Manusia terkadang mengalami kesulitan untuk menggambarkan dirinya secara Iengkap. Penggambaran diri sendiri mencakup beberapa aspek atau informasi yang terpecah-pecah, subyektif, dan terkadang arogan. Konsep diri mengacu kepada bagaimana pandangan dan perasaan kita tentang diri kita. Intinya kia berupaya
Selain karya R.B. Burns (1993) tentang konsep din, tulisan James F. Calhoun dan Joan Ross Acocella (1995) Psycholog-y Of Adjustment and Human Relationships, memberikan gambaran yang cukup baik tencang konsep diri.
Menyusun sebuah gambaran selengkap-lengkapnya tentang diri pribadi. Tingkat kompleksitas pemahaman yang tinggi ketika menjumpai konsep diri membuat definisinya sulit untuk dirumuskan. Minimal seperti yang dikatakan Coihoun dan Acocella (1995) bahwa diri merupakan suatu susunan konsep hypotetis yang merujuk pada perangkat kompleks dan karaktenistik proses fisik, perilaku, dan kejiwaan dan seseorang.
Batasan ini sudah memperlihatkan betapa sangat relatifnya indikator yang muncul ketika seseorang mulai berkata :“ Saya adalah pacar yang setia !“ atau “ Tiga dai empat orang laki-laki adalah penyeleweng, saya termasuk satu selain itu !“.
Konsep diri menjadi rumit karena biasanya berkaitan dengan unsur subyektifitas yang tentu saja cenderung berbeda apabila dilihat dari sudut pandang orang lain selain pribadi bersangkutan. Namun bukanlah maksud kita untuk membicarakan benar dan salahnya pandangan diri tersebut, melainkan adanya kesepakatan bahwa konsep din harus dipelajari.
Mengapa konsep diri harus dipelajari? karena dengan mengetahui bagaimana karakteristik pribadi kita, maupun hal-hal lain yang berkaitan dengan diri sendiri, kemungkinan untuk menyesuaikan diri (empathy) maupun mempertinggi (mempertahankan) harga diri menjadi lebih tinggi. Dalam konteks ini, pemikiran tentang siapa diri kita sesungguhnya menjadi tidak terlalu penting, melainkan kita akan menjadi seperti apa yang kita pikirkan.
Mempelajari konsep diri sangat sulit dilakukan secara holistik, artinya diri sebagai suatu obyek tidak bisa dilihat secara umum. Seseorang bisa saja terlihat (mengaku) pendiam (ketika diskusi kelas berlangsung), namun menjadi sangat senang bicara (jago ngerumpi) ketika berada di kantin kampus. Manusia memang memiliki bermacam karakteristik yang bisa terpengaruh oleh situasi dan kondisi tententu.
Konsep diri mencoba melihat berapa besar konsistensi yang dimiliki oleh seseorang dengan memisahkan bebenapa aspek dan diri tersebut. Menunut Calhoun dan Acocella (1995), ada lima aspek diri yang berfungsi sebagai pembuka jalan dalam pemahaman selanjutnya, yaitu :
(1). Fisik diri, (2). Diri sebagai proses, (3). Diri sosial, (4). Konsep din, dan (5). Cita diri.
Meskipun kelima aspek tersebut bisa dipelajari secara terpisah, namun apabila salah satu dari aspek tersebut mengalami gangguan, maka gambaran diri secara umum akan mengalami goncangan. Konsep diri menjadi sangat penting karena memiliki pengaruh yang besar pada pemikiran dan perilaku kita. Secara teoritis pandangan dan perasaan tentang diri kita memiliki dua komponen utama :
(1). Komponen kognitif disebut dengan citra diri (self image),
(2). Komponen afektif disebut harga diri (Self esteem). Dengan self image dimaksudkan penampilan diri yang agak statis dan netral terhadap yang telah diperlihatkan (diri) yaitu suatu konsep yang dinamis, evaluatif dan dipenuhi dengan ekspresi emosional yang sangat besar. Dalam hal penilaian terhadap diri sendiri, konsep self image dipandang gagal karena cenderung menjelaskan diri sebagai obyek yang tetap, padahal manusia dalam kenyataannya (dirinya sendiri) adalah makhluk dinamis yang terus berkembang dan tak pernah puas (seperti yang dikatakan Abraham Maslow). Dengan komponen harga diri (self esteem) dimaksudkan evaluasi yang dibuat oleh individu dan biasanya penjagaan yang berkenaan dengan dirinya sendiri, terutama terlihat dalam hal mengekspresikan suatu sikap setuju atau tidak setuju dan menunjukan tingkat dimana individu itu meyakini dirinya sendiri dalam hal kemampuan, kepentingan, keberhasilan, dan berharga (Coopersmith dalam Burns, 1993).
Perspektif Konsep dan persepsi diri
Ada bebenapa perspektif yang dapat digunakan dalam menggambankan konsep diri. Dengan mengacu pada Strang (1957), maka Burns (1993) memberikan empat perspektif dan diri, perpektif itu adalah:
1. Konsep diri dasar, atau persepsi individu mengenai kemampuankemampuannya, statusnya dan peranan-penanannya di dunia luan. Hal itu adalah konsepnya tentang pribadi yang dia pikirkan sebagaimana apa adanya.
2. Diri yang fana yang dipegang oleh individu tensebut pada saat sekanang yang dipengaruhi oleh mood pada saat itu.
3. Diri sosial. Inilah din sebagaimana yang diyakini oleh individu itu yang orang orang lain melihat dan mengevaluasinya.
4. Diri yang ideal. Inilah macam pribadi yang dihanapkan individu tersebut. Keinginan menjadi pnibadi A atau menjadi pribadi B.
Apabila konsep diri berkaitan dengan bagaimana gambaran diri kita sendiri, maka adakalanya kita berpikir tentang bagaimana oran lain memberikan gambaran tentang diri kita, atau bagaimana kita memberikan gambaran terhadap diri pribadi orang lain.
Proses demikian disebut persepsi diri. Persepsi diri menurut David 0 Sears meliputi batasan bagaimana kita membuat kesan pertama, prasangka apa yang mempengaruhi orang lain tentang kita, jenis informasi apa yang kita pakai untuk sampai pada kesan tersebut, dan bagaimana akuratnya kesan kita. Inti permasalahan dan persepsi diri adalah bagaimana kita sampai pada penilaian tentang pribadi maupun karaktenistik lain dan seseorang.
Penilaian secara fisik mungkin lebih mudah dilakukan karena indikator yang jelas dengan perhitungan kwantitatif: seseorang dikatakan berbadan sehat karena mempunyai keseimbangan antara berat badan dengan tinggi tubuhnya. Namun akan dijumpai kesulitan bila ingin mengatakan seseorang “baik”, “jujur”, “culas”, dengan konsekwensi obyektif seperti penilaian pertama. Karena kesulitan itulah maka pandangan tentang persepsi cenderung dilakukan dengan menggunakan dua pandangan pokok, yaitu tekanan segi belajar dan tekanan dan faktor kognitif.