Pendidikan politik terhadap warga desa menjadi salah satu altematif proses demokratisasi di negara kita karena melalui cara inilah mereka akan sadar bahwa demokrasi menjadi salah satu alat/sarana (means) yang efektif dan efesien bagi perwujudan kesejahteraan di setiap aspek kehidupan masyarakat desa.
Selama ini, telah banyak aktor-aktor dari luar desa yang melakukan pendidikan politik bagi masyarakat desa, baik melalui forum khusus dalam suatu pelatihan maupun melalui media massa. Sayangnya, beberapa pelatihan dalam rangka pendidikan politik tersebut biasanya diselenggarakan di gedung atau hotel mewah di pusat perkotaan, sehingga setelah selesai dan pulang apa yang diceriterakan peserta pada rekannya di desa bukannya substansi dari pelatihan melainkan fasilitas dari hotel yang serba mewah tersebut.
Tetapi, ada pula bentuk pendidikan politik yang dilakukan langsung di desa dengan mengambil tema-tema di sekitar event demokrasi, seperti voter education menjelang Pemilu. Apabila substansi pendidikan politik itu hanya mengambil dari event-event tertentu seperti voter education menjelang Pemilu, maka kurang efektif karena Pemilu hanya berlangsung 5 tahun sekali dan selama ini peran-peran Parpol sampai ke desa hanya menjelang Pemilu (mobilisasi pemilih) setelah itu tidak banyak kegiatan lanjutan dalam rangka pelaksanaan program-programnya selama kampanye.
Ada kecenderungan masyarakat desa ketika diajak bicara tentang demokrasi, maka mereka selalu mengaitkannya dengan demokrasi dalam arti formal seperti proses Pemilu, pemilihan kepala desa, BPD/BAPERDES, dan lain sejenisnya. Dengan kata lain, telah terjadi simplifikasi dari makna demokrasi itu sendiri yang terbatas pada demokrasi formal. Hal ini sedikit banyak dipengaruhi.oleh model pendidikan politik di negara kita, baik yang dilakukan oleh perguruan tinggi, LSM, media massa maupun aktor-aktor lain yang cenderung mengaitkan demokrasi dengan event-event demokrasi formal
Bagian ini merupakan lessons learned dari pengalaman IRE Yogyakarta dalam penguatan institusi lokal di beberapa desa di Yogyakarta dan Jawa Tengah, khususnya melalui Program Diskusi Komunitas (DISCUSS).
Dalam Program DISCUSS ini, IRE melakukan pendidikan politik dalam rangka promosi demokrasi dengan memanfaatkan institusi lokal, sekaligus memberi penguatan pada institusi lokal tersebut untuk mau dan mampu menjadi saluran aspirasi masyarakat/anggotanya, terutama dalam menyampaikan aspirasi kepada pembuatkebijakan publik.
sebagaimana dicontohkan di atas.
Salah satu alternatif yang tepat bagi pendidikan politik warga desa adalahbagaimana proses pendidikan politik tersebut berbasis pada kehidupan masyarakat sendiri, artinya : bagaimana secara substansial diambil dari berbagai macam kehidupan masyarakat sendiri setiap harinya, tidak hanya sebatas eventevent demokrasi formal.
Efektivitas pendidikan politik dalam rangka internalisasi kehidupan berdemokrasi itu justru terletak di masyarakat desa sendiri. Di desa banyak sekali forum-forum warga yang ada baik yang berdasarkan batas administratif seperti forum RT, RW, rembug desa; maupun yang berdasarkan kelembagaan dan komunitas seperti Karang Taruna, PKK, Kelompok
Shalawatan, Kelompok Pengajian, Kelompok Tani, Kelompok Pedagang, Kelompok Peternak, dll. Semua forum warga ini bisa menjadi media efektif bagi upaya pendidikan politik warga desa. Dari pengalaman penulis di Desa
Sumberagung-Moyudan-Sleman, Kelompok Shalawatan sebagai suatu kelompok keagamaan bisa dijadikan wahana pembelajaran perilaku berdemokrasi yang efektif. Dengan demikian, apabila kita mau melakukan pendidikan politik maka masuk saja dalam forum-forum warga seperti itu dan melakukan pengembanganpengembangan terhadap kualitas pertemuan.
Ada 5 alternatif cara yang bisa digunakan dalam pengembangan kualitas pertemuan/forum warga.
Pertama
Kalau selama ini forum warga hanya dimanfaatkankan untuk penyuluhan, sosialisasi kebijakan desa, arisan dan lain sejenisnya, maka kita ajak peserta forum untuk membicarakan berbagai isu yang terkait dengan kehidupan mereka.
Isu yang dibicarakan langsung menyentuh kehidupan mereka dan bisa jadi isu-isu yang sederhana seperti isu penanganan sampah rumah tangga. Dari isu-isu yang sederhana itu akan berkembang menjadi isu-isu besar yang pada intinya akan membuat mereka terbiasa untuk selalu membicarakan kepentingan bersama dan tidak hanya monopoli keputusan orang per orang atau kelompok tertentu.
Kedua
Peningkatan kualitas forum melalui metode fasilitasi dengan menerapkan prinsip, daur dan teknik Perbincangan/Pembelajaran Orang Dewasa (POD), sehingga memberi ruang pada semua peserta yang terlibat untuk aktif berpartisipasi dalam proses dan hasil pertemuan. Jika biasanya yang memimpin pertemuan adalah ketua atau orang yang dituakan, misalnya kalau di RT adalah tersebut lebih sebagai fasilitator yang memfasilitasi sehingga tidak harus ketua RT tapi bisa siapa saja yang menjadi peserta forum tersebut secara bergiliran.
Melalui cara ini masyarakat akan semakin merasakan bahwa forum itu milik bersama, dikelola bersama, dan semua bertanggung jawab terhadap keberadaan forum. Pada pertemuan itu, disamping menghasilkan kesimpulan yang terkait dengan isu yang dibahas, harus dilakukan juga refleksi terhadap proses pertemuan.
Hal ini perlu karena justru dalam refleksi terhadap proses yang berlangsung selama pertemuan tersebut dapat dilakukan proses penyadaran bahwa sebenarnya mereka telah mempraktikkan apa yang disebut dengan prinsip-prinsip dan perilaku berdemokrasi. Refleksi terhadap proses diskusi dalam pertemuan inilah yang selama ini masih terabaikan dalam forum-forum warga desa.
Pembicaraan mereka masih terfokus pada substansi dan hasil pertemuan. Refleksi terhadap proses tersebut misalnya dapat dilakukan dengan demokrasi apa saja yang telah dipraktikkan mereka, seperti sejauh mana tingkat partisipasi peserta dalam berpendapat di forum, apakah masih ada dominasi elit dan kaum pria, apakah masih ada peserta yang takut berpendapat dan mengapa, dll. Selain itu perlu juga refleksi terhadap peran fasilitator dalam memfasilitasi forum, sehingga mereka belajar bersama agar giliran fasilitator berikutnya semakin baik.
Dari sisi fasilitasi ini, pada tahap awal masyarakat desa umumnya masih perlu pendampingan dari siapa saja yang telah mengetahui prinsip dan teknik POD. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa forum forum warga di desa masih sebatas menerapkan teknik presentasi dan curah pendapat yang rentan terhadap monopoli gagasan dari orang atau kelompok tertentu dan belum ada variasi-variasi teknik fasilitasi lain yang lebih menghidupkan suasana dan partisipasi diskusi dalam pertemuan tersebut. Media fasilitasi juga belum banyak digunakan, padahal untuk memancing munculnya pendapat orang bisa melalui media ini. Misalnya, cerita binatang (fabel) yang berkaitan dengan tema pertemuan bisa dimanfaatkan oleh fasilitator sebagai media untuk mengilustrasikan topik yang akan dibahas.
Ketiga
Dalam pertemuan tersebut haras dihasilkan juga Rencana Tindak Lanjut (RTL) dari hasil pertemuan. Sebagai contoh, apabila dalam forum RT menghasilkan kesepakatan untuk membersihkan sampah di jalan RT secara bergiliran, maka harus ditegaskan detail dari pelaksanaan giliran tersebut, sehingga masyarakat sendiri yang menentukan aturan mainnya.
Dengan demikian masyarakat semakin merasakan manfaat forum warga ini tidak hanya kesepakatan di dalam ruangan saja tapi benar-benar diimplementasikan pada kehidupan nyata.
Keempat
Sosialisasi terhadap hasil pertemuan. Hal ini penting karena bisa jadi yang hadir belum semua warga, sehingga perlu ada proses sosialisasi agar seluruh warga masyarakat baik yang langsung maupun tidak langsung terkait dengan hasil keputusan mengetahui dan memahami hasil pertemuan.
Ada berbagai altematif cara seperti cara informal yang biasa dilakukan secara gethok tular atau warga bisa mengelola sendiri media informasi lokal yang sederhana, murah, tapi menarik dan informatif terhadap kelompok sasaran. Bentuknya bisa bermacam-macam, seperti misalnya koran selembar/kobar, bulletin atau lainnya yang bisa terbit minggunan, selapanan, atau bulanan dan diberi label lokal, seperti kobar yang pernah penulis baca di salah satu desa di Jombang-Jatim (desa Ngumpul) yang diberi label “PULSA” yang merupakan kependekan dari “Ngumpul Bersuara”.
Kelima
Apabila hasil/keputusan pertemuan terkait dengan suatu kebijakan pemerintah, maka perlu ada pertemuan/dialog dengan pembuat kebijakan. Misahiya, hasil pertemuan warga menolak keputusan desa mengenai iuran untuk rehabilitasi jalan yang terlalu besar jumlahnya.
Dalam hal ini, dialog dengan pemerintah desa dan BPD/BAPERDES bisa dengan cara mengundang pembuat kebijakan untuk hadir pada forum warga atau melalui perwakilan warga yang aktif mendatangi pembuat kebijakan. Melalui cara ini warga desa dibiasakan untuk menempuh jalan dialog dalam menyampaikan aspirasinya, sedangkan demonstrasi/unjuk rasa menjadi pilihan terakhir apabila saluran penyampaian aspirasi tersebut buntu.
Dari pengalaman penulis, setidaknya ada tiga pelajaran yang dapat dipetik dengan menerapkan keempat cara ini, yairu : pertama, warga desa bisa belajar mengambil keuntungan dari proses demokratisasi dan menjadi pendorong penyelesaian masalah di komunitasnya. Kedua, forum warga semakin berperan sebagai wadah bagi warga desa untuk terlibat dalam suasana diskusi yang demokratis, di mana semua secara bebas menyuarakan pendapatnya, mempertukarkan ide, setuju untuk tidak setuju, dan menyelesaikan masalah secara damai. Ketiga, forum warga memberikan kesempatan bagi warga biasa untuk berhubungan dan menyampaikan aspirasinya kepada pemegang kekuasaan, terlebih selama ini kesempatan tersebut sangat terbatas sehingga menciptakan tembok pembatas antara mereka yang berkuasa dan mereka yang di luar lingkaran kekuasaan.
MANFAAT PENGUATANINSTITUSI LOKAL :
• Masyarakat dapat meningkatkan ikatan sosial secara lebih intens dengan adanya kesamaan tujuan dan cara pandang yang dibangun bersama.
• Masyarakat terbiasa untuk membicarakan secara bersama-sama apa yang menjadi kepentingan dan kebutuhan mereka, dalam suatu forum yang demokratis.
• Masyarakat mengalami bagaimana menyusun aturan main bersama.
• Masyarakat memiliki wadah mengidentifikasi kepentingan dan kebutuhan riil mereka secara bersama-sama.
• Masyarakat mengalami dan mengerti mekanisme pengambilan keputusan secara kolektif yang didasarkan pada kepentingan dan kebutuhan bersama.
• Masyarakat mengalami konsekuensi menerima hasil keputusan bersama untuk dilaksanakan secara bersama-sama pula.
• Masyarakat mengalami pembelajaran dalam meresolusi konflik yang bisa jadi menyertai proses dan hasil pengambilan keputusan.
• Masyarakat berani memperjuangkan hak-hak mereka sebagai warga negara dalam kerangka advokasi kebijakan publik.
• Masyarakat merasakan manfaat keberadaan suatu jaringan kerjasama dalam pemenuhan kebutuhan bersama.
• Masyarakat merasakan manfaat dari keberadaan institusi lokal sebagai arena yang mampu memperjuangkan kepentingan dan kebutuhan mereka.
Referensi : Universitas Gadjah Mada