Para ilmuwan penganut teori ini berpendapat agama yang paling awal bersamaan dengan pertama kali manusia mengetahui bahwa di dunia mi tidak hanya dihuni oleh makluk materi, tetapi juga oleh makhluk immateri yang disebut jiwa (anima).
Pendapat ini dipelopori oleh seorang ilmuwan Inggris yang bernama Edward Burnett Taylor ( 1832 – 1917). Dalam bukunya yang sangat terkenai, The Primitive Culture (1872) yang mengenalkan neon Animisme, Ia mengatakan bahwa asal mula agama bersamaan dengan munculnya kesada ran manusia akan adanya roh atau jiwa. Mereka memahami adanya mimpi dan kematian, yang mengantarkan mereka kepada pengertian bahwa kedua peristiwa itu mimpi dan kematian merupakan bentuk pemisahan antara roh dan tubuh kasar.
Apabila orang meninggal dunia, rohnya mampu hidup terus walaupun jasadnya membusuk. Dari sanalah asal mula kepercayaan bahwa roh orang yang telah mati itu kekal abadi. Selanjutnya, roh orang mati itu dipercayai dapat mengunjungi manusia, dapat menolong manusia, bisa menganggu kehidupan manusia, dan bisa juga menjaga manusia yang masih hidup, terutama anak cucu, teman, dan keluarga sekampung.
Alam semesta ini dipercayai penuh dengan jiwa-jiwa yang bebas merdeka. E.B. Taylor tidak menyebutnya soul atau jiwa lagi, tetapi spirit atau makhluk halus. Menurut Beals dan Hoijer, ada perbedaan antara pengertian roh dengan makhluk halus. Roh adalah bagian halus dari setiap makhluk yang mampu hidup tentu sesudah jasadnya mati, sedangkan makhluk halus adalah sesuatu yang terjadi dari awalnya seperti itu, contohnya Peri, Mambang dan dewi-dewi yang dianggap berkuasa. Jadi, pikiran manusia telah mentransformasikan kesadaran akan adanya jiwa yang akhirnya menjadi kepercayaan kepada makhluk-makhluk halus.
Tingkat yang paling dasar dari evolusi agama adalah ketika manusia percaya bahwa makhluk-makhluk halus itulah yang menempati alam sekeliling tempat tinggal manusia karena mereka bertubuh halus, manusia. tidak bisa menangkap dengan panca inderanya.
Makhluk halus itu mampu berbuat berbagai hal yang tidak dapat diperbuat oleh manusia. Berdasarkan kepercayaan semacam itu, makhluk halus menjadi obyek penghormatan dan penyebahan manusia dengan berbagai upcara keagamaan berupa doa, sesajen, atau korban. Kepercayaan seperti itulah yang oleh E.B. Taylor disebut Animisme.
Pada tingkat selanjutnya dalam evolusi agama, manusia percaya bahwa gerak alam ini disebabkan oleh jiwa yang ada di belakang peristiwa dan gejala alam itu. Sungai-sungai yang mengalir, gunung yang meletus, angin topan yang menderu, matahari, bulan, dan tumbuh-tumbuhan, semuanya bergerak karena jiwa alam ini.
Kemudian jiwa alam itu dipersonifikasikan, dianggap sebagai makhluk-makhluk yang berpribadi, yang mempunyai kemauan dan pikiran. Makhluk halus yang ada dibelakang gerak alam seperti itu disebut dewa-dewa alam. Tingkat kedua dari evolusi agama ini disebut polytheisme-poly berarti banyak dan theos berarti Tuhan. Tingkatan ini merupakan perkembangan dari tingkat sebelumnya, manisme, pemujaan terhadap roh nenek moyang.
Tingkat ketiga atau tingkat terakhir dari evolusi agama bersamaan dengan timbulnya susunan kenegaraan di dalam masyarakat manusia. Menurut E.B. Taylor, ketika muncul susunan kenegaraan di masyarakat, timbul juga kepercayaan bahwa di alam dewa-dewa juga terdapat susunan kenegaraan yang serupa dengan susunan kenegaraan manusia. Pada kehidupan masyarakat, para dewa pun dikenal dengan stratifikasi sosial dewa-dewa, dimulai dari dewa yang tertinggi-yaitu raja dewa, para menteri-sampai pada dewa yang paling rendah.
Susunan masyarakat dewa serupa itu lambat laun menimbulkan kesadaran bans bahwa semua dewa itu pada hakikatnya merupakan penjelmaan dari satu dewa yang tertinggi itu. Akibat dari kepercayaan itu, berkembanglah kepercayaan kepada satu Tuhan, yaitu Tuhan Yang Mahaesa. Dan sinilah timbul berbagai agama bertuhan satu atau monotheisme.
Referensi : Universitas Gadjah Mada