Lompat ke konten
Kategori Home » Ilmu Psikologi » Ragam Perspektif Perilaku Menyimpang

Ragam Perspektif Perilaku Menyimpang

  • oleh

Telah dikemukakan di bagian muka. bahwa suatu perilaku, baru dapat dinyatakan tergolong menyimpang ataukah tidak, sangatlah berkaitan dengan norma yang berlaku di dalam masyarakat.

Apabila norma yang berlaku di dalam masyarakat menyatakan bahwa perilaku tertentu itu tergolong menyimpang maka perilaku tertentu itu dapat dinyatakan sebagai menyimpang, akan tetapi apabila norma dari masyarakat yang bersangkutan tidak menggolongkannya sebagai perilaku menyimpang, maka perilaku tertentu itu akan dianggapnya sebagai perilaku yang biasa.

Kelemahannya adalah : Norma itu sendiri ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat kedaerahan, sehingga apa yang dinyatakan sebagai menyimpang di daerah tertentu belum tentu menyimpang bagi daerah lain, demikian pula sebaliknya, apa yang dianggap wajar bagi daerah tertentu, mungkin di daerah lain dianggap sebagai perilaku yang menyimpang.

Dengan demikian ukuran menyimpang atau tidak menyimpang sangatlah ditentukan oleh norma atau peraturan yang berlaku di dalam masyarakat yang bersangkutan.

Ada beberapa perspektif yang menyatakan mengenai factor-faktor penyebab perilaku menyimpang.

1. Perspektif lama dan baru

Jack P. Gibbs, dalam rangka menjelaskan mengenai Konssepsi perilaku menyimpang : Perspektif “lama” dan “Baru”, mengemukakan bahwa ada dua perspektif yang dapat digunakan untuk memahami mengenai faktor penyebab terjadinya perilaku penyimpang.

Dalam perspektif lama, dikemukakan bahwa penyebab terjadinya perilaku menyimpang itu adalah : Faktor Internal, yaitu sesuatu yang muncul dan berasal dari dalam diri individu pelaku itu sendiri. Seperti misalnya: Faktor genetis, faktor tipe fisik dan faktor psikis.

Sementara itu perspektif baru, justru mengemukakan hal yang sebaliknya, yaitu bahwa perilaku menyimpang itu disebabkan oleh: Faktor Eksternal, yaitu faktor-faktor yang muncul dan berasal dari individu pelaku penyimpangan, seperti misalnya: Faktor lingkungan.

2. Perspektif Fungsional

Perspektif ini dikembangkan oleh Erikson melalui pernyataannya ketika ia menjelaskan mengenai Sosiologi Penyimpangan. Suatu perilaku yang oleh suatu kelompok kecil seperti keluarga dinyatakan sebagai penyimpangan, belum tetntu dinyatakan sama oleh kelompok yang lebih besar, seperti masyarakat.

Hal diatas dapat terjadi oleh karena adanya berbedaan standard mengenai perilaku. Perbedaan standard tersebut kadangkala ada manfaatnya bagi kehidupan manusia, sebab dengan demikian antara kelompok yang satu dengan yang lain dapat saling mengontrol dan mengevaluasi diri. Dengan demikian, perilaku menyimpang, bukannya dianggap sebagai sesuatu yang merugikan, akan tetapi justru dianggap menguntungkan, karena bisa menjadi alat untuk mengontrol diri.

3. Perspektif konflik budaya

Hampir sama dengan penjelasan menganai keterkaitan antara keberadaan norma dan penyimpangan, perspektif ini juga menjelaskan bahwa suatu perilaku itu akan disebut sebagai penyimpangan ataukah bukan. Sangatlah tergantung dari budaya masyarakat ditempat perilaku itu terjadi. Terjadinya tindak-tindak menyimpang itu tak lain hanyalah oleh karena adanya konflik budaya. Anggota masyarakat tertentu dianggap bahwa perilaku itu wajar, akan tetapi anggota masyarakat lain sangat mungkin menganggap aneh.

Premis dasar yang menggaris bawahi perspektif ini adalah pendapat bahwa karena pengaruh sosialisasi dan pengalaman yang beraneka ragam, manusia seringkali bertentangan dalam mendefinisikan situasi,

4. Teori peralihan budaya

Isu sentral dalam teori ini adalah bahwa seseorang mempelajari tradisi dan nilai kultural, dimaksudkan untuk menuju pada komunikasi simbolik. Ada simbolsimbol interaksi di dalam masyarakat yang perlu difahami oleh berbagai fihak.

Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa: Seseorang gadis yang “diam” saja ketika ditanya kesanggupannya untuk dinikahi oleh seorang pria, untuk lingkungan masyarakat tertentu, merupakan pertanda “setuju”. Sementara itu apabila ada suatu keluarga yang faham ataukah tidak, telah, memberi suguhan “nasi” kepada rombongan tamu yang sedang melamar putrinya. Hal ini merupakan pertanda bahwa lamaran itu “ditolak”.

Anggota masyarakat yang walaupun karena tidak tahu, telah melakukan halhal tertentu yang tidak lazim, akan dianggap sebagai telah melakukan penyimpangan.

5. Teori anomie dan kesempatan

Teori anomie memberikan penjelasan bahwa suatu perilaku menyimpang dapat terjadi oleh karena merasa dirinya tidak dikenal atau tidak mudah dikenali.

Misalnya ketika seseorang sedang berada di dalam kerumunan, atau di tempat asing yang tidak ada satu orang pun yang mengenali dirinya. Sementara itu teori kesempatan memberikan penjelasan, bahwa perilaku menyimpang dapat terjadi karena seseorang merasa memperoleh kesempatan untuk melakukan sesuatu. Misalnya melihat barang berharga yang dibiarkan berada ditempat terbuka, tanpa pengawasan, atau seorang pria yang diberi “lampu hijau” oleh seorang wanita untuk melakukan sesuatu yang mestinya tidak patut dilakukan.

6. Teori Kontrol

Hampir senada dengan teori kesempatan, teori kontrol ini pada dasarnya menjelaskan bahwa perilaku penyimpang dapat terjadi ketika kontrol sosial yang ada di dalam masyarakat dirasa lemah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *