Jika konfiik sungguh dapat mendatangkan keuntungan sebanding dengan kerugiannya, tugas pokok organisasi yang menghadapi konfiik dengan memperhitungkan proses tersebut adalah dengan menanganinya. Secara singkat keseluruhan tujuan tidah harus menghilangkan konfiik, harus memakai prosedur untuk memaksimalkan keuntungan-keuntungan yang potensial diperoleh sambil meminimalkan kerugian-kerugiannya.
Negosiasi: Cara yang Paling Umum
Strategi yang paling umum digunakan untuk menyelesaikan konfiik organisasional dan kemudian mengelolanya secara efektif adalah negosiasi atau tawar-menawar. Dalam proses ini pihak-pihak yang berlawanan melakukan tawar-menawar, tawaran balik, dan konsesi, baik secara langsung maupun melalui wakilnya.
Proses tersebut berhasil jika dihasilkan solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak dan konfiik terselesaikan secara efektif. Sebaliknya, jika bargaining tidak berhasil, dan tawar menawar mengalami jalan buntu, maka konfiik justru akan lebih meningkat. Hanya pertanyaannya sekaran adalah faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap hasil tersebut? Ini merupakan pertanyaan yang menjadi pokok penelitian beberapa dekade terakhir ini.
Salah satu faktor yang berpengaruh sangat kuat dalam menentukan hasil negosiasi adalah teknik khusus yang dipakai oleh negosiator. Beberapa di antaranya didesain untuk menekan aspirasi pihak lawan— membuat mereka memiliki sedikit kesempatan untuk meraih tujuan mereka, lebih menjadi menerima berbagai tawaran yang mereka lihat cukup menguntungkan. Berbagai stretegi khusus dapat dipakai untuk tujuan ini. Sebagai contoh, satu pihak dapat menyarankan bahwa ia memiliki partner yang potensial dan akan mengundurkan diri dari proses negosiasi yang sedang berjalan bila tawaran yang dikemukakan tidak dapat diterima.
Jika pihak lain dapat menerima informasi ini, hal ini akan dipakai sebagai kelonggaran. Ketiga, kursus negosiasi dan penyelesaian terakhir seringkali dipengaruhi oleh keadaan alamiah penawaran alamiah. Penawaran yang berlebihan kelihatan mempunyai tekanan yang kuat untuk kelonggaran lawan, yang menghasilkan penyelesaian yang sesuai dengan posisi. Sebaliknya, jika penawaran awal terlalu berlebihan, lawan mungkin marah dan memutuskan untuk mencari pasangan negosiasi yang lain.
Kelompok kedua adalah faktor-faktor yang menentukan keadaan dan hasil penawaran yang mencakup ‘pengakuan’ atau fokus negosiator. Beberapa penelitian menganjurkan bahwa ketika para penawar mempunyai pemikiran positif yang memfokuskan pada keuntungan negosiasi yang potensial dan penyelesaian yang dapat menghasilkan penawaran yang ada. Sebaliknya, ketika mereka mempunyai pemikiran negatif yaitu memfokuskan pada kerugian atau biaya potensial yang terhalangi. Singkatnya, pengharapan atau kumpulan pengakuan yang dapat mewujudkan kenyataan, menentukan keadaan dan rangkaian penawaran yang nyata.
Aspek negosiasi yang ketiga yang mempunyai peran penting dalam proses ini adalah persepsi orang yang bersangkutan. Penelitian-penelitian oleh Thompson dan rekan-rekannya mengungkapkan bahwa negosiator seringkali terlibat dalam situasi penawaran dengan kesalahpahaman. Secara khusus, mereka memulai pandangan mereka dari minat mereka dan minat orang lain yang berlawanan; the incompatibility errors. Tentu saja, hal ini menyebabkan mereka untuk mengabaikan minat-minat yang tidak sesuai. Mereka cenderung untuk memulai pendapat yang seringkali salah, yang pihak lain mempunyai kepentingan atau prioritas sama; hal ini disebut sebagai fixed-sum error. Kedua anggapan ini adalah salah dan seringkali mencegah para penawar dari menerima persetujuan yang menguntungkan kedua belah pihak secara maksimal.
Untungnya, kesalahpahaman ini memperhatikan minat dan prioritas yang seringkali berubah selama negosiasi, yang seringkali terjadi hanya dalam beberapa menit. Para negosiator yang berpengalaman lebih jarang untuk membuat kesalahan daripada yang tidak berpengalaman. Akan tetapi, banyak para negosiator yang mempertahankan persepsi yang salah ini dalam waktu penawaran yang terlalu lama, sebagai hasil bahwa kedua belah pihak ini mempunyai pendapatan yang lebih rendah daripada pihak yang lain.
Seperti yang diharapkan, kesalahan-kesalahan persepsi yang lebih kecil (yaitu, persepsi penawar yang lebih akurat), pendapatan gabungan yang lebih tinggi yang diperoleh dari kedua belah pihak. Kemudian, tahap-tahap dirancang untuk meningkatkan ketepatan persepsi negosiator dalam menghadapi situasi yang mereka hadapi dan minat orang lain sehingga prioritas dapat berjalan dengan baik dalam meningkatkan hasil-hasil proses ini. Tahap-tahap ini termasuk para negosiator yang sudah dilatih untuk mencari informasi dari orang satu dengan yang lain selama negosiasi dan bukan merupakan anggapan awal mereka, sehingga membuat mereka sadar tentang fixed-sum dan incompatibility errors yang telah dijelaskan diatas.
Mungkin, faktor yang paling penting menentukan kesuksesan negosiasi dalam memberikan hasil yang memuaskan bagi kedua belah pihak, akan tetapi, melibatkan orientasi secara keseluruhan dari seluruh partisipan untuk mencapai proses ini. Tiga dekade yang lalu, negosiasi adalah sebagai situasi “menang dan kalah” dimana yang satu menang dan yang satu kalah. Sebaliknya, orang-orang dapat mempunyai negosiasi sebagai situasi “menang dan menang”; dimana minat kedua belah pihak tidak selalu tidak sesuai dan dapat dimaksimalkan.
Tidak semua situasi menawarkan keunggulan untuk suatu persetujuan, tetapi kelihatannya ada kesalahpahaman antara kedua belah pihak yang pada kenyataannya menyediakan banyak kemungkinan. Jika partisipan mampu mengungkapkan semua pilihan dengan hati-hati, dan mengerahkan usaha yang dibutuhkan untuk mengenali pemecahan kreatif yang potensial, mereka dapat mencapai ‘persetujuan yang integratif; salah satu yang menawarkan keuntungan gabungan yang lebih besar daripada kesepakatan sederhana (memisahkan semua perbedaan menjadi hampir sama).
Bagaimana persetujuan integratif yang dapat dicapai? Pruitt dan rekan-rekannya menganjurkan banyak kemungkinan yang dijelaskan pada label di bawah. Seperti yang dapat dipahami, hal ini melibatkan beberapa taktik nyata. Dalam kompensasi yang tidak spesifik, seseorang dapat menerima keuntungan tertentu dan orang lain mengganti kerugian untuk menyediakan hal ini dalam sikap yang tidak berkaitan (contohnya dengan kelonggaran pada masalah-masalah lain). Dengan balas jasa, setiap pihak membuat kelonggaran pada masalah-masalah yang tidak penting untuk mendapatkan kelonggaran pada masalah-masalah yang lebih disesuaikan dengan kebutuhan. Contohnya, mengingat perselisihan antara para ahli ilmu pengetahuan dan manajer dalam departemen penelitian pada organisasi yang luas. Para ahli ilmu pengetahuan ingin untuk bebas memesan peralatan yang diinginkan, menguasai proyek yang penting, dan melakukan pekerjaan yang ‘kecil’ sesedikit mungkin.
Manajemen ingin mengeluarkan biaya sekecil-kecilnya, menginginkan para ahli ilmu pengetahuan untuk menguasai proyek perusahaan pilihan dan membutuhkan banyak laporan dan formulir. Dengan strategi balas jasa, para ahli ilm pengetahuan mungkin akan setuju untuk mengerjakan pekerjaan lebih banyak (masalah yang tidak penting bagi mereka, tetapi yang sangat penting bagi manajemen), dan lebih memperhatikan biayanya (suatu masalah lain yang utama bagi manajemen).
Akan tetapi, mereka akan mendapatkan kebebasan yang lebih banyak untuk menguasai eberapa proyek yang dipilih mereka endiri (masalah utama untuk ahli-nya). Hasil-hasil pengetahuan menganjurkan bahwa ketika perselisihan antara pihak-pihak yang mewujudkan persetujuan yang integratif, hasil gabungan meningkat.
Perundingan Pihak Ketiga
Sampai titik ini kita telah membahas tawar menawar dalam perundingan langsung. Tetapi kadang-kadang individu atau wakil kelompok menemui j’alan buntu dan tidak mampu menyelesaikan perbedaan mereka lewat perundingan langsung. Dalam kasus semacam ini, mereka mungkin berpaling ke pihak ketiga untuk membantu mereka menemukan suatu penyelesaian. Ada empat peran mendasar pihak ketiga, yakni mediator (penengah), arbitratori (wasit), perujuk (konsiliator), dan konsultan.
Mediator, adalah pihak ketiga yang netral yang mempermudah suatu pemecahan rundingan dengan menggunakan penalaran dan persuasi, menyarankan alternatif, dan semacamnya. Mediator secara luas digunakan misalnya dalam perundingan staf dan manajer, juga dalam pertikaian pengadilan perdata.
Keefektifan keseluruhan dari perundingan yang menggunakan mediator cukup mengesankan. Tingkat penyelesaian kira-kira 60%, dengan kepuasan perundingan pada sekitra 75%. Tetapi situasi merupakan kunci apakah mediasi akan berhasil, pihak-pihak yang berkonflik harus dimotivasi untuk tawar-menawar dan memecahkan konflik mereka. Di samping itu, intensitas konflik tidak dapat terlalu tinggi; mediasi paling efektif pada tingkat konflik yang sedang. Akhirnya, persepsi tehadap mediator itu penting; untuk efektif, mediator harus dipersepsikan sebagai netral dan tidak memaksa.
Arbitrator, adalah pihak ketiga dengan otoritas memaksa suatu persetujuan. Arbitrasi dapat bersifat sukarela (diminta) atau wajib (dipaksakan pada pihak-pihak oleh undang-undang atau kontrak). Otoritas arbitrator beraneka menurut aturan yang ditentukan oleh para perunding. Misalnya, arbitrator mungkin terbatas pada memilih tawaran terakhir dari salah satu perunding atau pada menyarankan suatu titik persetujuan yang tidak mengikat, atau bebas untuk memilih dan membuat setiap pertimbangan yang dia inginkan.
Kelebihan besar dari arbitrasi ketimbangan mediasi adalah bahwa arbitrasi selalu menghasilkan suatu penyelesaian. Apakah ada sisi negatif bergantung pada seberapa canggungnya arbitrator itu tampil. Jika satu pihak dibiarkan merasa sangat dikalahkan, pihak itu pasti tidak puas dan kemungkinan kecil akan menerima dengan ramah keputusan arbitrator. Jadi konlik itu mungkin akan muncul lagi dikelah kemudian hari.
Konsiliator, merupakan pihak ketiga terpercaya yang memberikan tautan komunikasi informal antara perunding dengan lawannya. Perujukan luas digunakan dalam sengketa internasional, perburuhan, keluarga dan komunitas. Membandingkan keefektivitasannya dengan mediasi ternyata sulit, karena keduanya banyak sekali tumpang tindih. Dalam praktek, lazimnya perujuk bertindak sebagai lebih dari sekadar menjalankan komunisasi. Mereka juga melakukan penemuan fakta, penafsiran pesan dan pembujukan mereka yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan.
Konsultan, adalah pihak ketiga yang trampil dan tidak berat sebelah yang berupaya memudahkan pemecahan masalah lewat komunisasi dan analisis, yang dibantu oleh pengetahuannya mengenai manajemen konflik. Kontral dengan peran-peran di atas, peran konsultan tidaklah untuk menyelesaikan isu, tetapi lebih ke perbaikanhubungan antar pihak-pihak yang berkonflik sehingga mereka dapat mencapai penyelesaian sendiri. Sebagai ganti mengemukakan pemecahan yang spesifik, konsultan mencoba membantu pihak-pihak itu untuk belajar memahami dan saling bekerja sama. Oleh karena itu, pendekatan ini mempunyai fokus jangka yang lebih panjang: membina persepsi dan sikap yang baru dan positif antar pihak-pihak yang berkonflik.