Sesungguhnya perbedaan pendapat yang terjadi di antara para sahabat Rasulullah saw. dan diakui oleh beliau adalah dalam persoalan yang memungkinkan adanya keragaman pemahaman terhadap suatu makna. Rasulullah saw., misalnya, bersabda, “Janganlah seorang pun shalat Ashar kecuali di Banu Quraidhah.” (HR al-Bukhari dari Ibnu Umar). Para sahabat Rasulullah saw. berbeda pendapat dalam menyikapi perintah ini: sekelompok sahabat melaksanakan shalat di perjalanan; sekelompok lainnya tidak melakukan itu karena berketetapan hendak shalat di perkampungan Banu Quraidzah. Rasulullah saw. mengakui dua pemahaman ini dan memujinya (Lihat: Ibnu al-Qayyim, I’lam al-Muwaqi’in, 1/203).
Jika nash syariah mengandung keragaman pemahaman maka perbedaan pendapat dalam hal itu dibolehkan. Lain halnya dengan perkara yang qath’i maknanya dan tidak mengandung makna ganda. Perbedaan pendapat di dalamnya adalah diharamkan. Misalnya firman Allah SWT (yang artinya): Dirikanlah shalat (TQS al-Baqarah [2]: 43); Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman (TQS al-Baqarah [2]: 278).
Imam al-Mazari menyatakan dalam kitabnya, Idhah al-Mahshul min Burhan al-Ushul,bahwa nash yang tidak memberikan ruang ijtihad adalah teks yang menunjukkan hukum dengan jelas (sharih), disampaikan dalam redaksi yang tidak mengandung kemungkinan lain (Al-Idhah, hlm. 305).
Al-Asnawi menyatakan dalam kitab Nihayat as-Sul, “Hukum yang memberikan ruang ijtihad adalah hukum syariah yang bersifat zann menurut syariah. Karena itu keharaman zina dan meminum khamar serta seluruh persoalan agama yang mutlak (dharuri) berada di luar ruang ijtihad.” (Nihayat as-Sul, 4/530).