Beberapa standar syariah yang terpenting adalah:
1. Pendapat tersebut lahir dari dan berpijak pada nash syariah berupa al-Quran dan as-Sunah yang sahih, dan dalil yang ditunjukkan oleh keduanya yakni Ijmak Sahabat dan Qiyas.
Siapa saja yang memberikan pendapat syariah maka dia harus mengetahui nash-nash syariah, Ijmak Sahabat dan Qiyas; mengetahui nash-nash yang me-nasakh dan yang di-mansukh; mengetahui tatacara pen-tarjih-an jika ada dua nash yang jelas-jelas bertentangan, sama saja apakah dua nash ini adalah hadis dengan hadis, atau hadis dengan al-Quran (Lihat: Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz, hlm. 402-405).
2. Harus memahami fakta dengan pemahaman yang tepat dan cermat agar bisa menurunkan nash yang cocok pada fakta tersebut.
Karena itu nash-nash yang bercerita tentang makanan dan minuman yang sangat urgen (dharurat) tidak bisa diturunkan pada kebutuhan-kebutuhan lain yang tidak sampai pada taraf urgen, misalnya mengambil riba untuk membeli mobil dan menganggap itu sebagai dharurat syar’I; hal seperti ini menyalahi metode menurunkan nash-nash terhadap faktanya.
Dalam persoalan maslahat, Allah SWT sajalah yang menetapkan kemaslahatan para hamba, bukan akal manusia, karena akal itu bersifat kurang dan tidak mampu untuk mengetahui segala yang bermanfaat dan yang menimbulkan madarat (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 216).
3. Pendapat tersebut tidak boleh menyalahi nash atau pendapat yang jelas-jelas shahih, yang berasal dari al-Quran dan as-Sunnah.
Tidak ada ruang ijtihad dalam perkara yang sudah ditetapkan oleh nash yang sharih. Jika sebuah ijtihad menyalahi pendapat yang sharih maka pendapat tersebut harus dibuang jauh-jauh. Imam an-Nawawi berkata, “Seorang mufti dan qadhi tidak perlu menghiraukan orang yang menentang dirinya jika memang dirinya tidak menyalahi nash, Ijmak atau Qiyas Jali (Syarh Shahih Muslim, hlam. 2/24).
4. Tarjih di antara sejumlah pendapat yang berbeda-beda.
Tarjih itu jika dilakukan oleh orang yang mampu mengkomparasikan sejumlah nash, atau mengetahui ilmu pengetahuan syar’i, yang memungkinkan dia mengamalkan dalil, meninjaunya dan men-tarjih salah satu dari dua dalil, maka harus didasarkan pada qarinah tertentu. Misalnya, ketika memperhatikan dua pendapat, orang tersebut melihat salah satu pendapat berpijak pada hadis dha’if, maka dia akan meninggalkan pendapat tersebut dan men-tarjih pendapat yang lain. Contoh lain: orang tersebut memperhatikan dua pendapat, lalu melihat bahwa salah satu pendapat berpijak pada nash yang sudah di-nasakh, maka dia meninggalkan pendapat tersebut dan mengikuti pendapat yang kedua. Al-Juwaini berkata, “Tarjih itu adalah memenangkan sebagian amarat atas sebagian yang lain secara dzanni. (Al-Burhan, 2:175).
Jika tarjih dilakukan oleh orang awam, itu harus dilakukan dengan tidak menuruti hawa nafsu, misalnya karena pendapat tersebut lebih mudah atau di dalamnya ada maslahat. Tarjih-nya harus berpijak pada dua perkara: (1) faktor lebih mengetahui; yakni dengan mendengar dari orang-orang bahwa si alim fulan itu lebih mengetahui dari yang lain; (2) faktor ketakwaan; ini juga dengan cara mendengar dan menelusuri hal-ihwal ketakwaan dan kewaraan si alim ini. Sirajudin al-Armawi menyatakan dalam kitab at-Tahshil min al-Mahshul, “Meminta fatwa tidak boleh dilakukan kecuali dari orang yang diduga kuat sebagai mujtahid dan wara.” (2/305).
Al-Khudhari berkata dalam kitab Al-Ushul, “Meminta fatwa tidak boleh dilakukan kecuali dari orang yang diketahui sebagai orang yang berilmu dan bersifat adil. Siapa saja yang diketahui tidak memiliki salah satu dari dua sifat ini, maka biasanya dia tidak boleh diikuti.” (hlm. 382).
Karena itu fatwa tidak boleh diambil misalnya dari orang yang terkenal suka canggung terhadap para pelaku kezaliman dan kefasikan, juga dari orang yang suka duduk-duduk dengan mereka karena ketakwaan orang seperti itu diragukan (Lihat: QS al-An’am [6]: 68 dan an-Nisa’ [4]: 140).
Rasulullah saw. bersabda, “Setelahku nanti akan ada para pemimpin; siapa saja yang suka menemui mereka, membenarkan kedustaan mereka, membantu mereka melakukan kezaliman, maka orang itu tidak termasuk golonganku, aku bukan termasuk golongannya, dan dia tidak akan datang kepadaku di telaga.” (HR al-Hakim).
Fatwa juga tidak boleh diambil dari orang yang suka berubah-ubah dalam berfatwa sesuai dengan hawa nafsu dan kepentingan (Lihat: QS Shad [38]: 26).
5. Pendapat waliyul amri dalam pen-tarjih-an.
Para khalifah radhiyalLahu anhum telah mengadopsi satu pendapat syariah dalam sejumlah persoalan yang diperselisihkan yang dengan itu bisa membentuk dan menjaga persatuan kaum Muslim. Misalnya, selama masa kekhilafahannya, Abu Bakar mengikuti pendapat jatuhnya talak tiga sekaligus; Umar mengambil pendapat yang berbeda dengan pendapat Abu Bakar ketika dia (Umar) memegang jabatan khilafah (tiga talak sekaligus tetap dipandang jatuh satu talak, red.). Abu Bakar juga dalam posisinya sebagai waliyul amri telah mengambil pendapat untuk membagikan fai dan ghanimah berupa tanah untuk tentara yang ikut berperang. Sebaliknya, Umar mengambil pendapat yang berbeda dengan bersandar pada nash syariah, yakni firman Allah SWT dalam surat al-Hasyr: 10).
Seorang waliyul amri boleh mengikuti satu pendapat dalam pen-tarjih-an, kemudian memberlakukan pendapat tersebut kepada seluruh kaum Muslim untuk menyatukan pendapat mereka dengan pendapatnya ini. Syarat waliyul amri yang memiliki wewenang seperti itu adalah orang yang benar-benar mengurus urusan kaum Muslim, yakni amirul mukminin, atau khalifah kaum Muslim. Ketaatan kepada waliyul amri ini dikaitkan dengan ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya (Lihat:QS an-Nisa’ [4]: 59). Disyaratkan pula agar terpenuhi sifat waliyul amri dari sisi bahwa dia diserahi urusan kaum Muslim melalui metode yang sah menurut syariah. Juga disyaratkan agar dia adalah seorang Muslim yang telah memenuhi syarat-syarat in’iqad yang sah menurut syariah.
Imam al-Qarafi menyatakan dalam kitab Anwar al-Buruq fi Anwa’ al-Furuq, “Seorang imam ketika memegang otoritas publik terhadap rakyatnya, diharuskan untuk mencegah timbulnya ketidakharmonisan dan pertentangan serta menghilangkan perbedaan di tengah-tengah umat. Inilah salah satu kewajiban terpenting yang dia tanggung.”(2/103).
Inilah uraian singkat mengenai tatacara mengambil pendapat yang syar’i. Seorang Muslim harus memperhatikan betul dari siapa dia mengambil agamanya. Ingatlah, setiap orang akan berdiri di hadapan Allah SWT dan akan ditanyai tentang segala sesuatu baik yang besar ataupun yang kecil. Ketidaktahuannya tidak bisa dijadikan alasan karena dia telah diwajibkan untuk bertanya kepada orang yang tahu dari kalangan orang bertakwa dan berilmu (Lihat: QS an-Nahl [16]: 43).
Kami memohon kepada Allah SWTagar kami termasuk orang yang mendengarkan pendapat dan kemudian mengikuti pendapat terbaik. Akhir doa kami adalah pujian bagi Allah, Tuhan semesta alam. [Hamad Thabib-Baitul Maqdis]; [Diterjemahkan dan disarikan oleh Dede Koswara, Staff Pengajar Ma’had al-Abqary Serang]