Pengawasan Politis adalah pengawasan terhadap perbuatan pemerintah dilakukan oleh lembaga Perwakilan Rakyat baik oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dalam proses pengawasan mi DPR maupun MPR sebagai pihak yang melakukan pengawasan sedangkan pemerintah atau Presiden beserta aparatumya di bawahnya merupakan pihak yang diawasi.
Dewan Perwakilan Rakyat dalam melakukan pengawsan terhadap perbuatan aparatur pemerintah menitik beratkan pada aspek politis. Implementasi Pengawasan Politis Dasar hukum pengawasan DPR terhadap apartur pemerintah terdapat dalam pasal 20 A Undang-Undang Dasar 1945.
Adapun isi pasal 20 A UUD 1945 adalah sebagai berikut:
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislatif, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.
(2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain g- Undang Dasar mi, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.
(3) Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas.
(4) Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam undang-undang Apabila dalam melaksanakan fungsi pengawasan DPR menemukan penyimpangan yang dilakukan oleh aparat pemerintah, maka DPR dapat mengajukan masalah tersebut kepada Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi adalah Lembaga Tinggi Negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung yang dibentuk oleh Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi ini berdasarkan Undang-Undang Nomor : 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Adapun ketentuan yang berkaitan dengan fungsi pengawasan DPR terhadap aparatur pemerintah terdapat dalam pasal 10 ayat 2, dan ayat 3 UU No: 24 tahun 2003.
Adapun ketentuan pasal 10 (2) dan (3) UU No: 24 tahun 2003 adalah sbb:
(1) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden diduga telah melakukan diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, danlatau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
a. pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap ketentuan negara sebagaimana diatur dalam undang-undang.
b. korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang.
c. tindak pidana berat lainnya adalah tindak yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
d. perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden.
e. tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan Presiden danlatau Wakil Presiden melanggar ketentuan undang-undang, maka para anggota DPR yang juga merupakan anggota MPR, akan memanggil MPR guna mengadakan sidang istimewa guna meminta pertangungan-jawaban Presiden. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 2 (1) dan pasal 3 (3)UUD 1945. Pasal 2 (1) UUD 1945 menyebutkan : Majelis
Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
Pasal 3 (3) UUD 1945 menyebutkan : Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.
Referensi :
Hadawi Nawawi, Pengawasan Melekat Dikingkungan Aparatur Pemerintahan, Penerbit
Erlangga, Jakarta, 1989.