Menurut Setiawan dan Tjatera (1991), ruang terbuka terdiri dari dua kelompok, yaitu: 1) Ruang terbuka yang menjadi bagian dalam area permukiman, dan 2) Ruang terbuka publik. Berdasarkan fungsi dan kepemilikannya, ruang terbuka di dalam area permukiman dibagi menjadi dua, yaitu:
a) Ruang terbuka untuk fungsi umum/publik; termasuk semua ruang yang tidak tertutup bangunan seperti jalan lingkungan, lapangan sepak bola, dan sebagainya, yang dapat dimanfaatkan oleh semua penduduk.
b) Ruang terbuka untuk fungsi privat; termasuk semua ruang terbuka yang berhubungan dengan tempat tinggal, yaitu halaman rumah, balkon, teras terbuka, yang dimiliki dan hanya dipakai oleh penghuni rumah.
Ruang terbuka publik adalah ruang terbuka yang dapat dimanfaatkan oleh semua orang di dalam kota. Ruang tersebut menjadi milik pemerintah lokal atau swasta. Contohnya adalah jalan, trotoar, taman kota, ruang terbuka di tepi sungai, dan sebagainya.
Sementara itu Spitthover dalam Kennedy dan Kennedy (1997) lebih memerinci pembagian ruang terbuka menjadi 3 jenis, yaitu disamping ruang terbuka privat dan publik, juga ada ruang terbuka komunal. Menurut Spitthover, ruang terbuka komunal merupakan ruang terbuka dengan jumlah terbatas yang berada di lingkungan perumahan, dimiliki dan dipakai oleh penduduk di lingkungan perumahan tersebut, seperti tempat bermain, lapangan olah raga, ruang terbuka di sekitar toilet atau sumur umum, dan sebaginya. Sedangkan ruang terbuka publik merupakan ruang terbuka yang dapat dipakai oleh siapapun, misalnya plaza, jalan lingkungan, taman kota, ruang terbuka di pinggir sungai, dan sebagainya.
Berdasarkan sifat pemakaiannya, Wilkinson (1983) menjelaskan bahwa ada dua jenis ruang terbuka, yaitu ruang terbuka aktif dan ruang terbuka pasif. Ruang terbuka aktif dimaksudkan sebagai ruang-ruang yang dipakai untuk kegiatan manusia, misalnya untuk bermain, beristirahat, berolah raga, dan sebagainya.
Sedangkan ruang terbuka pasif adalah ruang-ruang terbuka di dalam kota yang tidak difungsikan untuk tempat kegiatan manusia, jadi hanya berfungsi sebagai keindahan kota atau ruang-ruang terbuka yang memang tidak dimanfaatkan, misalnya: ruang terbuka disepanjang rel kereta api, sepanjang sungai, lahan tidur, dan sebagainya. Ruang terbuka aktif dapat dibagi menjadi empat:
1. Taman kota dan taman lingkungan, yang merupakan bentuk ruang terbuka yang paling baik untuk area permukiman karena berfungsi untuk pendidikan, estetika, rekreasi dan budaya. Semua masyarakat, termasuk anak-anak, orang dewasa, orang tua, wanita, pria, dan orang cacat dapat memakai taman tersebut;
2. Taman bermain, terutama utuk anak-anak dan remaja;
3. Plaza di tengah kota atau di lingkungan permukiman, yang biasanya dengan permukaan diperkeras, merupakan magnet untuk kegiatan sosial bagi masyarakat dan berbagai kelompok usia;
4. Ruang terbuka kecil di beberapa tempat dipusat kota atau permukiman.
Sementara itu, Setiawan dan Tjatera (1991) membagi ruang terbuka menjadi empat, yaitu:
1. Ruang terbuka yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah, dan umumnya dimanfaatkan untuk kegiatan umum, seperti olah raga, pertemuan, taman rekreasi, jalan, plaza;
2. Ruang terbuka milik sekelompok masyarakat, yang biasanya berada didalam area permukiman. Ruang terbuka ini dipakai oleh seluruh anggota masyarakat untuk kegiatan sosial, bermain anak-anak, olah raga, dan sebagainya;
3. Ruang terbuka privat, yang dimiliki oleh individu, berupa halaman rumah;
4. Ruang terbuka alamiah, yang difungsikan untuk penyeimbang lingkungan, meliputi ruang terbuka di sepanjang tepi sungai dan tanah pertanian.
Hough (1995) menjelaskan bahwa ekologi sebuah kota ditandai dengan adanya lansekap pola-pola jalan, tempat perbelanjaan, perkantoran, pusat pemerintahan, taman dan area permukiman. Selain itu, ada beberapa bagian kota yang sering dilupakan atau tidak mendapat perhatian, misalnya ruang terbuka di pinggiran sungai, rel kereta api, utilitas umum, tanah kosong, halaman rumah-rumah di kampung, dan sebagainya. Jadi ada dua jenis lansekap dimiliki oleh sebuah kota.
Yang pertama, lansekap yang tertata, dengan bangunan-bangunan bagus, pohon-pohon, bunga, rumput yang terpelihara, kolam, plaza dan tempat-tempat yang direncanakan dan dirancang dengan balk lainnya. Lansekap ini dirancang khusus dengan aturan-aturan yang resmi dengan mengutamakan keindahan. Keberadaannya tergantung pada masukan energi dan teknologi yang tinggi.
Lansekap jenis kedua biasanya ditandai dengan vegetasi alamiah yang tumbuh dengan sendirinya di ruang-ruang terbuka, dan genangan air atau banjir setelah turun hujan. Tempat-tempat ini, yang disebut lansekap vernakular, merupakan bagian kota yang sering dilupakan, tidak dirancang secara khusus. Menurut Hough (1995), jenis lansekap vernakular masih dianggap lebih mempunyai lingkungan alamiah, lebih mempunyai kedekatan dengan lansekap pedesaan.
Dengan demikian, ruang terbuka di dalam kota dapat merupakan ruang yang dirancang khusus, seperti taman kota, lapangan olah raga, plaza, jalan dan trotoar; dan juga dapat merupakan ruang yang tidak dirancang secara khusus atau ada dengan sendirinya, seperti lahan di pinggiran sungai, lahan kosong di sekitar pabrik, dan sebagainya.