Setelah refleksi pendahuluan ini menekankan hakikat nasionalisme yang paradoksal dan sukar dipahami, maka adalah balk bila kami menawarkan suatu definisi kerja tentang istilah itu, atau apa yang ilmuwan sosial ketahui (setelah Max Weber) sebagai suatu “tipe ideal”.
Nasionalisme: suatu ideologi yang memiliki kekuatan pengaruh yang menggerakkan, merupakan perasaan menjadi bagian dari sesuatu dan berfungsi membangun perasaan bagi suatu komunitas nasional. Pada penyebar ideologi ini mengatributkan kepada negara mereka suatu identitas kultural yang khas yang menetapkan bahwa negara itu terpisah dari negara-negara lain dan memberikan suatu tempat khusus di dalam proses historis.
Komunitas ini (biasanya bersifat agung) diindentifikasi dengan seperangkat karakteristik yang unik yang menurut dugaan berasal dari realitas kontitusional, historis, geografis, agama, bahasa, etnis dan atau genetis. Sentimen-sentimen yang ditimbulkan oleh perasaan menjadi salah satu anggota komunitas ini bisa dibatasi pada suatu perasaan berharga yang luar biasa dalam kultur dan tradisi nasional itu tanpa terkait dengan tuntutantuntutan politik (“nasionalisme kultural”).
Di pihak lain, ketika sentimen semacam itu memainkan suatu peran utama dalam dinamika gerakan politik, maka daya dorong nasionalisme umumnya bagi komunikas nasional dianggap membentuk suatu negara “secara alamiah” (apakah bersifat otonom atau bagian dari suatu federasi atau konfederasi negara), di mana kedaulatan yang seharusnya dimiliki atau terletak dalam tangan rakyat dijalankan oleh wakil yang terpilih atau yang memilih dirinya sendiri di dalam batas-batas teritorial yang diakui oleh komunitas politik internasional.
Sejauh “negara bangsa” yang muncul menegakkan prinsip civil society sebagai basis di mana semua penduduk tetap menikmati sepenuhnya hak-hak asasi manusia karena kewarganegaraannya terlepas dari kriteria etnis, maka nasionalisme tidak dapat dipecah-pecahkan dari liberatisme politik dan melahirkan “nasionalisme liberal” (kadang-kadang disebut “nasionalisme kewarganegaraan”).
Dengan demikian, identitas nasional “sekunder” yang subyektif dalam pengertian “kecintaan terhadap negara seseorang” atau patriotisme, yang mungkin baik dibedakan dengan suatu pengertian identitas etnis primer sejauh dapat diperdebatkan merupakan kohesi sosial dan stabititas politik dari semua demokrasi liberal.
Namun demikian, dalam masyarakat post-tradisional, kebutuhan manusia yang universal akan identitas dan rasa memiliki sering dipenuhi oleh bentukbentuk kecintaan afektif yang hebat terhadap tanah air sendiri (“chau-vinisme”) atau etnis sendiri (etnosentrisme), orang sering memeliharanya melalui kebencian terhadap negara, etnis atau ketompok lain yang ada dalam negara.
Emosi semacam itu sudah terbukti rentan untuk diekspliotasi karena tujuan politik mereka sendiri, baik melalui oligarki negara (dalam bentuk “nasionalisme resmi”) atau melalui penghasut-penghasut dari suatu gerakan revolusioner. Dalam kasus-kasus semacam itu, nasionatisme bisa berlaku sebagai legitimasi terhadap kebencian yang diarahkan kepada “orang-orang asing” (xenophobia) dan dikriminasi berdasarkan etnisitas (rasisme), di mana secara aksiomatis keduanya menyangkal universalitas manusia, dan kemudian membangkitkan “nasionalisme iliberal”.
Ini kemudian berlaku untuk mendukung kebijakan-kebijakan domestik maupun luar negeri yang dapat menimbulkan penaklukan, penyiksaan atau bahkan pemusnahan yang sengaja terhadap komunitas etnis atau negara yang dirasakan sebagai asing, primitif atau yang merosot akhtaknya. Dalam bentuk ini, nasionalisme merupakan musuh yang paling potensial bagi suatu komunikats internasional yang harmonis dan bagi penciptaan suatu masyarakat politik dan ekonomi global yang berkelanjutan.
Definisi ini, selain kompleks, secara artifisial juga masih menyederhanakan fenomen nasionalisme dengan memisahkan ke dalam unsur-unsur komponen yang berbeda yang “pada dasarnya” bersama-sama sangat erat bertalian. Satu contoh klasik dari ini disediakan oleh karya Maximilien Roberspierre (1758-1994), salah seorang pengikut ideologi utama Jacobin dalam Revolusi Prancis.
Meskipun ia memulai sebagai seorang aktivis yang sangat setia dan pandai berbicara dalam gerakan nasionalisme liberal yang meruntuhkan rezim orde lama (ancien regime),namun patriotismenya secara berangsur-angsur merosot ke dalam chauvinisme fanatis di mana ia membenarkan kediktatoran dan teror, suatu perbuatan tak wajar sebagaimana dicontohkan oleh keputusan Tribunai Revolusioner untuk mendefinisi ulang kejahatan pengkianatan sebagai lese-nation dan bukan lesemajeste.
Kemampuan nasionalisme untuk dipraktikkan sebagai suatu gerakan populis emansipatoris atau suatu ortodoksi negara yang cenderung otoritarian, suatu kekuatan yang menegakkan nilai-nilai liberal radikal atau merusaknya, mendorong beberapa komentator untuk merujuk kepada ambivalensi esensialnya berdasarkan kualitas “kepada-Janus”nya.
Bahkan kiasan yang lebih kuat yang mengibaratkan nasionalisme dengan penderita schizofrenia membawa kita kepada buku Minogue yang mengatakan, “nationalisme, sebagaimana riwayatnya diceritakan secara umum, di mulai dengan Sleeping Beauty dan berakhir pada monsternya Frankeistein”.
Namun demikian, seperti yang disampaikan Jacobinisme, tidak harus diasumsikan bahwa nasionalisme Eropa mengalami kemorosotan secara misterius sebagaimana terjadi pada abad ke-19. Sepanjang nasionalisme merupakan suatu kekuatan aktif dalam sejarah, ia akan selalu mengandung potensi untuk mendorong balk demokrasi liberal yang asli maupun ejekan fantasisnya, yang menegakkan hak-hak dari segmen kemanusiaan dengan mengorbankan orang lain.
Bagaimanapun juga, Deklarasi Kemerdekaan Amerika pada tahun 1776 berjalan bersamaan dengan perusakan kultur Amerika asli (native American Culture), seperti Inggris mempertahankan institusi perbudakan di India Barat lama setelah “Glorious Revolution” pada tahun 1688 yang hanya dalam teori mentransferkan kedaulatan kepada rakyat Inggris (meskipun pada kenyataannya terhadap elit lakilaki yang berkuasa). Di sepanjang abad ke-20 nasionalisme terus menunjukkan kemampuan sebagai pemikiran ganda, dan kadang-kadang berlaku sekaligus sebagai Dr. Jekyill yang tercerahkan dan Tuan Hyde yang socio-patologis.
Referensi :
Universitas Gadjah Mada