Lompat ke konten
Kategori Home » Ilmu Psikologi » Penyebab Interpersonal Konflik Organisasional

Penyebab Interpersonal Konflik Organisasional

  • oleh

Pada waktu yang lalu, sebagaian besar riset pada konflik organisasional telah difokuskan pada tipe penyebab organisasional yang diungkap di atas. Kini, bagaimanapun, perhatian telah berubah pada kemungkinan bahwa didalam beberapa instansi, konflik organisasional yang merugikan banyak berpangkal (atau mungkin lebih) dari faktor interpersonal—hubungan antara individu-individu tertentu—berasal dari strutur organisasi atau terletak pada konflik kepentingan.

Pertama, mempertimbangakan pengaruh yang kuat dari dendam terakhir. Ketika orang dibuat marah oleh yang lain, dan khususnya ketika mereka dibuat kehilangan muka (dilihatkan bodoh di depan publik) mereka mungkin membentuk perilaku negatif yang kuat terhadap individu-individu yang menyebabkannya. Sebagai hasilnya, mereka membuat rencana waktu dan usaha yang dapat diperhitungkan, mencari cara membalas dendam atas kesalah tersebut. Sayangnya, banyak dendam yang dapat menetap hingga tahunan, tentunya dengan akibat negatif bagi organisasi atau kelompok yang terlibat.

Kedua, konflik sering berawal dari (atau ditingkatkan oleh) faulty attributions—kesalahan-kesalahan mengenai penyebab dibalik perilaku orang lain. Ketika individu-individu mengetahui bahwa kepentingan mereka telah terancam oleh orang lain, mereka umumnya mencoba memutuskan mengapa orang tersebut melakukan cara yang ia lakukan. Apakah itu berhati denkgi, keinginan untuk merugikan mereka? Atau apakah tindakan yang mendorong tersebut berasal dari faktor-faktor yang melewati kendalinya? Fakta yang berkembang menunjukkan bahwa ketika orang mendapatkan kesimpulan terlebih dahulu, kemarahan dan konflik berikutnya akan melebihi dan lebih meningkat daripada disaat mereka mendapatkan kesimpulan terakhir.

Faktor interpersonal ketiga yang penting dipertimbangkan dalam tumbuhnya organisasional konflik disebut dengan faulty communication. Hal ini merujik pada fakta bahwa individu-individu sering berkomunikasi dengan yang lain dengan cara yang membuat marah atau menjengkelkan mereka, meskipun mereka tidak bermaksud demikian. Kesalahn berkomunikasi sering meliputi kekurang jelasan—sebagai contoh, seorang menejer tentu mengkomunikasikan apa yang ia harapkan secara jelas kepada bawahan, tetapi bawahan bingung tentang apa yang ia harus lakukan. Ketika meneger akhirnya melihat bahwa tugas belum selesai, ia jengkel.

Bawahan, pada kesempatan ini, dibuat marah oleh apa yang ia tangkap sebagai perlakuan yang tidak adil. Pada kasus lain, konflik melibatkan kecaman yang tidak sesuai—tanggapan negatif yang diberikan pada cara yang membuat marah penerima dari pada membantu orang tersebut mengerjakan pekerjaan dengan lebih baik.

Apa yang membuat kritik bersifat konstmktif dari pada bersifat distruktif? Hasil beberapa penelitian mengungkapkan sebagaimana yang terlihat dalam label di bawah. Kami yakin bahwa tidak ada satupun yang tercantum dalam tabel tersebut yang membuat Anda terkejut. Bagaimanapun juga, kita semua pernah menerima kritik dan memahami bahwa tanggapan negatif diberikan menurut pertimbangan cara dan waktu yang tepat, tidak mengandung ancaman, dan tidak mencaci-maki hal-hal yang berhubungan dengan sebab-sebab di balik tingkah laku dan performance lebih disukai ketimbang yang disampaikan secara kasar, mengandung ancaman dan sebagainya. Meskipun sebagian besar orang mengerti dan memahami prinsip dasar tersebut, namun mereka sering menghadapi kesulitan untuk melakukannya saat berhubungan dengan bawahan, rekan kerja, teman dan keluarga. Lebih sering lagi, banyak orang segan memberikan memberikan kritik terhadap yang lain. Hasilnya, mereka sering bilang tidak apa-apa hingga persoalan yang besar muncul, atau mereka marah dan kejengkelan semakin besar, yang tidak dapat ditahan lagi, hingga akibatnyajustru fatal.

Sumber konflik interpersonal keempat adalah distrust, ketidakpercayaan. Adanya ketidakpercayaan terhadap individu lain, kelompok lain, atau pihak lain jelas menimbulkan pretensi yang negatif terhadap lawan. Kondisi ini akan menyebabkan pihak yang menaruh rasa tidakpercaya selalu mencurigai individu, kelompok atau pihak lain telah berbuat suatu kesalahan. Hal ini merupakan potensi konflik yang cukup besar.

Constructive Versus Destructive Criticism

Akhirnya, kelima, beberapa karakteristik personal, juga, rupanya berperan dalam konflik organisasional. Sebagai contoh, individu berkepribadian tipe A dilaporkan lebih banyak terlibat konflik dengan orang lain dari pada tipe B. Sebaliknya, orang yang tinggi dalam self monitoring (yang memffifci kewaspadaan bagaimana orang lain bereaksi kepadanya) dilaporkan mampu mengatasi konflik dengan cara yang lebih produktif (misalnya dengan kolaborasi atau kompromi) ketimbang yang rendah dalam self monitoring-nya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *