Lompat ke konten
Kategori Home » Sosial Politik » Perbedaan Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif Menurut Klaus Bruhn Jensen

Perbedaan Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif Menurut Klaus Bruhn Jensen

  • oleh

Perbedaan lainnya dikemukakan oleh Jensen (1991: 4-5) dengan melihat bentuk- bentuk knowledge yang biasanya diasosiasikan dengan metode kualitatif dan kuantitatif. Perbedaan mendasar antara metode kualitatif dan kuantitatif menurutnya adalah sebagai berikut:

Lebih lanjut ia menjelaskan, metode kualitatif memiliki latar belakang ilmu-ilmu humanitis atau Geisteswissenschaften, dengan kultur dan komunikasi bisa dipahami sebagai sumber makna (meaning) dalam batasan-batasan fenomenologis dan kontekstual. Sebagai akibatnya, analisis kualitatif berfokus pada munculnya (occurrence) obyek analitik pada konteks tertentu. Implikasi lainnya, analisis kualitatif menggunakan pendekatan internal  untuk dalam memahami budaya, menginterpretasikan dan mungkin hingga melibatkan diri

secara total. Pada tingkat ini, isi media dan bentuk budaya dapat dipandang sebagai sesuatu yang membangkitkan keunikan, sebuah pengalaman (experience) yang utuh tak terbagi agar dapat memberi penjelasan atau penafsiran (exegesis) padanya. Pendekatan kualitatif menguji produksi makna sebagai sebuah proses (process) yang dikontekstual dan diintegrasikan dengan praktek-praktek sosial dan budaya yang lebih luas.

Sebaliknya, metode kuantitatif diyakini memiliki latar belakang ilmu-ilmu natural atau Naturwissenschaften, dengan kultur dan komunikasi bisa dipahami sebagai sumber informasi (information) dalam pengertian suatu pesan bermakna yang dibawa melalui media. Sebagai akibatnya, analisis kuantitatif berfokus pada muncul kembalinya (recurrence) hal-hal yang sama meskipun pada konteks yang berbeda.

Implikasi lainnya, analisis kuantitatif menggunakan pendekatan external untuk menjaga jarak terhadap nilainilai budaya  yang ada. Pada tingkat ini, isi media dan bentuk budaya dapat dipandang sebagai suatu set stimuli yang dapat dimanipulasi melalui experiment dan menghasilkan variabel-variabel yang dapat diukur (measured). Pendekatan kuantitatif berfokus pada halhal konkrit hasil dari suatu produksi makna.

Seperti telah disinggung di muka, Anderson (1998: 206) secara spesifik menjelaskan perbedaan antara metode kualitatif dan kuantitatif atas dasar landasan kelompok objectivist dan landasan hermeneutic. Lebih lanjut Anderson menjelaskan bahwa hermeneutic empiricism menempatkan wilayah studi manusia beserta penjelasanpenjelasannya dalam domain tanda (sign). Domain ini mempertemukan hermeneutic empiricism dengan fenomena yang ditujunya; suatu fenomena yang merupakan konstruksi manusia, yang secara ontologis tergantung pada perspektif yang diikutinya, dan yang berada pada suatu hubungan yang keefektifannya ditentukan oleh pencapaian manusia.

Empirisme hermeneutic menempatkan perlakuan interpretif di antara obyek analisis dan subyek klaim. Wilayah fenomena empirisme jenis ini terdiri dari fakta-fakta dan perlakuan interpretif yang diupayakan agar bermakna bagi tindakan-tindakan manusia. Dalam hal ini, klaim (claim) dipandang sebagai hadirnya upaya mencapai kebenaran, dan ilmu adalah bagian dari upaya manusia ke arah itu.

Fungsi awal hermeneutic empiricism adalah mengantar analisis ke sisi produksi makna. Patut diingat, studi atau penelitian berbasis empirisme jenis ini biasanya diawali dengan sejumlah “kegelisahan” tentang `bagaimana hal itu dilakukan?’, `nilai sosial apa yang ada dalam rujukan simbolik dan aktivitasnya?’, `apa makna tindakan atau teks?’, dan

`persyaratan-persyaratan apa yang diperlukan untuk upaya pencapaiannya (Anderson,  1998: 208). Bila langkah awal ini sudah dijalankan dan berhasil dimasuki, peneliti kemudian melakukan aktivitas berulang dan berganti-ganti antara “membaca” dan “menulis”. Lebih lanjut Anderson menjelaskan, terjun berpartisipasi dalam dunia yang ditelitinya adalah sebuah aktivitas “membaca”. Melakukan interview jangka lama (long-form interviews atau conversation) serta lewat sambil melihat (walking one through atau protocol analysis) adalah jenis membaca secara interaktif.

Mengumpulkan sejumlah artifak dapat dipandang sebagai aktivitas noninteractive reading. Sedangkan aktivitas melakukan pemotretan, perekaman, transkripsi serta pencatatan adalah aktivitas “menulis”. Hasil dari aktivitas “membaca” dan “menulis” ini yang kemudian menjadi kumpulan pengalaman dan bahan untuk dideskripsikan, diinterpretasikan, dianalisis, dimaknai dan dikritik. Dalam kalimat yang lebih singkat, Griffin (2003: 508) menyebut hermeneutic sebagai suatu studi dan sekaligus praktek interpretasi.

Hermeneutic sendiri pada dasar dan awalnya lebih terkait dengan studi yang menginterpretasikan naskah-naskah kuno. Fokus terhadap ini kemudian mengarah pada studi tekstual setelah Dilthey dan Gadamer membakukan dan memperluas cakupannya (Palmer, 1969). Metode hermeneutic lebih jauh dapat diterapkan pada segala situasi saat seorang peneliti berusaha mencermati ulang makna-makna kesejarahan, sehingga hermeneutic kemudian dianggap sebagai metode yang aplikabel untuk  pendekatan interpretif kalangan antropolog dan mereka yang terjun dalam cultural studies.

Beragam nama muncul dan diklaim oleh peneliti yang memakai pendekatan interpretif. Di antaranya: hermeneuticists, poststructuralists, deconstructivists, phenomenologists, cultural studies researchers dan social action theorists. Lihat Griffin (2003: 9).

Dalam kaitannya dengan ilmu komunikasi, rentang  peta antara  empirisme  objectivedan hermeneutic (interpretive) digambarkan dengan baik oleh Griffin (2003: 508-511). Ia memetakan permasalahan itu dalam suatu skala dengan hermeneutic pada akhir skala. Seperti telah disinggung di depan, penganut objective berpegang pada realitas social yang tunggal, bebas dan otonom.

Prinsip-prinsip teoritik utama dalam pandangan mereka adalah ahistoris dan tidak tergantung pada kondisi lokal. Penganut interpretive, di sisi lain, menganggap realitas sebagai keadaan yang dibuat (conferred status). Interpretasi adalah upaya manusia yang menjadikannya sebagai data, dan teks tidak pernah menginterpretasikan dirinya sendiri. Pengetahuan harus dilihat dari sudut pandang tertentu, yang konsekuensinya tidak bisa secara sembarangan melintasi batas waktu dan ruang.

Griffin (2003: 510) lebih lanjut mencoba membuat klasifikasi sejumlah teori komunikasi atas dasar pandangan objective dan interpretive.

Klasifikasinya dapat dilihat pada bagan berikut:

Teori Komunikasi dan Pandangan Objective dan Interpretive

Sejumlah paparan di atas kiranya dapat mempermudah dan melengkapi pemahaman terhadap perbedaan yang ada antara metode penelitian kualitatif dan kuantitatif. Pada bagian selanjutnya akan disajikan lebih lanjut tentang paradigma interpretif (interpretive paradigm).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *