Sudah pasti ijtihad tidak membahas masalah akidah, namun hanya membahas masalah syariah (perbuatan). Tapi itupun tidak semua hukum syariah menjadi ruang ijtihad. Karena itu, ada ulama yang mendefinisikan ijtihad sebagai, usaha keras mujtahid dalam rangka mencari hukum syariah dengan cara istinbâth (penggalian hukum) atas masalah yang tidak memiliki dalil qath’i baik dari nash (al-Quran dan as-Sunnah) maupun Ijma’, yakni Ijma’ Sahabat. (Hasan, Mu’jam Ushûl al-Fiqh, 1998: 21). Dalam hal ini ada kaidah: tidak boleh ada ijtihad ketika ada nash. (Al-Bujairimi, Tuhfatul Habîb ’ala Syarh al-Khathîb, II/130).
Ada dua wilayah yang boleh ada ijtihad:
1. Hukum syariah yang nash (dalil)-nya tidak qath’i. Ijtihad di sini dilakukan untuk memahami makna nash, serta mengungkap maksud kata dan pengertian yang dikehendakinya;
2. Hukum syariah yang semula tidak ada nash (dalil)-nya. Ruang ijtihad di sini sangat luas dan dilakukan untuk menggali (istinbâth) hukum atas setiap fakta atau kejadian baru menurut ketetapan pembuat syariat melalui amarat (‘illat) yang menunjukkan pada hukum. (Thawilah, Atsar al-Lughah fi Ikhtilâf, 2000: 40).
Bagi orang yang telah mampu dan memenuhi syarat-syarat ijtihad, melakukan ijtihad ini bukan perkara yang mustahil. Terkait syarat-syarat ijtihad, ulama berbeda dalam menetapkannya. Ada yang menetapkan 7 syarat, dan yang menetapkan 9 syarat (Muhammad Bajuri, Negara Menjamin Hak Ijtihad Setiap Muslim, 2010, Jurnal Al-Wa’ie). Namun, dari semua itu ada 2 syarat mendasar dan 1 syarat tambahan yang harus terpenuhi dalam berijtihad, yaitu:
Pertama, mengerti dalil-dalil as-sam’iyyah (al-Quran dan as-Sunnah) yang darinya digali kaidah dan hukum syariah.
Kedua, mengerti dilâlah (maksud dan makna) kata yang biasa dipakai dalam bahasa Arab serta penggunaannya yang benar dan fasih.
Ketiga, mengerti realitas fakta yang hendak dihukumi, yang disebut dengan manâth al-hukm (obyek hukum). Sekalipun demikian, dalam hal manâth al-hukm ini, ia tidak harus mengetahui sendiri; ia bisa saja bertanya kepada orang lain yang ahli tentang fakta tersebut. (M. Husain Abdullah, Dirâsât Fi al-Fikr al-Islâmi, 1990: 46).
Terkait dengan al-Quran, Imam Al-Ghazali tidak mensyaratkan harus menguasai seluruh al-Quran, namun cukup yang berkaitan dengan hukum, yaitu sekitar lima ratus ayat; tidak harus hafal di luar kepala, namun cukup mengetahui posisinya saja sehingga mudah menemukan ketika membutuhkannya. Begitu pun dengan as-Sunnah, cukup menguasai hadis-hadis berkaitan dengan hukum; tidak harus hafal diluar kepala, cukup memiliki kitab shahih, seperti Sunan Abu Dawud, Musnad Ahmad dll, serta mengetahui posisi setiap babnya hingga mudah ketika menelaahnya. Akan tetapi, jika mampu menghapalnya di luar kepala, itu lebih baik dan lebih sempurna. (Imam Al-Ghazali, Al-Mustashfâ fi ‘Ilm al-Ushûl, 1993: 342).
Ijtihad menurut ulama hukumnya fardhu kifayah, setiap masa mesti ada seorang mujtahid, karena tanpa ijtihad hukum Islam bisa mandul, sehingga tidak bisa menyelesaikan problem-problem baru yang muncul.