya manusia, agar masyarakat di negara-negara berkembang dapat mengejar ketinggalannya dengan negara-negara maju.
Lebih lanjut, penting pula dicatat bahwa persoalan lingkungan perkotaan mempunyai dimensi yang luas, baik mulai dari tempat kerja, tingkat komunitas, sampai tingkat regional dan benua. Sebagaimana dikemukakan oleh Bartone
(1990), penting dipahami persoalan lingkungan urban ini dalam berbagai tingkatan spasialnya, oleh karena masing-masing tingkatan mempunyai karakteristik persoalan yang berbeda dan dengan sendirinya menuntut penanganan yang berbeda.
4. Urbanisasi dan Perkembangan Kota di Indonesia
Di Indonesia sendiri, urbanisasi juga merupakan fenomena yang sangat manarik dan penting mendapat perhatian yang seksama. Meskipun tingkatnya masih di bawah negara-negara Amerika Latin, tingkat urbanisasi di Indonesia melebihi beberapa negara di kawasan Asia seperti Burma, Vietnam, Kamboja, dan Pilipina. Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 6.6 di bawah ini, pada awal abad 21 lebih dari setengah penduduk Indonesia akan tinggal di daerah perkotaan. Ini berarti bahwa pada tahun 2005 mendatang, akan terdapat sekitar 90 juta lebih penduduk Indonesia yang tinggal di perkotaan. Jumlah ini tentunya sangat besar dan oleh karenanya dibutuhkan pemikiran perencanaan pembangunan lingkungan perkotaan, yang tidak saja indah, akan tetapi sehat dan mempunyai kualitas yang tinggi.
Tabel 6.6 Tingkat urbanisasi di Indonesia (1990-2020)
Tahun | Jumlah penduduk | Angka urbanisasi | ||
Jumlah total | Urban | Rural | ||
1990 | 180.383.700 | 51.932.467 | 128.451.233 | 28,79 |
1995 | 195.755.600 | 63.679.181 | 132.076.303 | 32,53 |
2000 | 210.263.800 | 76.662.181 | 133.601.619 | 36,46 |
2005 | 223.183.300 | 90.344.600 | 132.838.700 | 40,48 |
2010 | 235.110.800 | 104.577.284 | 130.533.516 | 44,48 |
2015 | 245.388.200 | 118.792.228 | 126.595.772 | 48,41 |
2020 | 253.667.600 | 132.465.221 | 121.202.379 | 52,22 |
Lebih lanjut, peningkatan jumlah penduduk yang tinggal di perkotaan di Indonesia juga disertai dengan kenyataan akan masih timpangnya persebaran penduduk di Indonesia. Sebagaimana dapat dilihat dalam Tabel 6.7 di bawah ini, persebaran penduduk di Indonesia cenderung kurang merata, terutama antara pulau Jawa dan pulau-pulau lain. Apabila di tahun 2000 kepadatan penduduk di pulau Jawa mencapai lebih dari 1000 jiwa per kilo meter persegi, di wilayah-wilayah lain Indonesia, kepadatan penduduknya hanya sekitar 100 sampai 180 jiwa per kilo meter persegi. Angka ini tentunya menunjukkan adanya ketimpangan, karena mengindikasikan tidak meratanya investasi pembangunan di wilayah Indonesia. Lebih lanjut, kaitan antara persebaran penduduk ini dengan perkembangan dan penataan kota sangatlah besar, oleh karena dapat dikatakan bahwa seluruh pulau Jawa akan dicirikan dengan aglomerasi kota-kota yang dengan sendirinya akan memberikan tekanan yang berat terhadap kondisi lingkungan pulau Jawa yang sebenamya merupakan areal pertanian yang subur dan produktip.
Tabel 6.7 Kepadatan Penduduk di Indonesia Menurut Wilayah (1990-2020)
Wilayah | Luas (km2) | Jumlah | penduduk | Kepadatan tiap km2 | |
1990 | 2020 | 1990 | 2020 | ||
Sumatra | 473.606 | 36.470.399 | 60.780.944 | 77 | 128 |
Jawa | 132.187 | 107.515.322 | 144.515.191 | 813 | 1.093 |
BaIi+NTT+NTB+Timtim | 88.488 | 10.161.289 | 15.926.312 | 115 | 80 |
Kalimantan | 539.460 | 9.095.524 | 16.628.880 | 17 | 31 |
Sulawesi | 189.216 | 12.510.024 | 19.099.311 | 66 | 01 |
Maluku+Irja | 496.486 | 3.482.830 | 7.130.692 | 7 | 14 |
Nasional | 1.919.443 | 179.243.375 | 254.214.909 | 93 | 32 |
5. Implikasi Urbanisasi dan Perkembangan Kota di Indonesia
Sebagaimana telah dapat diduga, percepatan urbanisasi dan perkembangan kota di Indonesia memberikan banyak implikasi baik dalam dimensi lingkungan, sosial, ekonomi, serta politis.
Berkaitan dengan pertumbuhan penduduk perkotaan tersebut, dengan sendirinya, lingkungan perkotaan di Indonesia harus menyiapkan ruang dan berbagai fasilitas kehidupan, khususnya papan dan pelayan infrastruktur dasar seperti air bersih, sanitasi, komunikasi, transportasi, serta fasilitas sosial lainnya. Ini akan menjadi tantangan sendiri, terutama karena peningkatan tuntutan ini justru dibarengi dengan merendahnya kapasitas finansial pemerintah dalam menyediakan berbagai fasilitas dasar tersebut. Singkatnya, pemerintah kota di Indonesia akan dihadapkan
pada persoalan yang pelik, yakni bagaimana menyiapkan berbagai fasilitas kota bagi penduduknya.
Sebagaimana diilustrasikan dengan Tabel 6.8 di bawah ini, kebutuhan akan papan atau rumah untuk penduduk perkotaan di Indonesia meningkat sangat tajam pada dasa warsa mendatang. Sampai tahun 2000, dengan jumlah penduduk perkotaan sebesar 82 juta jiwa, paling tidak dibutuhkan sekitar 650.000 rumah per tahunya. Angka ini merupakan angka yang sangat tinggi oleh karena kemampuan pihak pemerintah dan sektor swasta dalam mengadakan perumahan hanya sekitar
100.000 pertahunnya. Dengan kata lain, penduduk perkotaan tampaknya masih harus mengandalkan kebutuhan rumahnya dari sektor informal dengan segala implikasinya.
Tabel 6.8 Perkiraan kebutuhan rumah di wilayah perkotaan
Tahun | Perkiraan jumlah penduduk | Total luas lantai bangunan rumah yang dibutuhkan (m) | Jumlah rumah baru yang dibutuhkan (unit) |
1991 | 57.055.698 | 798.779.775 | |
1992 | 58.758.424 | 822.618.000 | 387.000 |
1993 | 60.961.320 | 853.458.400 | 500.700 |
1994 | 63.303.168 | 886.244.400 | 532.300 |
1995 | 65.792.133 | 921.089.900 | 565.700 |
1996 | 68.539.888 | 959.558.500 | 624.500 |
1997 | 71.499.790 | 1.000.997.000 | 672.700 |
1998 | 74.545.116 | 1.043.631.700 | 692.100 |
1999 | 77.777.732 | 1.088.888.300 | 734.700 |
2000 | 82.076.641 | 1.149.073.000 | 977.000 |
Rata-rata per tahun | 650.000 |
Selanjutnya, persoalan-persoalan sosial dan ekonomi perkotaan juga akan meningkat seiring dengan meningkatnya kompleksitas masyarakat kota. Kemiskinan, kriminal, serta konflik-konflik perkotaan lain akan semakin muncul pada tingkat yang tak terbayangkan sebelumnya. Persoalan kemiskinan kota, sebagai misal. akan merupakan persoalan serius yang hams dihadapi pemerintah dan masyarakat kota di Indonesia. Khususnya setelah krisis moneter yang berkepanjangan, jumlah penduduk miskin di Indonesia akan meningkat pesat dan sebagian besarnya akan merupakan penduduk miskin perkotaan. Persoalan penduduk miskin kota ini lebih kompleks, terutama karena implikasi sosialnya yang
luas. Terdapat kecenderungan bahwa peningkatan penduduk miskin kota akan diikuti oleh berbagai persoalan sosial kota mulai dari kriminalitas kota, konflik sosial, anak jalanan, serta berbagai persoalan sosial lain.
Tabel 2.9 Dsitribusi Penduduk Miskin di Indonesia
1976- 1990
Tahun | Distribusi Penduduk Miskin (%) | ||
Kota | Desa | Kota + Desa | |
1976 | 38,79 | 40,37 | 40,08 |
1978 | 30,84 | 33,38 | 33,31 |
1980 | 29,04 | 28,42 | 28,56 |
1981 | 28,06 | 26,85 | 26,85 |
1984 | 23,14 | 21,18 | 21,64 |
1987 | 20,14 | 16,44 | 17,42 |
1990 | 16,75 | 14,33 | 15,08 |
Berikutnya, urbanisasi dan perkembangan kota di Indonesia juga akan membawa persoalan ekonomi kota yang baru dan lebih kompleks. Dengan meningkatnya urbanisasi, orientasi perkembangan ekonomi Indonesia akan tertuju pada pengembangan sektor-sektor jasa dan pertumbuhan kegiatan ekonomi skala kecil dan menengah, yang merupakan representasi dari pertumbuhan masyarakat menengah kota di Indonesia.
Selanjutnya, kegiatan perekonomian perkotaan di Indonesia juga akan dicirikan dengan kaitan yang lebih luas dengan dunia global, terutama karena berkembangan media komunikasi elektronik yang memungkinkan kontak-kontak bisnis dapat dilakukan secara lebih cepat. Pada saat yang sama, akan tetapi, sektor informal kota juga akan terus berkembang, dan justru menjadi segmen terbesat ekonomi kota, terutama karena struktur masyarakat perkotaan yang masih dicirikan dengan tingkat pendidikan yang rendah. Dualisme ekonomi kota sebagaimana dikemukakan di atas tentunya memerlukan perhatian yang serius oleh karena menyangkut persoalan yang seringkali dilematis, yakni antara kepentingan efisiensi dan keadilan sosial dalam pembangunan kota.
Akhirnya, dari aspek lingkungan. wilayah perkotaan Indonesia juga akan menghadapi persoalan yang berat. Dengan pesatnya pertumbuhan penduduk dan perekonomian kota, persoalan tata ruang dan lingkungan perkotaan di Indonesia akan semakin meningkat. Kebutuhan akan lahan, ruang dan berbagai fasilitas
perkotaan lain akan terus meningkat. dan sayangnya hal ini tidak dibarengi dengan peningkatan sektor finansial pemerintah kota. Tuntutan akan pemanfaat ruang dan tanah yang lebih efisien akan semakin dituntut, sementara persoalan lingkungan perkotaan akan semakin timbul. Persoalan penyediaan air bersih, sanitasi, papan, serta lingkungan perumahan yang layak dan terjangkau akan terus bertambah. Sementara persoalan limbah kota (sampah padat, cair, polusi udara) juga akan semakin meningkat.
Lebih lanjut, tuntutan akan peningkatan kualitas lingkungan perkotaan juga akan semakin meningkat, sejalan dengan tumbuhnya kelas menengah perkotaan. Pada sisi lain, tekanan terhadap daerah-daerah pinggiran kota yang dicirikan dengan tanah pertanian subur juga akan terus berlangsung.
6. Tantangan Pembangunan dan Pengelolaan Kota di Indonesia
Berbagai persoalan kota sebagaimana dikemukakan di atas, pada akhirnya, menuntut pada bentuk-bentuk baru pengelolaan kota yang jauh lebih efisien, sekaligus demokratis, terutama untuk mengakomodasi kemajemukan masyarakat perkotaan yang semakin meningkat serta pertumbuhan kalangan menengah perkotaan yang semakin kritis. Pemerintah kota dengan demikian, tidak dapat lagi mengelola kota secara tradisional, yang cenderung pasip dan reaktip, serta mengandalkan sumber-sumber dana dari sektor publik atau pemerintah, khususnya pemerintah pusat. Dengan kata lain, sejalan dengan usaha-usaha desentralisasi dan otonomi daerah, pemerintah kota di Indonesia harus merupakan satu kesatuan manajemen yang kuat, modern, efisien, serta proaktip, karena pada pemerintah kotalah, keseluruhan penyelenggaraan pemerintahan akan tertumpu.
Dalam konteks ini, upaya-upaya untuk mengembangkan manajemen perkotaan yang modern tersebut menuntut sederet kegiatan yang saling terkait antara lain:
1. Peningkatan kapasitas aparat perkotaan melalui pelatihan dan pendidikan
2. Pengembangan dan reformasi struktur pemerintahan kota, khususnya agar lebih akomodatip terhadap perubahan
3. Perubahan landasan hukum pemerintahan kota dan revisi peraturan di bidang perencanaan kota
4. Pengembangan pilot-pilot proyek pengelolaan kota, khususnya yang menyangkut program-program pembangunan kota dengan model kemitraan antara sektor publik, swasta, dan masyarakat
5. Pengembangan jaringan antar pemerintah kota, baik di dalam maupun di luar negeri
6. Pengembangan sistem informasi/data dasar untuk manajemen perkotaan yang modem –
7. Pembentukan pusat-pusat studi manajemen perkotaan, khussusnya melalui kerjasama antara perguruan tinggi dengan pemerintah pusat sampai daerah.
Lebih lanjut, pengelola kota juga harus memberikan perhatian yang lebih serius terhadap kaitan antara penataan ruang kota dengan persoalan lingkungan kota. Terdapat kecenderungan selama ini bahwa persoalan tata ruang dan lingkungan dilihat secara terpisah. Di masa depan, pengelola kota harus secara peka melihat bahwa keduanya sangatlah berkaitan. Dalam konteks ini berbagai program penanganan tata ruang dan lingkungan kota di Indonesia akan menjadi suatu tuntutan yang harus dipenuhi. Program-program tersebut dapat meliputi:
1. Merevisi aturan dan pelaksanaan penyusunan tata ruang di Indonesia, khususnya penekanan pada model-model penyusunan tata ruang yang lebih dinamis, yang lebih dapat mengakomodasi perkembangan masyarakat dan berwawasan lingkungan.
2. Memperkuat mekanisme partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan kota, khususnya melalui model-model musyawarah dengan masyarakat.
3. Pengembangan model-model penanganan tanah-tanah terlantar di perkotaan
4. Mengembangkan model-model lingkungan perkotaan yang berkelanjutan.
5. Pengembangan model-model penghijauan kota untuk menciptakan lingkungan yang lebih sehat
6. Pengembangan model-model renovasi dan revitalisasi bagian-bagian kota yang melibatkan sektoir swasta dan masyarakat
7. Pengembangan model-model pariwisata perkotaan
8. Pengembangan model-model pengelolaan daerah konservasi
9. Pengembangan model-model penanganan daerah-daerah pinggiran kota/urban fringe
10. Pengembangan model-model pengelolaan pertanahan kota, khususnya melalui beberapa teknik antara lain: konsolidasi tanah perkotaan, land banking, serta tanah komunal
11. Pengembangan model-model koperasi perumahan