Beberapa tahun yang lalu kita masih percaya pada anggapan bahwa kecerdasan (IQ) adalah indikator kesuksesan seseorang. Nama Stanford, Binet, Spearman, dan Weschler disebut dalam sejarah karena telah bekerja bertahun-tahun untuk merumuskan faktor-faktor pembentuk IQ.
Mereka menjadi sangat populer karena telah menyusun tes IQ, yang semula dibutuhkan untuk skrining para tentara yang akan diberangkatkan ke perang dunia. Hingga akhirnya Daniel Goleman mencetuskan istilah emotional intelligence dalam bukunya yang berjudul sama. Istilah ini seakan menggugah kesadaran setiap orang bahwa IQ saja tidaklah cukup untuk memprediksi kesuksesan.
Di Indonesia sendiri, istilah emotional intelligence atau kecerdasan emosi ini pernah membooming. Johana E. Prawitasari dalam tulisannya di dalam jurnal psikologi, yang banyak melakukan studi mengenai emosi khususnya di Indonesia, menggunakan istilah bak kacang goreng untuk melukiskan kondisi saat itu karena banyak sekali orang yang menikmati istilah ini dengan cara mencantolkannya pada hampir setiap aspek yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Hampir di setiap acara, baik itu acara ilmiah, artinya acara yang dilaksanakan oleh masyarakat akademis maupun acara yang dilakukan untuk tujuan bisnis.
Goleman dalam buku-bukunya yang meledak di pasar mencetuskan bahwa kecerdasan emosi atau Emotional Intelegence (EI) merupakan kapasitas seseorang untuk mengenali perasaannya dan perasaan orang lain, memotivasi diri sendiri, dan mengelola emosi diri. Kecerdasan emosi ini sangat dibutuhkan pada saat seseorang berhubungan dengan orang lain dan mempunyai peran yang sangat luar biasa dalam menentukan keberhasilan hidup seseorang.
Kupasan terus menerus dilakukan terutama untuk mengungkap faktor apa saja yang dapat dijadikan indikator bagi keberhasilan seseorang di dunia kerja. Keluhan sementara pihak mengenai ketidak konsistenan antara IQ dengan keberhasilan karyawan dalam pekerjaannya tidak dapat diabaikan begitu saja.
Karyawan dengan IQ tinggi atau di atas rata-rata tidak selamanya menunjukkan kinerja lebih baik. Sebaliknya, sebagian dari mereka yang berhasil, setelah diungkap ternyata IQnya hanya rata-rata. Penyelidikan mengenai faktor-faktor apa saja yang membedakan antara karyawan-karyawan yang sukses dengan yang tidak sukses, terus menerus dilakukan.
Penggunaan istilah kompetensi dimulai semenjak 30-an tahun lalu, pada saat McClelland menuliskan Testing for Competence rather than Intelligence. Ide-ide ini dilanjutkan oleh Spencer and Spencer yang menyusun Hay/McBers Generic Competency Dictionary. Dengan dilambungkannya emotional intelligence- yang selanjutnya diukur dengan Emotional Quotient=EQ) -sebagai indikator kesuksesan seseorang selain IQ, maka Hay group pun menyusun Emotional Competence Inventory (ECI).