Teorisasi politik selalu mengalami pergeseran dalam dimensi dikotomik negara dan masyarakat. Pada tahun 1950-an , kegiatan teorisasi dan penelitian ilmuwan politik, lebih memfokuskan analisis di sisi masyarakat (society centric) . Pada masa-masa itu, ilmuwan politik dengan antusias dan optimistik berharap melihat masyarakat baru itu sebagai pembuktian keampuhan the idea of progress” yang telah merubah wajah Eropa Barat dan Amerika Utara dua abad sebelumnya.
Pengalaman empirik yang dicapai di dua benua itu disebutkan oleh kalangan ilmuwan politik modernis berasal dari sejumlah perubahan yang terjadi di ranah masyarakat; seperti teori social origins dari demokrasi Barrington Moore (1966), Komunikasi (Lucian Pye), Pendidikan (James Coleman); mobilisasi sosial
(Karl Deutch); budaya politik (Almond dan Sidney Verba); industrialisasi dan melebarnya kelas menengah (Martin Lipset); psikologis- N Ach (Mc Clelland) sampai pada terbentuknya manusia modern (Alex Inkeles). Penekanan pada sisi masyarakat menyebabkan Negara ditempatkan oleh kaum modernis sebagai institusi yang tergantung pada kekuatan masyarakat; menjadi wasit dalam permainan politik dalam masyarakat.
Namun, pada tahun 1970-an terjadi pergeseran fokus perhatian dari analisis di sisi society ke ranah negara (state centric). Teori-teori modernis yang berpendapat adanya korelasi antara modernisasi dengan demokrasi, disanggah dengan menghubungkan modernisasi dengan kemunculan otoritarianisme, di Asia, Afrika dan Amerika Latin.
Bersamaan dengan itu berkembang pula studi mengenai otoritarianisme dan militer dalam kehidupan politik negara-negara yang baru merdeka (paska kolonial) seperti karya Stepan )1973); Schmitter (1974); Linz dan Stepan (1978) maupun G 0′ Donnell tentang Otoritarian Birokratik. Pandangan mereka tentang negara sangatlah berbeda dengan kaum modernis dimana negara dinyatakan mempunyai otonomi yang sangat besar; tidak sekedar menjadi wasit, melainkan pemain politik yang menentukkan.
Menjelang akhir tahun 1970-an, agenda penelitian ilmuwan politik kembali bergeser dari state centric ke tema-tema demokratisasi. Hal ini bisa terlihat dari karya-karya komparasi pengalaman demokratisasi dari; O’Donnel dan Schmitter pada pertengahan tahun 1980-an yang terbit dalam empat jilid; Diamond, Linz dan Lipset menghasilkan lima jilid laporan (1990), Di Palma (1990); Stepan (1989) dan Huntington dengan karyanya yang monumental The Third Wave: Democratitation in the Late Twentienth Century”.
Walaupun pada tahun 1950-an dan mulai akhir tahun 1970an, teori-teori politik tidak terlalu menekan lagi analisis pada ranah negara, namun pada kuliah kali ini kita akan memusatkan perhatian pada upaya menjelaskan negara. Perbincangan akan dibawa pada bagaimana perkembangan gagasan tentang negara.
Mengapa penting membicarakan Negara?
Pertama, karena menurut Weber, Negara adalah satu-satunya lembaga yang memiliki keabsahan untuk melakukan tindakan kekerasaan terhadap warganya.
Kedua, dalam konteks relasi state-society di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, peran negara sangatlah dominan, dalam ekonomi maupun politik.
Teori Negara Organis (Otonom)
Teori-teori Negara Organis bersumber dari pemikiran klasik tentang Negara; mulai dari Aristoteles, Plato, Teokratis, Hobbes sampai dengan Hegel. Di luar itu, teori negara organis diyakini dalam pemikiran politik di jaman modern, seperti yang muncul dalam konsep Negara Fasis (Musolini) dan Negara Integralistik (Soepomo-lebih jauh lihat dalam Marsillam Simanjuntak).
Karakteristik Teori Negara Organis:
1. Memberi kekuasaan yang besar dan mutlak pada negara
2. Menolak kebebasan individu yang terlampau besar; individu harus menyerahkan kemerdekaannya pada negara.
3. Negara merupakan lembaga yang mempunyai kemauan sendiri yang mandiri (otonom). Negara bukan alat dari keinginan individu atau kelompok dalam masyarakat.
4. Negara adalah budiman: karena negara mengemban amanah kebaikan umum, penjaga moralitas dan kesejahteraan masyarakat.
5. Secara hierrakis, Negara diletakkan lebih terhormat, penting dan lebih utama daripada individu atau masyarakat. Seperti organisme, Negara diibaratkan seperti kepala yang lebih tinggi dari badan.
Variasi dalam teori negara organis terletak pada jawaban mengapa negara perlu diberi kekuasaan yang mutlak? Berikut jawaban pemikiran klasik tentang kemutlakan kekuasaan negara yang menjadi inspirasi teori negara organis:
1. Plato dan Aristoteles
Kekuasaan yang besar pada negara adalah sepatutnya karena pada dasarnya individu akan bertindak berdasarkan kepentingannya sendiri, menjadi liar dan tidak bisa dikendalikan sehingga negera kemudian mengajarkan nilai-nilai moral yang rasional. Untuk menjamin negara bisa meneggakan moralitas amaka negara harus dikuasai oleh para ahli pikir atau filsuf; karena filsuf-lah yang bisa membedakan yang baik dan buruk serta “membebaskan dunia lahir yang berubah dan berganti-ganti gejalanya”.
2. Negara Teokratis
Negara mempunyai kekuasaan yang mutlak karena negara adalah representasi (perwujudan) kekuasaan Ilahi (Ketuhanan). Negara merupakan perpanjangan tangan (wakil) kekuasaan Tuhan atas Alam semesta. Konsep Negara Teokratis dijumpai dalam tradisi pemikiran politik Kristen (Thomas Aquinas), pemikiran politik Hindu-Budha (Dewa Raja), Shinto (Tenno Heika), maupun Islam.
3. Grotius dan Hobbes (Jaman Pencerahan)
Hugo de Groot (Grotius) memberikan alasan rasional bagi kemutlakan kekuasaan negara. Argumennya: sebelum ada negara kehidupan masyarakat sangat kacau, tidak tertib dam setiap individu bebas melakukan apa saja sesuia dengan kehendaknya. Oleh karena itu dibangunlah persetujuan untuk menyerahkan kekuasaan untuk memerintah (kedaulatan) pada negara.
Pemikiran Grotius dilanjutkan oleh Thomas Hobbes yang melukiskan situasi sebelum adanya negara sebagai ius naturalis (homo homini lupus; manusia satu merupakan srigala bagi manusia yang lain). Maka dibentuklah secara bersama lex naturalis yang menyuruh atau melarang serta membatasi kemerdekaan orang lain.
Dari upaya membatasi kemerdekaan inilah lahir apa yang disebut sebagai Leviathan, negara diibaratkan sebagaii “binatang” yang mempunyai kekuasaan yang besar.
4. Hegel
Dalam konsepsi tentang Dialektika Idealistiknya (thesa, antithesa dan sintesa), Negara merupakan penjelmaan ide yang universal. Negara memperjuangkan kepentingan yang lebih besar dan merupakan cermin kebaikan semua moral (good will) Sedangkan individu merupakan penjelamaan dari
partikularistik dalam bentuk kepentingan yang sempit. Dengan demikian, negara ada di atas masyarakat, lebih utama, lebih tinggi daripada masyarakat. Oleh karena itu, negara memiliki hak untuk memaksakan keianginan pada warganya karena negara adalah mewakili kepentingan umum.
Referensi : ELISA Universitas Gadjah Mada