Pengertian Pengawasan yuridis/ oleh Kekuasaan Kehakiman Yang dimaksud dengan kekuasaan kehakiman di sini adalah kekuasaan untuk mengadili. Berdasarkan Undang-undang No: 14 tahun 1970 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman, kekuasaan kehakiman ini dilaksanakan oleh lembaga peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata
Usaha Negara yang semuanya berpuncak kepada Mahkamah Agung. Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) ini diatur dalam Undang-undang Nomor:5 tahun 1986. Meskipun UU PTUN dikeluarkan tahun sejak 1986 namun pelaksanaannya secara efektif baru pada tahun 1991. Kompetensi dari PTUN adalah memeriksa dan mengadili sengketa tata usaha negara, yakni sengketa antara orang (individu atau badan hukum perdata) dengan pejabat tata usaha negara atau Badan
Tata Usaha Negara karena berlakunya keputusan tatausaha negara (Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah Dan Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia, hal 50)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan unsur-unsur untuk adanya Peradilan Tata Usaha Negara adalah:
1. Adanya pihak ketiga (Lembaga Pengadilan).
2. Minimal ada 2 pihak yang bersengketa yaitu Pejabat / Badan Tata Usaha dengan orang (individu atau badan hukum perdata)
3. Adanya keputusan tata usaha negara.
4. Adanya peraturan hukum di bidang adminstrasi negara/tata negara.
Peradilan Tata Usaha Negara ini memiliki tiga jenjang pemeriksaan, yakni peradilan tingkat pertama dilaksanakan oleh PTUN, peradilan tingkat banding dilaksanakan oleh Pengadilan Tinggi TUN dan peradilan tingkat kasasi dilaksanakan oleh Mahkamah Agung.
Berdasarkan UU No: 14 tahun 1970 PTUN ini secara operasional dan fungsional bertanggung jawab kepada Mahkamah Agung, akan tetapi secara administratif finansial bertanggung jawab kepada departemen kehakiman. Ini berarti bahwa kualitas keadilan dan putusan hakim, Mahkamah Agung yang berhak menilai melalui pemeriksaan kasasi. Sedangkan segala sesuatu yang berkaitan dengan status, hak serta kewajiban hakim sebagai Pegawai Negeri Sipil diurus oleh Departemen
Kehakiman. (Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah Dan Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997,hal 51) Dalam pengawasan yuridis atau pengawsan oleh kekuasaan kehakiman terhadap aparatur pemerintah, titik berat pengawsan terletak pada aspek yuridis sehingga hakim tidak boleh menilai perbuatan aparatur pemerintah dan aspek kebijaksanaan (doelmatigeheids).
Dalam pasal 53 (2) UU PTLTN sudah diatur mengenai alasan-alasan yang dipergunakan oleh hakim untuk menilai apakah perbutan dari aparat pemerintah apakah bertentangan atau tidak dengan ketentuan yang berlaku.
Ketentuan pasal 53 (2) UU No: 5/1986 adalah : Alasan-alasan yang dapat dipergunakan dalam gugatan pada PTUN adalah:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku.
b. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dan maksud dibenikannya wewenang tersebut.
c. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut.
Dari ketentuan pasal 53 (2) UU No:5 tahun 1986 dapat disimpulkan bahwa perbuatan aparatur pemenintah dalam hal ini keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dapat digugat di PTUN adalah Keputusan Badan/Pejabat TUN yang merugikan individu yang dikategorikan sebagai:
1. Perbuatan melanggar Undang-Undang (Onwetmatige)
2. Perbuatan menyalah gunakan wewenang (Detournement de pouvoir)
3. Perbuatan sewenang-wenang. (willekeur)
Rumusan pasal 53 (2) UU No:5 tahun 1986 ini bersifat limitatif artinya hanya 3 perbuatan tersebut yang hanya dapat dipergunakan sebagai alasan menggugat di PTUN. Selain hal terdebut di atas sikap aparatur pemerintah yang dapat digugat adalah baik yang bersifat aktif artinya aparatur pemerintah mengeluarkan suatu keputusan maupun bersifat pasif artinya aparatur pemerintah tidak mengeluarkan keputusan.
Referensi :
Hadawi Nawawi, Pengawasan Melekat Dikingkungan Aparatur Pemerintahan, Penerbit
Erlangga, Jakarta, 1989.