Ijtihad secara istilah adalah mengerahkan seluruh kemampuan, dalam rangka mencari dugaan kuat terhadap hukum syariah, sehingga seorang mujtahid merasa tidak mampu lagi untuk berbuat lebih dari yang telah diusahakannya. (Al-Amidi, Al-Ihkâm fi Ushûl Al-Ahkâm, IV/162). Berdasarkan definisi ini, ijtihad mesti memenuhi tiga prinsip yaitu:
1. Mengerahkan seluruh kemampuan sehingga seorang mujtahid merasa tidak mampu lagi untuk berbuat lebih dari yang telah diusahakannya;
2. Usaha keras itu dilakukan dalam rangka mencari dugaan kuat terhadap hukum syariah;
3. Dugaan kuat itu harus berasal dari nash syariah.
Berdasarkan realitas itu, ijtihad tentunya berbeda dengan tarjîhmaupun bahtsul masâ’il. Sebab, tarjih adalah aktivitas untuk meneliti, mengkaji, dan menetapkan mana pendapat yang paling rajih (kuat) diantara beberapa pendapat yang ada. Sedangkan bahtsul masâ’il mirip dengan tarjih, meskipun kadang-kadang juga dilakukan pembahasan berbagai hukum-hukum tertentu berdasarkan kaidah-kaidah ijtihad. Namun, kedua aktivitas tadi dilakukan secara berkelompok, bukan individual. Padahal, ijtihad adalah aktivitas individual, bukan aktivitas kelompok. (Syamsuddin Ramadhan, Meluruskan Makna Ijtihad, Jurnal Al-Wa’ie, 2004, no. 48).
Begitupun ijtihad bukan tahqîq al-manâth, karena tahqîq al-manâth adalah implementasi hukum pada realitasnya, misal, pembuktian apakah minuman keras merk A adalah khamar atau bukan, ini bukanlah aktivitas ijtihad, namun pembuktian realitas sebuah zat, sehingga zat tersebut bisa dihukumi oleh hukum tentang khamar yang sudah ada dalilnya. (Hafidz Abdurrahman, Ushul Fiqih, hal. 299-300).