Setelah memperbicangkan hakekat kekuasaan dan negara, kuliah selanjutnya akan memperdalam beberapa perdebatan yang berkaitan dengan konseo-konsep demokrasi. Dengan mempelajari konsep demokrasi, diharapakan kita dapat mengetahui asal-usul dan perkembangan pemikiran yang menginginkan adanya pembatasan kekuasaan.
Konsep demokrasi sebagai bentuk pemerintahan berasal dari filsuf Yunani, namun pemakaian konsep ini di zaman modern dimulai sejak terjadinya pergolakan revolusioner dalam masyarakat Barat pada akhir abad ke-18. Dalam rentang waktu yang panjang itu, konsep demokrasi diterjemahkan dalam berbagai khasanah pemikiran:
Teori Demokrasi Substantif.
Mendefinisikan demokrasi dengan istilah-istilah ” kehendak rakyat (the will) of the people ; kebaikaan bersama dan kebajikan publik (the common good). Dengan demikian demokrasi dilihat dari sisi sumber dan tujuan. Demokrasi tidak akan efektif dan lestari tanpa adanya substansi demokrasi, berupa; jiwa, kultur atau ideologi demokratis yang mewarnai pengorganisasian internal partai politik,
lembaga-lembaga pemerintahan, serta perkumpulan-perkumpulan kemasyarakatan. Demokrasi akan terwujud apabila rakyat bersepakat mengenai makna demokrasi, paham dengan bekerjanya demokrasi dan kegunaan demokrasi bagi kehidupan mereka. Teori demokrasi substantif ini bersifat normatif, rasionalistik, utopis dan idealistik.
Teori Demokrasi Schumpetarian.
Pandangan demokrasi substantivist (klasik) yang menekankan demensi sumber dan tujuan- mendapatkan sanggahan dari Joseph Schumpeter dalam bukunya berjudul “Capitalism, Socialism and Democracy” yang terbit tahun 1942. Dalam buku itu, Schumpeter menyatakan secara rinci kekuarangan teori demokrasi klasik serta mengemukan teori lain mengenai demokrasi.
Menurut Schumpeter, yang oleh teorisasi klasik disebut kehendak rakyat sebenarnya hasil dari proses politik, bukan motor penggeraknya. Dengan demikian, berbeda dengan klasik, Scumpeter lebih menekankan pada prosedur atau metode demokrasi. Sehingga, konsep demokrasi Schumpeter lebih bersifat empirik, dekriptif, instititusional dan prosedural. Karena menekankan prosedural maka konsep demokrasi shumpeter disebut juga demokrasi prosedural.
Oleh Schumpeter metode demokrasi dirumuskan sebagai prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik yang didalamnya individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan melalui perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat.
Konsep Schumpeter mendominasi teorisasi mengenai demokrasi sejak tahun 1970-an, serta mewarnai pemikiran ilmuwan politik seperti Di Palma, Robert Dahl,Przeworski, Samuel P Huntington, sampai dengan ilmuwan transitologisDiamond, Linz dan Lipset. Warna Scumpeterian misalnya nampak dari gagasan Di Palma tentang demokrasi. Di Palma mengemukan bahwa demokrasi ada ketika gagasan koeksitensi menjadi cukup menarik bagi kelompok-kelompok utama dalam masyarakat sehingga mereka bisa diajak bersepakat mengenai aturan-aturan dasar permainan politik.
Senada dengan itu muncul karya Robert Dahl (1973) yang merumuskan tatanan politik yang disebut Polyarchy. Polyarchy merupakan istilah yang dikemukan oleh Dahl untuk mengganti kata demokrasi. Bagi Dahl, demokrasi mengandung dua demensi -kontestasi dan partisipasi. Karena menekankan dua demensi ini maka konsep demokrasi ini sering disebut demokrasi minimalis. Dalam melihat bagaimana demokrasi bekerja cukup dilakukan dengan dua ukuran minimal:
1. seberapa tinggi tingkat kontestasi, kompetisi atau oposisi yang memungkinkan (Liberalisasi).
2. seberapa banyak warganegara yang memperoleh kesempatan berpartisipasi dalam kompetisi politik itu (Inclusiveness).
Berdasarkan dua demensi tersebut, Dahl membuat tipologi empat sistem politik: hegemoni tertutup (kompetisi dan partisipasi sama-sama rendah) ; oligarki kompetitif (kompetisi tinggi tetapi partisipasi rendah) ; hegemoni inklusif (partisipasi tinggi-kompetisi rendah) dan Poliarki (partisipasi dan kompetisi tinggi).
Dalam karya Dahl yang lain (1989), Dahl menyampaikan tujuh indikator dari sistem yang demokratis:
1. Kontrol pada pembuat kebijakan dilakukan oleh pejabat publik yang terpilih
2. Pemilihan pejabat publik diselenggarakan melalui pemilu yang teratur, fair dan bebas.
3. Setiap warga negara mempunyai persamaan hak memitih dalam pemilu
4. Setiap warga negera mempunyai persamaan hak untuk dipilih dalam pemilu
5. Jaminan kebebasan dasar dan politik;
6. Adanya saluran informasi alternatif yang tidak dimonopoli pemerintah atau kelompok tertentu.
7. Adanya jaminan untuk membentuk dan bergabung pada organisasi, termasuk partai politik dan kelompok kepentingan.
Senada dengan Dahl, Diamond,Linz dan Lipset merumuskan demokrasi sebagai: suatu sistem pemerintahan yang memenuhi tiga syarat pokok;
1. kompetisi yang sungguh-sungguh dan meluas diantara individu-individu dan kelompok-kelompok organisasi (terutama partai politik) untuk memperebutkan jabatan-jabatan pemerintahan yang mempunyai kekuasaan efektif, pada jangka waktu yang reguler dan tidak melibatkan penggunaan daya paksa;
2. Partisipasi politik yang melibatkan sebanyak mungkin warga dalam pemilihan pemimpin atau kebijakan, paling tidak melalui pemilihan umum yang dislenggarakan secara reguler dan adil, sedemikian rupa sehingga tidak satupun kelompok yang dikecualikan.
3. Kebebasan sipil dan politik; kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan untuk membentuk dan bergabung ke dalam organisasi, yang cukup menjamin integritas kompetisi dan partisipasi politik.
Demokrasi Prosedural yang diperluas
Penekanan demokrasi Schumpeter pada sisi procedural membuahkan kritik; misalnya kritik dari Terry Karl tentang “kekeliruan elektoralisme” dimana demokrasi Schumpeterian mengistimewakan pemilu di atas demensi-demensi yang lain, dan mengabaikan kemungkinan yang ditimbulkan oleh pemilu multi partai dalam menyisihkan hak sebagian masyarakat tertentu untuk bersaing datam memperebutkan kekuasaan atau meningkatkan dan membela kepentingannya (seperti perlindungan pada kelompok-kelompok marginal dan minoritas). Kritik ini juga diarahkan pada munculnya quasi demokrasi (demokrasi semu).
Kritik ini menimbulkan konsep demokrasi prosedural yang diperluas dengan menambahkan demensi jaminan kebebasan dan akses pada kelompok minoritas. Penekanan pada demensi kebebasan dan jaminan pada minoritas nampak dari tulisan Diamond, yang menyebutkan sepuluh komponen khusus demokrasi:
1. Kontrol terhadap negara, keputusan dan alokasi sumberdaya dilakukan oleh pejabat publik yang terpilih;
2. Kekuasaan eksekutif dibatasi, secara konstitusional dan faktual oleh kekuasaan otonom institusi pemerintahan yang lain.
3. Kebebasan untuk membentuk partai politik dan mengikuti pemilu.
4. Adanya kesempatan pada kelompok-kelompok minoritas untuk mengungkapkan kepentingannya.
5. Kebebasan bagi warga negara untuk membentuk dan bergabung dengan berbagai perkumpulan dan gerakan independen.
6. Tersedianya sumber informasi alternatif
7. Setiap individu memiliki kebebasan beragama, berpendapat, berdiskusi, berbicara, publikasi, berserikat, berdemonstrasi dan menyampaikan pendapat.
8. Setipa warga negera mempunyai kedaulatan yang setara dihadapan hukum.
9. Kebebasan indivisu dan kelompok dilindungi secara efektif oleh sebuah peradilan yang independen dan tidak diskriminatif.
10.Rule of law melindungi warga negara dari penahanan yang tidak sah, pengucilan, teror, penyiksaan dan campur tangan yang tidak sepantasna dalam kehidupan pribadi baik oleh warga negara maupun kekuatan non organisasi non negara dan anti negara.
Teori Demokrasi Sosial
Konsep demokrasi prosedural-liberal yang hanya menekankan demensi politik (demokrasi politik), mendapatkan kritik dari berbagai kalangan, terutama Marxisme. Bagi Marxisme, demokrasi tidak hanya menyangkut demensi persamaan dan kebebasan melainkan mengandung didalamnya konsep keadilan sosial.
Dalam pandangan Marxisme, demokrasi yang sesunguhnya tidak terwujud ketika kaum marginal (buruh) hanya diberi kebebasan politik namun secara struktural mereka tetap berada dalam struktur penindasan (eksploitasi) yang dilakukan oleh kelas kapitalis. Oleh karena itu, demokrasi politik hanyalah demokrasi semu.
Persoalan ketidakadilan sosial (ekonomi) inilah yang kemudian menimbulkan paradoks demokrasi di berbagai negara yang telah berhasil menerapkan konsep demokrasi minimalis. Misalnya: munculnya gerakan Zapatista di Mexico paska transisi dari rezim otoriter.