Lompat ke konten
Kategori Home » Sosial Politik » PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP KEBIJAKAN PEMBANGUNAN

PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP KEBIJAKAN PEMBANGUNAN

  • oleh

Dalam berbagai literatur, definisi dan pengertian khusus mengenai kebijakan pembangunan sebenarnya jarang ditemukan, karena kebijakan pembangunan ini menjadi bagian dari kebijakan publik. Dalam kehidupan masyarakat yang sudah modern seperti sekarang ini, maka kita tidak dapat melepaskan diri dari kebijakan publik. Kebijakan-kebijakan tersebut dapat ditemukan dalam berbagai aspek baik di bidang kesehatan, perumahan rakyat, pertanian, pembangunan ekonomi, hubungan luar negeri dan lain sebagainya.

Secara umum, istilah kebijakan atau policy digunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Roberto Eyestone mengungkapkan bahwa kebijakan publik dapat didefinisikan sebagai hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya. Batasan lain diugkapkan oleh Thomas R. Dye yang mengatakan bahwa kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan.

Pakar ilmu politik lain, Richard Rose menyarankan bahwa kebijakan hendaknya dipahami sebagai “serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta konsekuensikonsekuensinya bagi mereka yang bersangkutan daripada sebagai suatu keputusan tersendiri. Sementara Carl Fiedrich mengatakan bahwa kebijakan tidak hanya dipahami sebagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga oleh kelompok maupun oleh individu.

Selain itu, gagasan bahwa kebijakan mencakup perilaku yang mempunyai maksud, layak mendapatkan perhatian dan sekaligus harus dilihat sebagai bagian definisi kebijakan publik yang penting, sekalipun maksud atau tujuan dari tindakan-tindakan pemerintah yang dikemukakan dalam definisi ini mungkin tidak selalu mudah dipahami.

Pendapat lain dari James Anderson mengungkapkan bahwa kebijakan publik merupakan arah dan tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan (Winarno, 2002: 16). Dengan demikian, keterlibatan aktor-aktor dalam perumusan kebijakan menjadi ciri khusus dari kebijakan publik.

Menurut Anderson (Winarno, 2002) konsep kebijakan publik tersebut kemudian membawa kepada beberapa implikasi, yakni pertama, kebijakan publik secara luas dalam sistem politik modern bukan sesuatu yang terjadi begitu saja melainkan direncanakan oleh aktor-aktor yang terlibat dalam sistem politik.

Kedua, kebijakan merupakan arah atau pola tindakan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan-keputusan yang tersendiri. Ketiga, kebijakan adalah apa yang sebenarnya dilakukan oleh pemerintah dalam mengatur perdagangan, mengendalikan inflasi atau mempromosikan perumahan rakyat dan bukan apa yang diinginkan oleh pemerintah. Keempat, kebijakan publik dalam bentuknya bersifat positif atau negatif.

Secara positif, kebijakan mungkin mencakup bentuk tindakan pemerintah yang jelas untuk mempengaruhi suatu masalah tertentu. Secara negatif, kebijakan mungkin mencakup suatu keputusan oleh pejabat-pejabat pemerintah, tetapi tidak untuk mengambil tindakan dan tidak untuk melakukan sesuatu.

Kelima, kebijaksanaan Negara selalu didasarkan pada peraturan perundangan dan bersifat memaksa (otoritatif). Kebijaksanaan publik pada dasarnya bergerak dari hal yang vital sampai hal yang tidak vital, dan dari alokasi anggaran yang milyaran rupiah sampai dengan pengangkatan seorang tukang kebun di Sekolah Dasar. Dengan demikian, sangat luas cakupan permasalahan yang digarap oleh kebijaksanaan publik dan dalam keadaan semacam inilah maka hubungan kebijakan publik dengan ilmu politik sangat erat sekali.

Berdasarkan pengertian di atas, maka kebijakan pembangunan dapat didefinisikan sebagai perumusan atau pola penentuan strategi pembangunan yaitu penetapan tujuan dan cara yang terbaik mencapai tujuan itu berdasarkan sumber daya dan dana yang ada serta mampu dikerahkan. Penentuan kebijakan tersebut akan tergantung dari nilai politik, sosial dan ekonomi yang dianut oleh sesuatu masyarakat bangsa tertentu.

Latar Belakang Studi Kebijakan Publik

Minat dari masyarakat untuk mempelajari studi kebijakan publik sebenarnya sudah dirasakan sejak abad sebelum masehi. Hal ini ditandai dengan terbitnya sebuah peraturan pemerintah Babilonia yang dikenal dengan Kode Hammurabi. Kode Harnmurabi tersebut ditulis oleh penguasa Babilonia pada abad XVIII sebelum masehi, mengekspresikan keinginan untuk membentuk ketertiban publik yang bersatu dan adil pada masa ketika Babilonia mengalami transisi dari negara kota kecil menjadi Negara wilayah yang luas. Pada masa itu, produk-produk kebijakan publik telah menunjukkan pola yang mirip dengan karekter kebijakan publik yang ada hari ini.

Tanda-tanda keberadaan kebijakan publik kemudian juga ditemukan pada arkeologi masyarakat abad pertengahan. Pada masa itu, struktur masyarakat sudah menjadi sedemikian beragam, diferensiatif, dan diversifikatif. Dengan demikian, spesifikasi keahlian dari masing-masing kajian menjadi keharusan bagi eksistensi keilmuan seseorang. Jaman kemudian merangkak hingga abad XIX ketika terjadi revolusi industri. Pada masa ini, pandangan-pandangan Issac Newton banyak menjadi acuan, sehingga dalam lingkungan ilmu sosial muncul golongan yang disebut Newtonian Sosial, yakni mereka adalah kelompok ilmu sosial yang memandang fenomena sosial dengan menggunakan pendekatan-pendekatan alam.

Dan uraian di atas, terlihat bahwa paradigma positivistik cukup mendominasi dalam pembuatan kebijakan publik. Cara berfikir positivistik ini masih ditambah dengan mencuatnya popularitas ilmu ekonomi dalam mengatasi problema-problema sosial. Trend semacam ini mengakibatkan banyak studi kebijakan publik diwarnai dengan metode-metode seperti CBA (Cost Benefit Analysis), PPBS (Plannng, Programming, and budgeting sistem).

Pada tahun 1951, Harold Lasweel muncul dan menolak adanya analycentic dalam studi kebijakan publik. Studi kebijakan semakin terpacu perrkembangannya pada tahun 1960-an yaikni ketika pemerintah Amerika Serikat mencanangkan program New Frontier dan Great Society. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pemerintah dalam menganalisa dan menyelesaikan problem-problem sosial masyarakat Amerika Serikat pada masa itu. Dengan adanya program ini, maka pada masa ini, pemerintah banyak mengalokasikan anggaran pembangunan pada studi kebijakan. Adanya kecenderungan ini, menyebabkan studi kebijakan publik menemukan bentuknya yang kongket, dan tak lama kemudian dia sudah menjadi bagian dari ilmu pengetahuan sosial.

Ada empat orang yang disebut-sebut sebagai founding fathers yakni Harold Laswell, Herbert Simon, Charles Lindbloom dan David Easton. Harold Laswell adalah pakar pertama yang mencanangkan studi kebijakan publik sebagai bagian dari ilmu sosial yang merupakan studi yang menggunakan pendekatan multi-method dan multi disiplin. Simon adalah pakar yang memberikan sumbangan dalam konteks pilihan rasional manusia dalam pengambilan keputusan. Lindbloom lebih menaruh perhatian pada proses kebijakannya sendiri, dimana dengan konsep incrementalismnya is mengatakan kebijakan publik itu complexy inter-active process without beginning or

end. Sedangkan Easton yang mengemukakan model black box memberikan kontribusi pada perkembangan studi kebijakan publik pada kemampuan mencandra lingkungan eksternal dan internal yang menjadi input dalam kebijakan, karakter dukungan dan tuntutan dari publik yang akan mempengaruhi proses kebijakan dan basil output serta dampak dari kebijakna tersebut bagi lingkungan (Parsons dalam Putra, 2003: 16).

Orientasi Studi Kebijakan Publik

Pada dasarnya studi kebijakan publik berorientasi pada pemecahan masalah riil yang dihadapi di tengah masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan publik pada dasarnya merupakan ilmu terapan dan lebih berperan sebagai problem solver. Dalam studi kebijakan publik, pengambil kebijakan hams berorientasi pada kepentingan publik yang kuat. Oleh karena itu, untuk dapat menjadi abdi masyarakat yang selalu memperhatikan kepentingan publik, maka administrator publik perlu memiliki semangat “kepublikan”. Semangat responsibilitas administratif dan politis harus melekat pada diri administrator publik, sehingga is dapat menjalankan peran profesionalnya dengan baik.

Dari situ semakin tegas, bahwa orientasi studi kebijakan publik adalah kepentingan publik. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa pada tataran konseptual kebijakan yang dibuat harus memiliki keberpihakan yang kuat terhadap kepentingan masyarakat dan berorientasi pada pelayanan kepentingan tersebut. Lebih jauh, studi kebijakan publik juga berbasis pada proses dialogis dari berbagai kepentingan publik tersebut, yang kemudian hasil persepakatan proses dialog demokratik itulah yang menjelma menjadi sebuah kebijakan publik.

Referensi :

Putra, Fadillah, 2003, Paradigma Kritis Dalam Studi Kebijakan Publik, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

Winarno, Budi, 2002, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta, Media Pressindo.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *