Secara terminologis mazhab adalah kumpulan pendapat mujtahid yang berupa hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil syariat yang rinci serta berbagai kaidah (qawâ’id) dan landasan (ushûl) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh. (Nahrawi, Al-Imam asy-Syâfi‘i fî Mazhabaihi al-Qadîm wa al-Jadîd, 1994: 208; M. Husain Abdullah, Al-Wadhîh fi Ushûl, hal. 197). Artinya, istilah mazhab mencakup dua hal penting:
- Sekumpulan hukum-hukum Islam yang digali seorang imam mujtahid;
- Ushul fikih yang menjadi jalan (tharîq) yang ditempuh mujtahid itu untuk menggali hukum-hukum Islam dari dalil-dalilnya yang rinci.
Berbagai mazhab (fikih) itu terbentuk karena adanya perbedaan dalam masalah ushûl maupun furû‘ sebagai dampak adanya berbagai diskusi di kalangan ulama. Ushul terkait dengan metode penggalian (tharîqah al-istinbâth), sedangkan furû‘ terkait dengan hukum-hukum syariat yang digali berdasarkan metode istinbâth tersebut.
Perlu dipahami, Allah tidak memerintahkan kita mengikuti seorang mujtahid, seorang imam, ataupun suatu mazhab. Yang diperintahkan Allah adalah mengikuti hukum syariat dan mengamalkannya. Artinya, kita tidak diperintahkan kecuali mengambil apa yang dibawa Rasulullah saw kepada kita dan meninggalkan apa saja yang dilarangnya. (QS. Al-Hasyr [59]: 7). Karena itu, secara syar‘î tidak dibenarkan kecuali mengikuti hukum Allah; tidak dibenarkan kita mengikuti pribadi-pribadi tertentu. Tapi, fakta menunjukkan, tidak semua orang mempunyai kemampuan menggali hukum secara langsung dari sumber-sumbernya (Al-Quran dan as-Sunnah). Karena itu, di tengah-tengah umat kemudian banyak yang bertaklid pada hukum-hukum yang digali oleh seorang mujtahid.
Lalu pertanyaannya, apakah bermazhab ini sesuatu yang dibenarkan syariat Islam? Jawabnya, hal tersebut bergantung pada sikap umat dalam masalah ini. Jika mereka berpaham bahwa yang mereka ikuti adalah hukum-hukum syariat yang digali oleh seorang mujtahid, maka bermazhab adalah sesuatu yang sahih dalam pandangan syariat Islam. Sebaliknya, jika umat berpaham bahwa yang mereka ikuti adalah pribadi mujtahid, bukan hukum hasil ijtihad mujtahid itu, maka bermazhab seperti ini adalah sesuatu yang bertolak belakang dengan syariat Islam. (M. Shiddiq al-Jawi, Persoalan Seputar Mazhab, Jurnal Al-Wa’ie 2005).
Para pengikut mazhab, di samping harus mempunyai persepsi yang benar tentang bermazhab (seperti yang telah dijelaskan), wajib memahami setidaknya 2 (dua) prinsip penting lainnya dalam bermazhab:
Pertama, wajib bagi muqallid suatu mazhab tidak fanatik terhadap mazhab yang diikutinya. Ketika terbukti mazhab yang diikutinya salah dalam suatu masalah (hukum fikih), dan pendapat yang benar ada pada mazhab lain, maka wajib baginya mengikuti pendapat yang benar itu menurut dugaan kuatnya. Para imam mazhab sendiri mengajarkan agar tidak bersikap fanatik.
Kedua, kasus perbedaan pendapat (khilâfiyah) di kalangan mazhab-mazhab adalah sesuatu yang sehat dan alamiah, bukan sesuatu yang menyimpang dari Islam, sebagaimana dugaan sebagian pihak. Sebab, kemampuan akal manusia berbeda-beda, sebagaimana nash-nash syariat juga berpotensi memunculkan perbedaan pemahaman. Perbedaan ijtihad di kalangan sahabat telah terjadi sejak zaman Rasulullah saw. Beliau pun membenarkan hal tersebut dengan taqrîr-nya. (M. Shiddiq al-Jawi, Ibid).
Dengan demikian perbedaan mazhab seharusnya mendorong kaum intelektual untuk semakin memperdalam dan menganalisis berbagai pendapat tersebut, lalu melakukan tarjih atau memilih pendapat yang terkuat dari sekian ragam pendapat, hal ini tentunya dilakukan berdasarkan ketentuan tarjih sebagaimana tertuang dalam kitab-kitab ushul fikih, sehingga pada gilirannya akan meningkatkan taraf berfikir umat, dan umat menjadi semakin terlatih untuk berfikir tasyri’i.
Sumber Referensi : Yan S. Prasetiadi