Emotional competence adalah kecerdasan emosi yang diperoleh melalui proses belajar, yang memberikan hasil peningkatan efektivitas dalam bekerja. Beberapa riset telah membuktikan bahwa pada karyawan yang berkinerja superior, EC ini berkorelasi dua kali lipat dibanding kombinasi IQ dan ketrampilan teknis.
Emotional competence merupakan bagian yang sangat urgen dalam melakukan tugas-tugas profesional. Tidak terkecuali dokter, perawat, pekerja sosial, guru dan arsitek mengambil keputusan yang mempengaruhi orang lain, dan mungkin dapat mempengaruhi emosi orang lain.
Lebih dari itu, di dalam kondisi bisnis akhir-akhir ini, dimana isu mengenai bisnis yang berorientasi pada layanan, mengatasi keluhan, membina kerjasama dan aspek-aspek moral, kinerja seseorang sangat tergantung pada ketrampilan seseorang dalam mengelola emosi diri dan emosi orang lain.
Drucker menyatakan bahwa seseorang yang sukses dalam pekerjaan adalah orang-orang yang sadar atau memahami mengenai diri sendiri, kekuatan-kekuatan yang dimiliki, respon-respon orang sekitarnya terhadap kinerja mereka.
Hal ini sesungguhnya merupakan bagian dari personal competence. Dengan memahami diri sendiri, baik kekuatan maupun kelemahan, maka seseorang dapat memilih bagian mana dari diri mereka yang perlu dikembangkan sesuai dengan kompetensi yang dituntut di dalam tugas pekerjaannya.
Riset yang dilakukan telah menunjukkan bahwa aspek dari kompetensi personal, yaitu self management dan self regulation terbukti mampu mengangkat produktivitas karyawan sebesar 78% per tahun (Boyatzis, 1999).
Dalam kaitannya dengan kompetensi sosial, seseorang yang memahami kondisi lingkungan termasuk didalamnya pemahaman terhadap orang lain (emphaty), memahami adanya perbedaan (diversity) dapat memanfaatkannya untuk menyikapi kondisi-kondisi yang ada dalam lingkungannya. Untuk kompetensi sosial ini Boyatzis juga telah melaporkan adanya kenaikan kinerja karyawan yang memiliki kompetensi sosial yang tinggi sebesar 110%.