Pengertian istilah ini, menurut Kamus Advanced English – Indonesia adalah sebagai berikut: Rationale yang berarti (1)alasan utama (2)dasar alasan. Sementara Rationalism diartikan sebagai prinsip atau kebiasaan untuk menerima penalaran sebagai kekuasaan tertinggi dalam hal mengemukakan pendapat. Rationalist adalah orang yang menerima penalaran sebagai kekuasaan tertinggi.
Dalam dunia arsitektur, Rationalisme diartikan suatu paradigma dalam arsitektur yang didasarkan pada hal-hal yang bersifat nalar. Atau dapat dikatakan sebagai suatu cara untuk mencetuskan ide-ide arsitektur yang didasarkan pada pertimbangan yang masuk akal. Paradigma Rasionalis tumbuh pada sekitar pertengahan abad XIX di Eropa, Hal ini merupakan jawaban atas kondisi yang terjadi pada saat itu. Adapun penyebabnya adalah (a) munculnya revolusi industri yang ditandai dengan munculnya teknologi konstruksi. (b) meningkatnya kebutuhan rumah tinggal di kota karena pesatnya arus urbanisasi dan (c) semakin meningkatnya bentuk-bentuk eklektis dalam karya arsitektur saat itu, yang tidak sesuai dengan perkembangan teknologi.
Tokoh-tokoh Arsitek penganut Rasionalisme
Prinsip-prinsip rasionalisme dianut antara lain oleh tokoh-tokoh seperti : Walter Gropius, Ludwig Meis van Der Rohe, dan LeCorbusier. Contoh-contoh bangunan yang menjadi simbol dari paradigma rasionalis adalah Kampus Bauhaus karya Walter Gropius, Apartemen LeUnite de Habitation di Mersailles dan rumah tinggal Villa Savoye, keduanya karya LeCorbusier. Di Amerika diwakili oleh Crown Hall di Chicago dan Seargram di New York karya Ludwig Meis van Der Rohe. Paradigma rasionalisme pada karya arsitektur mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (a) fungsi sebagai penentu bentuk dan ekspresi, (b) struktur bangunan menjadi bagian dari estetika baru, (c) ornamen-ornamen yang tidak perlu dihilangkan dan (d) prinsip perancangan menjadi universal yang mengakibatkan lahirnya gaya internasional (International Style) dengan akibat aspek konteks terabaikan.
Semboyan-semboyan pada paradigma rasionalis
Paradigma rasionalis memunculkan semboyan-semboyan dari tokoh-tokoh arsitektnya yang merupakan dasar falsafah bagi karya-karya mereka. Semboyan tersebut antara lain : Form Follow Function. Semboyan ini dicetuskan oleh Louis Sullivan yang mendefinisikan arsitektur analog dengan bentuk alam atau sebagai ekspresi suatu gaya hidup batin dan logika struktur manusia. Bentuk merupakan turunan dari fungsi yang berarti fungsilah yang menciptakan dan mengorganisir bentuk. Bagi Sullivan fungsi bukanlah suatu program bangunan yang mati, melainkan kehendak hidup yang mendiami substansi, seperti yang mendiami si seniman pencipta (Ven, 1967). Less is More. Merupakan semboyan yang dicetuskan oleh Ludwig Meis van Der Rohe yang intinya adalah dalam bentuk yang paling sederhana. Arsitektur berakar pada pertimbangan-pertimbangan estetika yang essensial, namun arsitektur dapat menembus segala tingkatan derajat nilai samapai mencapai lingkungan tertinggi eksistensi spiritual, kedalaman khasanah seni murni (Ven, 1967). Un Machine d’habiter. Machine for Living, merupakan formula LeCorbusier yang artinya rumah adalah mesin untuk bermukim. Aspek positif dari perumusan LeCorbusier itu ialah kesadaran bahwa dalam dunia bangunanpun efisiensi, rendemen, ekonomi, harus dicapai semaksimum mungkin seperti dalam perekayasaan setiap mesin (Mangunwijaya, 1988).
Paradigma Rasionalis pada berbagai zaman
Paradigma rasionalis tidak hanya terdapat pada zaman arsitektur modern, tetapi menurut Mangunwijaya telah dapat kita lihat pada zaman Yunani maupun pada arsitektur tradisional di berbagai tempat di dunia.
Arsitektur Yunani.
Orang Yunani selalu rasional. Mereka selalu berfikir tentang hakekat sesuatu. Dalam arsitektur pun mereka mencari hakekat bangunan itu dan mencoba mengungkapkannya dalam bentuk. Mereka berpendapat bahwa segala bangunan berhakikat dua prinsip yaitu (a) ada unsur yang ditopang dan (b) ada unsur lain yang memikul atau menopang. Bila diantara yang dipikul dan memikul ada keseimbangan artinya serba stabil, maka hakekat sudah tertemulah dan justru itulah yang harus diekspresikan (Mangunwijaya, 1988). Arsitektur Tradisional Jepang. Jika kita amati arsitektur tradisional Jepang sangat dekat dengan paradigma rasional. Tanda-tanda ini dapat kita lihat pada ciri-ciri arsitektur Jepang seperti dinding-dinding geometrik, bentuk serba polos atau tidak ada hiasan dan sistem struktur yang sesuai dengan logika. Perumusan seperti yang diungkapkan oleh Meis van Der Rohe “Less is More”, telah lebih dahulu berabad-abad dikerjakan oleh orang Jeapang (Mangunwijaya, 1988).