Pendekatan di bidang Arsitektur khususnya dalam kegiatan merancang bangunan dan lingkungan binaan (built environment) yang hanya terfokus pada fenomena fisik dan visual tidak cukup. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa pengguna bangunan dan lingkungan binaan adalah manusia dengan kekhasan sosial dan budayanya yang harus diperhatikan kebutuhannya.
Karya Arsitektur merupakan objek fisik yang memiliki jiwa yang merupakan perwujudan dialog antara bangunan dan lingkungan binaan dengan manusia penggunanya. Latar belakang manusia berupa pandangan hidup, kepercayaan yang dianut, lingkungan sosial (fisik, psikis dan biologis) akan menentukan perilaku manusia yang akan tercermin pada kegiatan manusia tersebut. Perilaku manusia akan menentukan macam dan hubungan antara ruang dan kegiatan yang sering disebut sebagai sistem setting.
1. Pemahaman tentang ruang
Beberapa definisi tentang ruang dapat dijelaskan sebagai berikut,
- Menurut Plato ruang merupakan sesuatu yang dibatasi oleh kejelasan fisik sehingga dapat dipahami eksistensinya.
- Bognar (1987) mengatakan bahwa ruang akan mengkaitkan antara Batas dan isi, antara ‘all surrounding element’ dan ‘happening’, antara ‘material’ dan `spiritual’ dan antara yang `terlihat’ dan yang ‘tidak terlihat’.
Ditinjau dari intensitas penggunaannya, ruang dapat dibagi menjadi 3 (tiga) jenis (Hatmoko, 1999) yaitu,
- Ruang aktif yaitu ruang yang banyak digunakan untuk kegiatan dan dapat bersifat temporer maupun bergantian waktunya.
- Ruang setengah aktif yaitu ruang yang memiliki intensitas penggunaan yang tidak setinggi ruang aktif. Ruang ini hanya digunakan pada periode waktu tertentu
- Ruang pasif yaitu ruang yang memiliki intensitas penggunaan ruang sangat kurang bahkan hamper tidak ada kegiatan sama sekali.
Manusia memiliki kebutuhan secara biologik, sosial, kultural yang diekspresikan secara fisik dalam bentuk ruang. Ruang merupakan dimensi intangible dari perilaku manusia dan melalui ruang manusia berinteraksi satu sama lain. Ruang adalah wadah yang secara fisik dapat mempengaruhi perilaku manusia. Dalam pemahaman tersebut ruang merupakan sistem lingkungan binaan yang dapat ditinjau dal= skala mikro, meso dan makro.
Penentuan ruang terkait dengan ruang skala mikro, meso dan makro tersebut dapat diidentifikasikan melalui faktor pelaku (manusia) dalam mengontrol ruang dalam ketiga skala tersebut. Faktor tersebut kemudian akan menjelaskan termasuk ruang dalam skala yang mana dalam suatu seting yang ditemukan di lapangan, misalnya ruang yang digunakan dan dikontrol oleh individu secara personal dalam 1 (satu) ruang di dalam satu bangunan adalah termasuk ruang skala mikro. Ruang yang digunakan dan dikontrol oleh kelompok individu secara komunal yang secara spasial menghubungkan ruang dari beberapa bangunan yang sating berdekatan dapat dikategorikan sebagai ruang skala meso sedangkan ruang yang dikontrol oleh publik secara sosial yang digunakan dan dikontrol secara terbuka oleh publik dapat dikategorikan sebagai ruang skala makro.
2. Ruang skala mikro
Ruang dalam skala mikro adalah ruang yang berada di dalam satu bangunan berupa ruang dalam (internal space) yang digunakan dan dikontrol oleh individu secara personal dan dibatasi oleh salah satu atau lebih dari elemen lantai, dinding dan atap. Adapun yang termasuk ruang skala mikro ini misalnya ruang praktek dokter, ruang kuliah, ruang kantin, ruang Baca perpustakaan, ruang ibadah, ruang tidur di mana pengguna ruang secara personal mengontrol penggunaan ruang tersebut dalam konteks pemanfaatannya dari kemungkinan gangguan orang-orang yang tidak dikenal.
3. Ruang skala meso
Ruang dalam skala meso adalah ruang yang berada di dalam satu kelompok bangunan berupa ruang pengikat antar bangunan (communal space) yang digunakan dan dikontrol oleh kelompok individu secara komunal Adapun yang termasuk ruang skala meso ini misalnya plasa-plasa yang berada di suatu lingkungan fasilitas pendidikan, gang-gang suatu permukiman/ kampung kota di mana pengguna ruang secara komunal mengontrol penggunaan ruang tersebut dalam konteks pemanfaatannya dari kemungkinan gangguan orang-orang yang tidak dikenal.
4. Ruang skala makro
Ruang dalam skala makro adalah ruang yang berada di dalam satu kawasan berupa ruang (terbuka) publik (open public space) baik dalam bentuk Tinier (street) maupun konsentrik (square) yang digunakan dan dikontrol oleh publik secara sosial sehingga publik memiliki kemudahan akses baik secara fisik maupun visual. Adapun yang termasuk ruang skala makro ini misalnya alun-alun kawasan/ kota, taman-taman kawasan/ kota, jalan utama kawasan/ kota di mana publik dapat mengontrol penggunaan ruang tersebut dalam konteks pemanfaatannya dari kemungkinan gangguan orang-orang yang tidak dikenal. Menurut Krier (1979) ruang publik yang berbentuk linier merupakan ruang yang bersifat dinamis yang merupakan ruang sirkulasi yang berorientasi ke dua ujungnya yang dapat berupa jalan raya, jalur pedestrian maupun jalan setapak. Ruang publik yang berbentuk konsentrik lebih bersifat statis yang merupakan ruang yang terpumpun dan merupakan pusat suatu kegiatan serta memusat berorientasi ke dalam yang dapat berupa taman kota.
Dalam perencanaan ruang publik (skala makro), menurut Carr (1992) dituntut adanya 3 (tiga) hal yaitu,
- Responsif (responsive) bahwa ruang yang dirancang perlu memenuhi criteria responsif terhadap penggunanya khususnya terkait dengan kenyamanan, relaksasi dan pengalaman Baru pengguna di ruang tersebut.
- Demokratis (democratic) bahwa ruang harus mampu melindungi hak-hak publik dalam konteks sosial. Ruang publik harus mampu mewadahi kegiatan yang bersifat bebas karena ruang publik dimiliki oleh semua orang. Ruang publik juga menawarkan rasa kekuatan dan Batas control di mana di daiam ruang publik ini manusia dapat hidup bersama-sama.
- Pemaknaan (meaningful) bahwa ruang perlu dirancang untuk memberikan hubungan yang kuat antara tempat (place/ locus-) dengan manusia.
Perilaku manusia sering dihadapkan pada konflik antara manusia itu sendiri maupun manusia dengan setingnya yang mengarah pada pola perilaku manusia terhadap setingnya yaitu,
- mendekat pada objek dan setting (approach modus)
- menjauh dari objek dan setting (avoidance modus)
- mendekat setting A atau B (approach-approach conflict)
- menjauh dari setting C dan D (avoidance-avoidance conflict)
- mendekat pada seeting A dan menjauh dari seeting B (approach-avoidance conflict)
Pola-pola tersebut di atas merupakan salah satu dari sekian banyak kemungkinan pola perilaku manusia yang berinteraksi dengan settingnya. Perilaku lainnya sangat tergantung dari hasil pengamatan lapangan dengan seting yang berbeda