Beberapa cara melihat agama; menurut Soedjito (1977) ada empat cara, yaitu: memahami atau melihat sejarah perkembangan agama; memperbandingkan antar agama yang ada dan menghasilkan Ilmu Perbandingan Agama; mempelajari ajaran agamanya dan akan menumbuhkan ilmu yang disebut Theologia dan melihat fungsi agama dalam kehidupan masyarakat. Cara melihat agama dari sudut fungsi sosialnya, inilah yang menjadi dasar penglihatan sosiologi terhadap agama.
Pendekatan Teori Fungsional Terhadap Agama
Teori fungsional memandang masyarakat sebagai suatu lembaga sosial yang berada dalam keseimbangan; yang menolak kegiatan manusia berdasarkan norma-norma yang dianut bersama serta dianggap sah dan mengikat peran serta manusia itu sendiri. Lembaga-lembaga yang komplek ini secara keseluruhan merupakan sistem sosial yang sedemikian rupa dimana setiap bagian (masing-masing unsur kelembagaan itu) saling tergantung dengan semua bagian yang lain, sehingga perubahan salah satu bagian akan mempengaruhi kondisi sistem keseluruhan. Dalam pengertian ini agama merupakan salah satu bentuk perilaku manusia yang telah terlembaga,. Karena itu lahir masalah sejauh mana sumbangan masing-masing kompleks kelembagaan ini dalam mempertahankan sistem sosial?
Teori Fungsional melihat manusia dalam masyarakat sebagai ditandai oleh dua tipe kebutuhan dan dua jenis kecenderungan bertindak. Demi kelangsungan hidupnya, manusia harus bertindak terhadap lingkungan, baik dengan cara menyesuaikan diri pada lingkungan itu, atau menguasai dan mengendalikannya Masyarakat manusia beserta kebudayaan yang merupakan sarana untuk mempertahankan hidupnya (survival) manusia dan masyarakat, sexing membutuhkan kematian sebagian anggota demi kelanjutan hidup mereka.
Sejarah kemanusiaan menunjukkan bahwa kemampuan manusia untuk mengendalikan lingkungan dan mempengaruhi kondisi lingkungannya selalu meningkat. Kegiatan manusia bukan hanya kegiatan yang bersifat penyesuaian dan manipulasi. Manusia juga mengungkapkan perasaan, bertindak dan melaksanakan kebutuhan yang dirasakan, menanggapi orang dan benda dengan cara yang non utilitarian dan terlibat dalam hubungan-hubungan.
Sebagaimana dinyatakan oleh George C Honians, manusia tidak pernah mencurahkan dirinya pada “kegiatan, interaksi, dan sentimen” yang perlu bagi kelanjutan hidup kelompok, tetapi menyempurnakan unsur-unsur ini jauh melampaui berbagai kebutuhan kelangsungan hidup. Manusia juga mempunyai kebutuhan mengungkapkan, dan dalam tugas-tugas mencari penyelesaian masalah, ia menjalankan hubungan diantara sesama dan dengan situasi.
Sejauh mana arti penting agama bila dilihat dari sudut pandang kebutuhan manusia akan penyesuaian dan pengungkapan ini? Selama kebutuhan ini mendapatkan pengungkapan dan jalan keluar yang sesuai dengan pola-pola budaya dalam kontek sistem sosial, maka jawaban terhadap pertanyaan pertama dari ketiga pertanyaan fungsional diatas juga hams mencakup jawaban terhadap pertanyaan ini. Aksioma teori fungsional ialah segala hal yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya. Karena agama sejak dulu sampai saat ini masih ada, jelas bahwa agama mempunyai fungsi, atau bahkan memerankan sejumlah fungsi.
Teori Fungsional memandang sumbangan agama terhadap masyarakat dan kebudayaan berdasarkan atas karakteristik pentingnya, yakni transedensi pengalaman sehari-hari dalam lingkungan alam. Mengapa manusia membutuhkan “sesuatu yang mentransedensikan pengalaman” atau dalam istilah Talcott Parsons “referensi transendental” sesuatu yang berada diluar dunia empiris? Mengapa masyarakat hams membutuhkan berbagai kebutuhan praktek serta lembaga yang menyatukan dan melestarikan mereka ? Teori Fungsional memandang kebutuhan itu sebagai hasil dari tiga karakteristik dasar eksistensi manusia.
Pertama, manusia hidup dalam kondisi ketidakpastian, hal yang sangat penting bagi keamanan dan kesejahteraan manusia berada di luar jangkauannya. Dengan kata lain eksistensi manusia, ditandai oleh ketidakpastian.
Kedua, kesanggupan manusia untuk mengendalikan dan untuk mempengaruhi kondisi hidupnya, walaupun kesanggupan tersebut kian meningkat, pada dasarnya terbatas. Pada titik dasar tertentu, kondisi manusia dalam kaitan konflik antara keinginan dengan lingkungan ditandai oleh ketidakberdayaan.
Ketiga, manusia harus hidup bermasyarakat, dan suatu masyarakat merupakan suatu alokasi yang teratur dari berbagai fungsi, fasilitas, dan ganjaran. Disini tercakup pembagian kerja dan produk. Ia membutuhkan kondisi imperatif, yakni suatu tingkat superordinasi dan subordinasi dalam hubungan manusia. Kebutuhan akan suatu tatanan dalam kelangkaan yang menyebabkan perbedaan distribusi barang dan nilai, dan dengan demikian menimbulkan deprivasi relatif.
Jadi seorang fungsionalis memandang agama sebagai pembantu manusia untuk menyesuaikan diri dengan ketiga fakta ini, yakni ketidakpastian, ketidak berdayaan dan kelangkaan; dan dengan demikian hams pula menyesuaikan diri dengan frustasi dan deprivasi. Menurut teori fungsional, inilah karakteristik esensial kondisi manusia, karena itu sampai tingkat tertentu tetap ada disemua masyarakat. Agama dalam artian mi dipanciang sebagai mekanisme penyesuaian yang paling dasar terhadap unsur-unsur yang mengecewakan dan menjatuhkan.
Kemungkinan atau komtek ketidapastian, menunjuk pada kenyataan semua usaha manusia, betapapun direncanakan dengan baik dan dilaksanakan dengan seksama, tetap tidak terlepas dari kekecewaan. Dan selama usaha demikian itu sering ditandai oleh tingkat keterlibatan emosianal yang tinggi, maka kekecewaan tersebut akan membawa luka yang dalam. Bahkan di masyarakat yang teknologinya sudah maju sekalipun, keberuntungan tetap merupakan suatu berkat dari ketidakpastian.
Ketidakberdayaari atau komtek ketidak mungkinan menunjuk pada kenyataan tidak semua yang diinginkan hisa diperoleh. Kematian, penderitaan, paksaan, semua hal itu menandai eksistensi manusia. Bencana yang diderita akibat kelemahan jasad kita itu merupakan warisan yang satu dengan yang lain tanpa kemauan sendiri akan mengganggu eksistensi dan menjauhkan kita dari kepuasan dan kebahagiaan.
Ketidakpastian dan ketidakberdayaan, pengalaman manusia dalam kontek ketidakpastian dan ketidakmungkinan itu, membawa manusia keluar dari situasi perilaku sosial dan hatasan kultural dari tujuan dan norma sehari-hari. Sebagai ciri khas yang merupakan bawaan kondisi manusia, maka ketidakpastian dan ketidakberdayaan membawa manusia berhadapan langsung dengan berbagai situasi dimana berbagai teknik yang telah mapan serta resep-resep sosial, ternyata tidak memiliki kelengkapan total sebagai penyedia “mekanisme” penyesuaian.
Kedua hal itu menghadapkan manusia pada “titik kritis” (breaking point) dengan lingkungan perilaku sehari-hari yang berstruktur. Karena adanya. unsur yang tak bisa dilampaui oleh pengalaman biasa, maka timbulah masalah-masalah yang hanya bisa dijawab oleh yang tak terlampaui itu sendiri (beyond).
Pada “titik kritis” ini, apa yang dinamakan Max Weber sebagai ” masalah makna: tampil dalam bentuk yang paling mendesakdan parch. Mengapa saya harus mati ? Mengapa sang kekasih harus mati dimasa remaja yang belum terpuaskan? Mengapa petualangan itu sedemikian rupa. sehingga kita ingin mengulangi? Mengapa kita harus sakit ? pertanyaan demikian meminta jawaban yang bermakna. Jika jawaban yang ditemukan tanpa makna, maka nilai dari tujuan dan norma yang dilembagakan itu menjadi berkurang. Bagaimana moral dapat terpelihara bila setiap saat terjadi kekecewaan, dan kematian sebagai kekecewaan paling akhir, pada saatnya menghantam diri yang terbuka tanpa pertahanan ini.
Dalam hubungan dengan ketidakpastian dan ketidakberdayaan yang merupakan kondisi alamiah manusia itu, perlu ditambahkan frustasi dan deprivasi yang merupakan bawaan masyarakat manusia. Dan sudut teori fungsional agama telah dibatasi sebagai “pendayagunaan” sarana non empiris atau supra empiris untuk maksud-maksud non empiris atau supra empiris; sedangkan magis adalah pendayagunaan sarana non empiris atau supra empiris untuk maksud-maksud empiris.