Pembangunan urban memerlukan begitu banyak sumberdaya alam, baik air, udara, tanah, bahan bangunan dan sebagainya, yang apabila tidak hati-hati dalam pengambilan dan pemakaiannya akan merusak sumberdaya alam tersebut, sehingga keberadaannya tidak akan berkelanjutan. Tidak banyak perencana dan perancang kota yang memberi perhatian pada seberapa banyak mereka sudah memakai sumberdaya, apakah sumberdaya tersebut dapat diperbarui atau didaur ulang, apakah hasil rencana atau rancangan tersebut banyak menghasilkan limbah yang membahayakan lingkungan, dan sebagainya.
Kondisi lingkungan kota yang sehat dan nyaman perlu dipertahankan melalui kesadaran akan kelestarian lingkungan, serta perencanaan dan perancangan kota dengan pendekatan ekologi yang lebih berhati-hati terutama dalam efisiensi pemakaian sumberdaya.
Bell (1992) mengusulkan suatu pendekatan untuk perencanaan kota yang disebut `Ecologically Integrated Planning’, dengan tujuan:
- Memakai sumberdaya lokal
- Mempertahankan integritas dan diversitas ekosistem lokal dengar memaksimalkan pelestarian tanaman setempat dan komunitas binatang.
- Memakai sumberdaya seperti energi dan air seefisien mungkin.
- Seminimal mungkin memakai sumberdaya import dan hanya memakainya apabila sumberdaya tersebut dalam pengambilannya dan proses pengolahannya berkelanjutan secara ekologi.
Sedangkan Dominski (1992) menjelaskan tiga prinsip bagi suatu kota untuk mengarah pada pembangunan eko-urban, yaitu reduce (mengurangi), reuse (memakai kembali), dan recycle (mendaur ulang). Prinsip pertama, reduce, merupakan upaya untuk mengurangi penggunaan sumberdaya lingkungan yang berlebihan, seperti tanah, air dan energi.
Hemat tanah, sebagai misal pembangunan kota yang lebih kompak, daripada banyak mengkonversi tanah-tanah pertanian di luar kota. Prinsip reduce juga penting diterapkan untuk merubah gaya hidup masyarakat agar menghemat pemakaian air sehari-hari, pemakaian air bekas pakai untuk penyiraman tanaman, pemanfaatan sampah organik untuk pupuk, pengurangan pemakaian listrik, dan sebagainya.
Prinsip kedua, reuse, merupakan pemanfatan kembali bagian-bagian kota yang telah ada seperti bangunan, jalan, atau ruang-ruang terbuka. Misalnya saja pemanfaatan bangunan lama untuk fungsi baru, seperti bangunan kantor yang sudah tidak terpakai lagi dapat dialihfungsikan menjadi unit tempat tinggal atau perumahan, serta atap bangunan, yang fungsi utamanya untuk melindungi ruang-ruang dibawahnya dapat dimanfaatkan juga untuk taman. Contoh lain adalah bangunanbangunan tua di banyak kota di Eropa, yang dilestarikan untuk fungsi-fungsi baru. Para arsitek dapat merancang bangunan dengan bahan bangunan setempat yang berkualitas agar tahan lama, dengan memberi perhatian terhadap pemeliharaannya, dan dengan multi fungsi, sehingga bangunan dpat dipakai berulangkali tanpa dirobohkan.
Tahap recycle merupakan tahap dimana upaya pembangunan kembali bagianbagian kota dilakukan untuk menjadikan tempat-tempat tersebut lebih menarik, sehat, nyaman dan aman bagi penduduknya. Sebagai contoh adalah revitalisasi bagian-bagian pusat kota yang dapat dilakukan untuk menghindari konversi lahan subur di pinggiran kota; atau mengkonversi lahan terbuka yang kurang berfungsi menjadi hutan kota. Bagian-bagian kota lama dapat difungsikan kembali atau direvitalisasi, karena tanah bukan merupakan sumberdaya yang dapat diperbarui. Sekali tanah subur dikembangkan untuk kota, maka kualitas kesuburannya akan menurun. Dengan kata lain, pertimbangan jangka panjang pengembangan kota secara intensip dan ekstensip harus secara cermat dilakukan. Penggunaan lahan pertanian diluar kota mungkin cukup ekonomis untuk jangka pendek, akan tetapi banyak membawa masalah lingkungan dalam jangka panjang.
Konservasi bangunan atau kawasan tertentu di dalam kota merupakan upaya mengurangi konsumsi sumberdaya, karena prinsip eko-perancangan urban adalah: jangan membangun kecuali apabila benar-benar diperlukan. Sehingga konservasi, yang diartikan sebagai upaya mempertahankan bangunan atau kawasan yang sudah ada, yang meliputi: mempertahankan seperti aslinya, mengadaptasi dan menemukan fungsi baru perlu dilakukan. Pembongkaran hanya terjadi apabila bangunan atau kawasan tersebut tidak dapat dipertahankan dari segi fisik.
Konservasi menentang adanya pembongkaran atau perobohan bangunan untuk diganti dengan yang baru, karena hal ini bertentangan dengan tujuan efisiensi pemakaian sumberdaya, khususnya energi dari sumberdaya yang tidak dapat diperbarui. Perobohan bangunan berarti hilangnya struktur yang sudah ada, yang dianggap sebagai kapital energi, kecuali apabila beberapa material bangunan dapat dipakai lagi, meskipun dalam kapasitas kecil. Perobohan bangunan tua memerlukan sejumlah energi dan pembangunan yang baru sebagai penggantinya juga memerlukan sumberdaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu perancangan yang berwawasan lingkungan mensyaratkan bangunan-bangunan yang dibangun seharusnya dirancang untuk dapat dipakai sepanjang waktu, dengan fungsi yang dapat berubah. Banyak contoh pemeliharaan bangunan lama dan pemakaian ulang dijumpai di negara-negara Eropa. Gereja-gereja tua abad 19 di Inggris telah dialih fungsikan menjadi pusat perbelanjaan atau apartemen. Fasade bangunan-bangunan tua di kota Amsterdam direnovasi untuk mendapatkan suasana lama yang tetap terpelihara.
Referensi : Universitas Gadjah Mada