Fenomena penuaan (aging) merupakan satu kajian yang menarik untuk didiskusikan, fenomena ini dapat dipahami dari berbagai perspektif, seperti biologi, kesehatan, antropologi dan juga sosiologi, yang kemudian berkembang menjadi berbagai lapangan studi. Menurut McPherson, (1993) menjelaskan bahwa sebagai sebuah lapangan studi, sociology of aging mendeskripsikan dan menjelaskan polapola perilaku individu dan kelompok dalam interaksinya dengan orang lain yang berasal dari berbagai macam latar belakang sosial.
Berbagai macam latar belakang sosial ini antara lain sistem sosial mikro (keluarga inti atau keluarga luas) atau sistem sosial makro (negara, dunia). Bagi sosiolog, penuaan merupakan suatu proses sosial yang komplek atau problem yang menyangkut penggambaran dan penjelasan pola- pola interaksi antara penuaan individual dan perbedaan kelompok umur.
Pemahaman yang mendalam ini mencakup suatu pertimbangan yang ada di berbagai sistem sosial dan dalam suatu perubahan struktur umur; suatu ujian yang spesifik bagi normanorma budaya dan sub-budaya terhadap umur kronologis atau tahap-tahap kehidupan; dan suatu analisis peristiwa-peristiwa historis yang mungkin merupakan dampak yang unik bagi kelompok umur tertentu.
Namun demikian, kita harus mengakui bahwa kesempatan hidup dan gaya hidup di lingkungan hidup dapat terpengaruh oleh faktor sosial demografis seperti umur, jenis kelamin, pendidikan dan jabatan. Selanjutnya, bagiamanakah umur kita terpengaruh oleh atribut sosio-demografi? Yaitu dengan struktur umur pada organisasi sosial tempat kita berinteraksi; dengan struktur umur masyarakat kita, dan dengan keberadaan atau ketiadaan berbagai macam proses sosial (misalnya : diskriminasi, sosialisasi, stratifikasi umur) dalam sistem sosial yang umum (keluarga, pekerjaan).
Umur seseorang yang selalu bertambah selama hidup dan akhirnya menjadi berumur tua merupakan fase terakhir dalam setiap kehidupan manusia, dan merupakan fase yang dilalui setelah masa kanak-kanak, remaja, dan dewasa. Perkembangan ini terjadi secara alamiah.
Fenomena tentang proses penuaan dalam hubungannya dengan upaya untuk meraih kebahagiaan dan kesejahteraan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain ternyata menunjukkan keadaan yang berbeda. Variasi-variasi tersebut dapat dijelaskan dengan menggunakan teori-teori yang ada dalam micro theories of aging yang merupakan satu sintesa dari sosiologi dan psikologi sosial yang meliputi : teori peranan, teori refference group, teori sosialisasi, teori pertukaran, dan teori labelling.
Ada 4 teori yang dikembangkan khusus untuk menjelaskan fenomena tentang bagaimana penduduk usia lanjut dapat beradaptasi dengan baik pada masa akhir hidupnya. Karena teori tidak memberikan penjelasan secara lengkap tentang proses penuaan, konsep dari keempat teori tersebut sering digunakan dalam studi penelitian yang menjelaskan mengapa sebagian orang menyatakan sangat puas dalam masa akhir hidupnya. Dua dari empat teori tersebut adalah teori disangagement dan teori aktivitas.
1. Teori Disangagement
Teori ini menjelaskan bahwa penduduk lanjut usia menjadi berkurang keterlibatannya dalam lingkungan hidup disekitarnya. Karena mereka tidak terikat pada berbagai ikatan sosial, mereka menjadi lebih bebas dengan batas-batas yang sebelumnya menjadi bagian mereka (Cuming and Henry dalam Wirakartakusumah, 1994). Menurut teori ini isolasi yang progresif menyebabkan seseorang yang lanjut usia lebih bahagia karena ia bebas dari berbagai kewajiban terhadap masyarakat.
2. Teori Aktivitas
J. Palmore (1968) merupakan salah satu ahli yang mengembangkan teori ini. Ia mendasarkan pada premis bahwa dengan tetap melanjutkan aktivitas seorang lanjut usia akan memperoleh kebahagiaan. Melanjutkan aktivitas meningkatkan kebahagiaan bagi penduduk lanjut usia. Teori ini menjelaskan bahwa seorang lanjut usia yang tidak dapat melankukan aktivitas merasa ia tidak diinginkan dan tidak berguna lagi bagi masyarakat seperti pada usia mudanya. Ia tidak akan mendapatkan kepuasan dan kebahagiaan dalam hidupnya (McPherson, 1993).
Mengacu pada teori-teori tersebut di atas kiranya dipandang perlu untuk memahami dimensi yang ada dalam konsep kualitas hidup. Paling tidak ada lima dimensi yang dapat diukur, baik dengan mengkombinasikan beberapa ataupun menggunakan semuanya, yaitu :
1. Kinerj a dalam memainkan peran sosialnya;
2. Keadaan fisiologis individu
3. Keadaan emosional individu
4. Fungsi intelektual dan kognitif individu
5. Perasaan sehat dan kepuasan hidup.
Disamping pertanyaan tentang kemampuan seorang untuk menampilkan dan
memperoleh kepuasan dari peran-peran sosialnya, sejumlah pertanyaan berkaitan dengan empat dimensi lainnya perlu dijawab, misalnya: Keadaan fisiologis, sejauh mana mobilitas seseorang ? Seberapa besar ia bebas dari rasa sakit dan gejala-gejala fisik lainnya seperti kelemahan, limbung, kelelahan, dan kesulitan tidur ? Keadaan emosional, Apakah seseorang merasakan kecemasan, ketakutan, atau kekacauan ? apakah perasaannya stabil dan mampukah ia mengendalikan diri ? Fungsi-fungsi intelektual dan kognitif, Apakah seseorang waspada ? apakah ingatannya baik ? Yakinkah ia dengan kemampuannya membuat keputusan keputusan ? mampukah ia melakukan fungsi-fungsi intelektual yang dibutuhkan dalam menampilkan peran sosialnya ?