Mungkin sebagian besar penyebab organisasional yang jelas dari konflik adalah persaingan terhadap sumber daya yang langka. tidak ada organisasi yang memiliki sumber daya tidak terbatas, dan konflik sering muncul pada pembagian atau pendistribusian ruang, dana, peralatan atau personal. Sayangnya, banyak konflik sering dipertajam oleh bias-bias persepsi. Setiap pihak berusaha memperbesar kontribusi tersebut ke organisasi, dan pembagian yang adil dari sumber daya yang tersedia.
Hasilnya dapat menjadikan konflik meningkat, hingga berkepanjangan. Dua faktor yang terkait erat adalah ketidak-jelasan tanggung jawab dan ketidak jelasan wewenang. Kelompok-kelompok atau individu-individu dalam sebuah orpanisasi suatu saat iidak /nenetfu tepada sfapa tenggung jawab urtiuk melakukan bertiagai togas. Ketfte ini terjadi, setiap pihak yang terlibat melepaskan tanggung jawab (mengaku tidak bertanggung jawab), dan konflik dapat terjadi pada masalah ini. Sama halnya, ketidak pastian seringkali muncul pada siapa yang memiliki wewenang atau otoritas. Dan, perselisihan pada masalah ini dapat menjadi intensif.
Faktor organisasional ketiga yang sering berperan dalam konflik adalah saling ketergantungan dan persoalan-persoalan yang berpangkan darinya. Pada sebagian besar organisasi, berbagai unit, kelompok dan individu-individu harus tergantung dengan yang lain untuk terselenggaranya pekerjaan mereka sendiri. Mereka menerima masukan dari yang lain dan tidak dapat dikerjakan tanpa itu. Pada saat masukan terlambat atau diberikan dalam keadaan tidak utuh atau tidak memuaskan, konflik yang besar mungkin terjadi. Merupakan kejutan besar, kelompok atau individu berhadapan dengan situasi demikian (dan tentunya) bahwa tujuan utama mereka dihalangi atau diganggu oleh yang lain. Tidak aneh kalau mereka membalas dan kerja produktif tersebut berubah menjadi menjemukan pada saat putaran konflik mengikuti.
Faktor organisasional dari munculnya konflik yang lain adalah sistem penggajian. Pada saat sistem diterapkan pada unit atau kelompok tidak sesuai dengan yang diterapkan pada yang lain (sebagai kasus yang sering) konflik dapat dipastikan akan terjadi. Hal ini secara khusus akan terjadi jika orang-orang yang terlibat menganggap sistem sebagai yang tidak adil. Dalam beberapa instansi, kelompok yang gagal mencapai keuntungan penting (misal: bonus) mungkin mengalami dendam, dan konflik yang tidak perlu mungkin tahap berikutnya proses tersebut.
Konflik kadang-kadang juga sebagai akibat diferensiasi dalam sebuah organisasi. Sebagai organisasi yang tumbuh dan berkembang, banyak pengalaman sebuah kecenderungan menuju peningkatan jumlah bagian-bagian. Individu-individu bekerja dalam kelompok tersebut menjadi disosialisasikan kepada mereka, dan berusaha menerima norma-norma dan nilai-nilai mereka. Seperti mereka mengidentifikasi dengan kerja kelompok tersebut, persepsi mereka terhadap anggota-anggota organisasi yang lain mungkin berubah. Mereka melihat orang di luar unit mereka menjadi berbeda, kurang berharga, dan kurang kompeten dari pada yang di dalam unitnya. Pada saat yang sama, mereka memberikan penilaian berlebihan terhadap unit mereka sendiri dan orang-orang yang didalamnya.
Akhirnya, proses ini mungkin mendorong konflik yang merugikan. Sesudah itu, jika individu-individu di setiap bagian atau unit dengan sengitnya loyal kepada bagian mereka sendiri, mereka mungkin kehilangan sudut pandang terhadap tujuan-tujuan organisasi dan berusaha memusatkan, pada pengejaran kepentingan kelompok dan pribadi. Akibat diferensiasi dalam sebuah organisasi mendorong individu-individu di dalamnya untuk membagi mejadi “kita” (anggota kelompok mereka sendiri) dan “mereka” (untuk orang-orang yang diluarnya), dan ini pada suatu saat, dapat menjadi faktor yang berperan pada awal konflik.
Sebagai catatan terbaru yang diungkap oleh Kabanoff, konflik dapat berpangkal dari kekuasaan yang berbeda di antara anggota organisasi. Kabanoff menyatakan bahwa di dalam organisasi, seperti pada tempat lain, adanya ketegangan yang terus menerus antara norma-norma keadilan, keyakinan bahwa anggota kelompok akan mendapat imbalan terhadap kontribusi relatif mereka; dan kesejajaran, keyakinan bahwa setiap orang akan menerima hasil yang sama, setidaknya pada tanggung jawab tertentu. Peraturan tersebut sering diterpakan pada berbagai macam hal yang berbeda. Sebagai contoh, keadilan diterapkan pada peningkatan (gaji), bonus dan imbalan lain yang nyata. Sebaliknya, kesejajaran diterapkan pada penampakan hubungan emosional sebagai perlakuan yang santun, kedekatan dan lainnya.
Kabanoff menjelaskan bahwa diferensiasi kekuasaan yang terbesar diantara beberapa dari anggota dua organisasi, keadilan akan lebih diterima sebagai aturan pembagian yang menentukan hubungan mereka. Hal ini akan terjadi lebih jauh sebagai orang yang lebih kuat dapat meminta peraturan yang menguntungkan dirinya, mengabaikan orang yang lebih lemah menerima situasi tersebut. Sebagai hasilnya, mungkin sekali konflik jelas akan muncul pada pembagian imbalan yang tersedia menurun. Bagaimanapun, pada saat yang sama, individu-individu yang lemah mungkin mengalami perasaan frustasi dan keterlibatannya menurun dalam hubungan—reaksi kadang-kadang digambarkan sebagaikonflik tidak langsung.
Sehingga, dalam perasaan, organisasi menghadapi pemindahan tentang dimana kekuasaan yang berbeda dan konflik. Kekuasaan tinggi yang berbeda dalam hubungan organisasional memperkecil pengertian yang jelas tentang ketidakadilan pada bagian yang lemah, dan tentunya mengurangi kemungkinan konflik pada sistem imbalan. Pada waktu yang sama, bagaimanapun, hal-hal seperti itu yang berbeda menyebabkan meningkatnya perasaan tidak senang, yang mungkin dialihkan menjadi konflik tidak langsung. Apa un persisnya hasil akhirnya, proses ini menjadikan perhatian bahwa kekuatan yang berbeda memiliki kontribusi terhadap konflik yang terjadi pada organisasi.