Lompat ke konten
Kategori Home » Arsitektur » Paradigma Environmentalism

Paradigma Environmentalism

  • oleh

Sudah sejak lama para teoritisi yang berpengaruh pada arsitektur menghadirkan pandangan dan konsep-konsep tentang pentingnya menghadirkan kondisi lingkungan yang sehat, nyaman sebagai tujuan didalam perencanaan arsitektur. Teori yang memiliki kepedulian terhadap alam ini berfluktuasi dari yang simpatik, harmonik, berintegrasi sehingga menempatkan alam sebagai potensi untuk diekploitasi.

Landasan teori ini muncul sebagai sikap terhadap tapak, tempat (place) landscape dan pembuatan arsitektur utamanya dalam hal tektonika. Kelompok ini menekankan pada pelestarian lingkungan hidup dari kehancuran dan pencemaran. Pelestarian alam (bukit, pantai, hutan, sungai, laut, udara dsb). Dan kebersihan lingkungan binaan menjadi motto dalam karya-karya mereka. Hasil kemajuan teknologi yang merusak dan pencemaran lingkungan binaan ditolak oleh mereka. Dengan paradigma lingkungan ini para perancang mendasarkan konsepnya dengan pelestarian lingkungan dan penggunaan potensi alam sebesar-besarnya untuk perencanaan lingkungan binaan.

Vitruvius secara eksplisit telah mengungkapkan hal ini dalam bukunya „The Ten Book On Architecture‟ yang kemudian ditegaskan kembali oleh LeCorbusier (1953) bahwa : “The symphony of climate has not been understood …. The sun differs a long the curvature of the meridian, its intensity varies on the crust of the earth according to its incidence …. In this play many conditions are created which await edaquate solutions. It is at this point that an authentic regionalism has its rightful palce”. Dalam “De Architectural” Vitruvius juga menyatakan bahwa bentukan arsitektur bangunan itu hendaknya berbeda antara Mesir dan Spanyol, di Pontus dan Roma.

Setiap negara dan wilayah mempunyai sifat yang berbeda (Olgyay, 1976 : 8) Frank Lloyd Wright pada awal abad ke-20 menyampaikan suatu falsafah bahwa „setiap pemecahan masalah arsitektur selalu berhubungan dengan alam atau lingkungan seperti iklim, topografi dan bahan bangunan. Falsafah ini diterapkan pada karyanya Kauffman House „Falling Water‟ di Amerika Serikat yang menunjukan keseimbangan yang dihasilkan antara bidang-bidang masif horizontal dengan karang dan air terjun. Alvar Aalto (1924) berfalsafah bahwa arsitektur adalah perencanaan yang memperhatikan pada alam dan tidak tergantung pada bahan-bahan buatan pabrik.

Karya Alvar Aalto yang menonjol sehubungan dengan falsafah ini adalah Gereja di Muramme. Di Amerika Latin Oscar Niemeyer (1937) menyatakan bahwa perencanaan arsitektur dipengaruhi oleh penyesuaian terhadap alam dan lingkungan, penguasaan secara fungsional kematangan dan ketepatan dalam pengolahan serta pemilihan bentuk bahan dan struktur.

Salah satu karyanya yang berhasil didalam mengolah sintesa arsitektur yang sadar lingkungan adalah Gedung Kemetrian Pendidikan dan Kesehatan Rio De Janeiro Brazilia yang menampilkan dominasi bentuk yang menggunakan peneduh cahaya (sunscreen). Dalam perkembangan berikutnya pada era arsitektur modern muncul teori-teori yang lebih spesifik mengenai pengaruh-pengaruh iklim, topografi dan bahan bangunan. Diantaranya adalah Bernard Rudofsky (1964) yang menyatakan : There is much to learn to architecture before it become an expert art the untutored builders in space and time….. demonstrated and admirable talent for fitting their building into the natural surrounding instead at trying to conquer the nature as we do they welcome the vagiries of climate and challenger of topography”.

Pada era selanjutnya yaitu era Post-Modern teori tentang behaviourism berkembang menjadi sangat kompleks karena arsitektur sebagai lingkungan binaan mengekspresikan berbagai fungsi. Teori ini diantaranya dikembangkan oleh Christian Norberg-Schulz dalam Intentions In Architecture (1987) bahwa arsitektur atau lingkungan binaan memiliki berbagai fungsi diantaranya adalah sebagai pengendali faktor alam (physical control), tempat kegiatan manusia (functional frame), lingkungan sosial (functional millieu) dan lingkungan simbol (symbol millieu).

Geoffrey Broadbent dalam Design In Architecture (1968) menyatakan : Arsitektur memancarkan/mengekspresikan berbagai fungsi yaitu filter lingkungan (environment filter), wadah kegiatan (container of activities), investasi (capital Investment), fungsi simbolik (symbolic function), pengubah perilaku (behaviour modifier) dan fungsi estetika (aesthetic function). Salah satu contoh karya arsitektur yang berfungsi sebagai environment filter adalah Roof House di Selangor Kuala Lumpur (1984) dan Menara Mesiniaga karya Kenneth Yeang, dimana kulit bangunan didisain sebagai filter lingkungan.

Demikian juga dengan Paul Rudolf di Jakarta dengan Wisma Dharmala-nya berusaha mengakomodasi lingkungan kota dan iklim tropis Jakarta untuk bangunan tinggi. Tinjauan terhadap Arsitektur Tradisonal, dalam perkembangan peradabannya manusia sudah lama menemukan cara untuk menanggulangi pengaruh alam terhadap bangunan serta cara memanfaatkan potensi alam untuk menciptakan kondisi ruang hunian yang mereka inginkan. Tanpa energi mekanik disain arsitektur tradisional adalah sangat genius, sederhana dan efisien.

Hal ini disinggung oleh LeCorbusier (1913) : “Despite meager resource, primitive people have designed dwelling that succesfully meet the severest climate problems, this simple shelters often outperforms of present day architecture”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *