Secara umum dapat dikatakan bahwa suatu instrument internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian internasional pada hakikatnya akan mengikat negara pihak, apabila negara yang bersangkutan telah menyatakan diri untuk terikat pada perjanjian internasional tersebut. Cara menyatakan terikat pada perjanjian internasional dapat dilakukan melalui Penanda Tanganan (Signature), Pertukaran Instrumen yang membentuk Perjanjian (exchange of Instruments constituting a treaty), Ratifilasi (ratification) Penerimaan (acceptance), Persetujuan (approval) atau Aksesi (accession), atau cara lain yang telah disepakati.
Dengan negara telah menyatakan terikat pada suatu perjanjian, maka sejak saat itu negara tersebut telah menjadi pihak pada perjanjian yang bersangkutan dan memiliki kewajiban untuk melaksanakan isi perjanjian tersebut, serta tidak merusak obyek dan tujuan perjanjian, sekalipun perjanjian itu belum mempunyai kekuatan mengikat
Sebagaimana dicontohkan dalam ketentuan pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 Covenan on Politik and Political Rights.
Pasal 2 ayat 1 menyebutkan: “Setiap Negara Peserta Perjanjian ini akan menghormati dan menjamin semua individu yang berada dalam wilayahnya dan tunduk kepada yurisdiksi hak-hak yang diakui dalam Perjanjian ini….”
Pasal 2 ayat 2 menyatakan: “Bila belum tersedia perundang-undangan atau peraturan lainnya, setiap Negara Peserta Perjanjian berusaha mengambil langkah-langkah yang diperlukan, ….untuk membuat undang-undang seperti itu atau peraturan lain yang diperlukan untuk memperkuat hak-hak yang diakui dalam Perjanjian ini.
Suatu perjanjian internasional dikatakan mulai efektif berlaku (entry into force) dapat melalui beberapa kemungkinan, seperti:
• Ditentukan pada tanggal tertentu, atau
• Setelah dipenuhinya sejumlah ratifikasi, atau
• Waktu tertentu setelah dipenuhi sejumlah ratifikasi, atau
• Setelah penandatangan atau ratifikasi atau pernyataan terikat dari negara pihak, atau
• Setelah penyimpanan instrumen ratifikasi, atau
• Cara lain yang disetujui oleh para pihak.
Dalam kaitannya dengan berlakunya suatu perjanjian internasional, instrument hak asasi manusia yang termasuk dalam The International Bill of Human Rights perlu dikaji seberapa jauh dokumen-dokumen tersebut mengikat secara hukum bagi negara-negara anggota PBB.
Sesuai dengan namanya, UDHR berbentuk Deklarasi Majelis Umum PBB, yang berarti secara hukum Deklarasi tersebut tidak mengikat para anggota PBB. Namun demikian, menurut beberapa pakar dengan teorinya masing-masing mengatakan bahwa Deklarasi tersebut mempunyai kekuatan mengikat secara hukum.
Sebagaimana dikemukakan oleh Von Glahn, bahwa Deklarasi tersebut merupakan suatu penafsiran resmi (expository intepretation) dari beberapa ketentuan tentang “Human Rights” yang bersifat umum, yang terdapat dalam Piagam PBB dan ketentuan dalam Piagam mengikat semua negara anggota PBB.
Sedangkan menurut Prof. Lung Chu Chen, bahwa ketentuan-ketentuan yang mengatur Human Rights, teralama yang terdapat dalam Deklarasi sudah dapat digolongkan sebagai jus cogens, yang berarti bahwa ketentuan itu hanya dapat diubah atau ditiadakan oleh suatu ketentuan yang berstatusya jus cogens juga.
Juga menurut David Ott, yang mengatakan bahwa Universal Declaration of Human Rights dapat dianggap telah menjadi dasar bagi tersusunnya “cutomary international human rights”. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa UDHR:
- telah berulang kali dijadikan referensi dari sejumlah resolusi PBB;
- telah dijadikan referensi dalam persidangan Badan Internasional, seperti dalam Final Act dari Konperensi Hilsinki tahun 1975;
- telah dicantumkan dalam beberapa “statement” dan “agreement” antar negara, yang dibuat diluar lingkungan PBB.
Senada dengan pendapat diatas, pendapat dari Paul Sieghart, yang mengatakan bahwa: “although the juridical status of UDHR cannot yet be free from doubt there are therefore today substantial grounds for saying that it now constitutes a binding obligation for member States of the U.N., and some grounds also for saying that it has now become part ofcostumary international law and so bind all states “.
Demikian juga pendapat dari Buergental, bahwa : ” Whatever the theory, it is today dear that the international community attributes a very special “moral” and “normative status ” to the Universal Declaration that no other instrument of its kind has aquired”
Perlu ditambahkan pula, bahwa dalam Konperensi Internasional tentang Hak Asasi Manusia yang diadakan di Teheran pada tahun 1968 antara lain diputuskan: bahwa UDHR mengikat semua negara; dan supaya masyarakat internasional meningkatkan usahanya untuk menerapkan prinsip-prinsip yang terdapat dalam International Bill of Human Rights.
Dengan demikian sudah tidak diragukan lagi bahwa instrument hak asasi manusia telah menjadi bagian dari norma hukum dalam masyarakat internasional. Bahkan menjadi kewajiban bagi setiap negara untuk mengimplementasikan instrumen hak asasi tersebut kedalam hukum nasional mereka.
Referensi :
Elisa UGM