Ada anggapan demokrasi sebagai model politik pertama kali dipraktikkan di jaman Yunani kuno. Anggapan ini terutama merujuk pada pengalaman Negara kota Athena yang menyelenggarakan bentuk demokrasi langsung dengan cara melibatkan semua penduduk laki-laki dewasa dalam proses merumuskan kebijakan bersama yang menyangkut beberapa isu publik.
Tapi Athena bukan satu-satunya pengalaman demokrasi yang paling tua. Robert Dahl (1998) diantaranya menemukan bahwa praktik bermusyawarah dalam membuat keputusan bersama juga dikenal masyarakat nelayan di beberapa daerah di wilayah pantai Norwegia pada periode yang sama dengan sejarah demokrasi di Athena.
Sementara beberapa penulis lain dengan maksud yang sama tapi dengan cara yang berbeda juga menemukan beberapa praktik dasar demokrasi yang pernah ada ratusan tahun lalu dalam masyarakat-masyarakat yang berada jauh di luar jangkauan pengaruh Athena pada khususnya atau Eropa pada umunya.
Tegasnya, demokrasi tampaknya tidak ditemukan di Athena saja tapi di beberapa tempat yang berbeda-beda dalam waktu dan periode yang bersamaan maupun berlainan. Praktik demokrasi yang bisa diterima secara bersamaan ini sangat mungkin terjadi karena dalam praktik tersebut terkandung beberapa nilai dan norma universal yang diperlukan semua masyarakat manusia. Seperti halnya pakaian, sekalipun model dan bentuknya bisa berbeda-beda tergantung pada pengaruh lokasi fisik atau iklim tempat pembuatannya, fungsi pakian paling elementer sebagai alat pelindung tubuh bersifat universal.
Walau begitu pembicaraan tentang model-model demokrasi berhutang pada pengalaman Athena dalam dua hal. Pertama, pengalaman tersebut menjadi inspirasi bagai para pemikir demokrasi generasi pasca Yunani kuno. Kedua, Athena juga melahirkan beberapa filosof politik yang memberikan sumbangan penting bagi pemahaman kita tentang beberapa gagasan dasar demokrasi.
Untuk itu kuliah ini akan memulai pembicaraan model-model demokrasi dengan membahas model Athena, terutama dengan mendikusikan gagasan dasar demokrasi yang pernah terungkap dalam pikiran-pikiran Pericles dan Aristoteles dan juga debat yang diberikan Plato kepada kedua pemildr tersebut.
Pericles dan Aristoteles
Menurut Pericles sebuah sistim politik baru bisa disebut demokratis jika kekuasaan berada di tangan seluruh rakyat. Implikasinya, pertama, demokrasi mensyaratkan adanya partisipasi dari setiap warga masyarakat (dewasa) dalam public affairs. Tidak heran jika sejak awal gagasan tentang citizenship bagi seorang Pericles berkaitan erat dengan keterlibatan langsung dalam membicarakan dan menyelesaikan isu-isu kemasyarakatan.
Pericles menulis, “when it is a question of putting one person before another in positions of public responsibility, what counts is not membership of a particular class, but the actual ability which the man posses” (dikutip dalam ……. 2001 : 25). Kedua, partisipasi atau kewarganegaraan itu sendiri menghendaki moralitas tertentu yang menekankan hak-hak dan kewajiban publik. Moralitas ini tak lain dari civic virtue, yakni dedikasi yang harus diberikan setiap anggota masyarakat terhadap negarakota dan kesediaan mengorbankan kepentingan pribadi atas nama kepentingan umum.
Menurut Pericles bentuk tertinggi dari humanity adalah dengan menjadi warganegara yang baik, yang memiliki civic virtue, yang mau berpartisipasi dalam urusan-urusan publik untuk kemaslahatan bersama. Ketiga, demokrasi karenanya tak lain dari self-government ketika the government is to be the governed (Held 1987). Semua warganegara—yang memenuhi syarat—bertemu secara langsung untuk membahas, memutuskan dan menegakkan hokum berdasarkan perdebatan yang dilakukan secara bebas dan utuh yang dijamin oleh persamaan hak untuk mengemukakan pendapat.
Pericles mengandaikan sebuah proses debat yang sempurna sehingga keputusan dan hukum yang dihasilkan berbasiskan keyakinan yang kuat dan argumen yang logis. Keempat, demokrasi, bagi Pericles, juga memerlukan aturan hukum yang membuat dan menjamin kesetaraan setiap orang di depan hukum tanpa peduli apapun latar belakang sosialnya.
Di lain pihak Aristoteles menekankan kebebasan sebagai prinsip dasar demokrasi. Prinsip ini mencakup dua macam aspek, masing-masing ruling and being ruled in turn dan living as you like, living as one chooses (Held 1987).
Menurut Aristoteles kekebasan mensyaratkan persamaan (equality), terutama numerical equality yang memungkinkan kedaulatan berada di tangan suara terbanyak. Numerical equality mungkin diwujudkan jika partisipasi mendapat imbalan material yang setimpal dan adanya jaminan bagi persamaan hak memilih dan persamaan hak untuk memegang jabatan publik. Hanya saja bagi
Aristoteles persamaan bisa bertentangan dengan prinsip kedua kebebasan— living as you like. Sebab untuk menjamin persamaan seringkali beberapa bagian dari kebebasan memilih perlu dibatasi untuk menghindari pelanggaran yang bisa ditmbulkan kebebasan seorang individu terhadap kebebasan individu lainnya.
Kritik Plato terhadap Demokrasi
Secara umum model politik Athena dibangun di atas landasan sosial yang bersifat tidak demokratis. Demokrasi negara kota ini secara sengaja mengeluarkan perempuan, para imigran dan budak dari proses pembuatan kebijakan bersama. Suara terbanyak yang menjadi sumber kedaulatan pada dasarnya adalah kelompok minoritas dalam masyarakat—adult male (Held 1987). Tapi kritikan paling penting terhadap demokrasi Athena diajukan Plato.
Pertama, bagi Plato, demokrasi meminggirkan pemimpin yang bijak karena kepemimpinan politik harus selalu tunduk pada suara terbanyak—dan suara terbanyak sering kali tidak bijak. Kedua, tekanan pada kebebasan dan persamaan merupakan ancaman terhadap kohesi sosial sebab kehidupan politik mudah terjebak ke dalam fragmentasi kepentingan dan diperumit dengan peselisihan antar kelompok.
Konflik yang intensif pada gilirannya akan mengurangi komitmen yang lebih utama terhadap kepentingan umum dan keadilan sosial (dikutip dalam …… 2001). Ketiga, demokrasi pada kenyataannya adalah a politics of unbridled desire and ambition (Held 1987). Bertolak belakang dengan semangat merepresentasikan kepentingan umum, setiap orang bertindak dalam rangka mewakili dirinya sendiri dan cenderung menjadi egois. Sebagai gantinya Plato mengusulkan government ruled by philosophers. Plato percaya para filosof adalah orang yang tepat karena mereka terlatih dan terdidik dan karenanya memiliki kapasitas untuk menyelaraskan semua elemen masyarakat di bawah kepemimpinan yang bijak dan sebuah mixed state.
Sebuah mixed state menurut Plato merupakan perpaduan antara monarki (philosophy kings) dan demokrasi (popular voice}. Perpaduan antara kearifan (monarki) yang bisa digunakan untuk menjauhkan kedaulatan rakyat (demokrasi) dari efek destruktif.