Sebagai gagasan, model ataupun konsep pemikiran demokrasi merupakan bagian penting dari sebuah proyek besar sejak abad pertengahan yang bernama Enlightenment. Dalam hal ini penggagas demokrasi—seperti umumnya para filosof Enlightenment—mempertimbangkan semua umat manusia sebagai indefinitely perfectible. Setiap orang dianggap memiliki kecakapan untuk membimbing dirinya sendiri melalui kemampuan mengembangkan kapsitas reason-nya. Reason kemudian dianggap sebagai sesuatu yang sama bagi all thinking sbjects, all nations, all epochs and all cultures.
Sebetulnya kecendeurngan antropormofis dan kepercayaan besar pada reason merupakan karakter dasar gereakan filsafat di Barat sejak Descartes, pemikir abad pencerahan, para positivis di abad ke-19 sampai teoretisi modernisasi di abad 20. Gerakan pemikirran ini melihat human reason dan perilaku rasional sebagai faktor penentu social progress. Kemampuan berpikir reasoning menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjadi basis baru bagi kemajuan material dan kesejahteraan umat manusia. Di saat bersamaan ilmu pengetahuan menggeser posisi agama sebagai mode of understanding, seperti halnya kebahagian di dunia menggantikan janjai kehidupan di surga sebagai alasan penting mempertahankan hidup di bumi. Berkenaan dengan itu para pemikir yang berada di bawah bayang-bayang tradisi enlightenment percaya moral, nilai dan norma sosial bisa diperoleh melalui penerapan reason atas pengalaman, ketimbang menggapainya secara “mistis” melalui perantaraan agama. Karena itu sebuah moralitas bisa diterima setiap orang yang berpikir dan bertanggung jawab atas pikirannya.
Di lain pihak para pemikir post-enlightenment menemukan beberapa persoalan mendasar. Para pemikir ini menekankan sisi lain dari tradisi Pencerahan, yakni para petani, perempuan, colonised victims atau bahkan institusi-institusi modern yang menjajahkan disipHn dan tersingkirnya spontanitas, emosi dan kesenangan atas nama perilaku rasional. Menurut para pemikir pasca pencerahan modern reason tak lebih dari sebuah mode of social control yang beroperasi secara terbuka melalui institusi-institusi yang memaksakan displin tertentu, secara tidak langsung melalui sosialisasi perilaku rasional, atau bahkan secara halus mengekang manusia melalui rational selfdiscipline.
Implikasinya, klaim filsafat modernisme sebagai representasi kebenaran menjadi persoalan. Bagi posmodernis kebenaran tidak lagi bersifat tunggal. Jika terus dipaksakan bersifat tunggal maka kebenaran ini akan terjebak pada totalitarianisme, yakni pemaksaan sebuah absolute truth dengan cara menyingkirkan kebenaran dari kacamata lain; kacamata para korban, perempuan, petani atau sisi barbarik dari proyek pencerahan. Muslihat kekuasaan yang berada di balik Proyek Pencerahan membuat apa yang selama ini dikalim sebagai nature, fact atau reality sebagai basis human reason ikut dipertanyakan. Sebab di balik yang riil dan alami tersebut terdapat upaya merekonstruksi dunai dengan cara tertentu agar sesuai dengan kepentingan pembuatnya. Karena itu para pemikir post-enlightenment lebih menekankan disocurse sebagai hiperealitas yang bermain di antara kuasa dan bahasa.
Bagi kelas ini pertanyaan tentang demokrasi yang perlu dibahas ada beberapa. Pertama, apakah semua model yang sudah pernah dibicarkan tergolong dalam keluarga besar filsafat pencerahan? Kedua, bagaimana melihat demokrasi dari kacamata post-enlightenment Bagaimana menerjemahkan penolakan terhadap metanarasi dan penekanan pada discourse menjadi sebuah model demokcasi posmodernis?
Referensi : Universitas Gadjah Mada