Problem di antara para lanjut usia sangatlah kompleks, karena secara alamiah kemampuan fisik para lanjut usia terus menurun. Menurunnya kemampuan fisik ini mempengaruhi kualitas hidup. Para lanjut usia yang memiliki latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya yang berbeda, juga mempunyai kulaitas hidup yang berbeda.
Masalah Kesehatan
Sesuai dengan pendapat para ahli kesehatan dapat dijadilkan indikator kualitas hidup penduduk. Masalah yang perlu dibicarakan selanjutnya adalah apakah yang dapat dijadikan tolok ukur bagi indikator kesehatan. Ada beberapa tolok ukur yang dapat dipakai untuk mengetahui tingkat kesehatan penduduk, yakni angka kesakitan (morbidity/disability rate), angka kelahiran bayi dengan berat badan rendah (low birth wage), angka kematian bayi (infant mortality rate) dan usia harapan hidup (life expectancy). Dalam penelitian indikator kesehatan yang akan dipakai untuk mengukur tingkat kualitas hidup penduduk lanjut usia hanya 2, yaitu morbiditas penduduk lanjut usia dan tingkat harapan hidup. Hal ini disebabkan karena hanya dua indikator tersebut yang relevan bagi penduduk lanjut usia.
1) Angka kesakitan
Daya tahan fisik terhadap penyakit adalah salah satu indikator kualitas fisik penduduk. Biasanya daya tahan fisik terhadap penyakit dapat diketahui dari jumlah hari sakit yang dialami oleh individu per tahun. Hari sakit yang dimaksudkan di sini adalah hari-hari orang terganggu pekerjaannya karena keadaan fisiknya yang kurang memungkinkan.
Ukuran kualitas penduduk yang dipakai dalam kesehatan adalah tingkat morbiditas atau persentase penduduk yang sakit dalam seminggu sebelum sensus dilakukan (BPS, 1983 : 137). Reliabilitas hasil sensus atau survey ini tentu saja sangat terpengaruh pada ketepatan subyek di dalam melaporkan keadaan kesehatan mereka. Pengetahuan tentang penyakit akan menentukan apakah seseorang akan melaporkan diirinya sakit atau tidak di waktu sensus atau survey dilakukan.
Penduduk lanjut usia di waktu yang akan datang diharapkan akan mempunyai usia harapan hidup yang lebih panjang. Meskipun usia yang lama tidak dapat dipakai untuk mengukur tingkat kualitas hidupnya. Angka kesakitan akan meningkat sejalan dengan bertambahnya usia seseorang. Kemajuan di bidang teknologi kesehatan akan menyebabkan usia harapan hidup yang semakinpanjang bagi penduduk usia lanjut. Untuk memastikan bahwa penduduk lanjut usia hidup lebih lama, sehat dan produktif, ukuran yang tepat adalah dengan mengadopsi sehat sebagai pandangan hidup.
Penelitian tentang penduduk lanjut usia di Indonesia yang baru-baru ini dilakukan oleh Siti Isfandary (1997) mengungkapkan faktor-faktor sosial-ekonomi yang membedakan status kesehatan penduduk lanjut usia di Jawa, menemukan data bahwa status pekerjaan (bekerja dan tidak bekerja) di antara penduduk lanjut usia secara signifikan berhubungan dengan status kesehatan.
Bagi wanita lanjut usia juga terdapat pola yang sama, dalam hal ini ada perbedaan signifikan pada kelompok umur 55-59 dan 70 tahun ke atas, tetapi pada kelompok umur 60-64 dan 65-69 tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Secara lebih rinci dijelaskan bahwa penduduk lanjut usia (55 tahun atau lebih), tidak memperlihatkan perbedaan status kesehatan, baik bagi mereka yang berstatus menikah atau sendiri (termasuk duda, cerai atau tidak pernah menikah). Keadaan ini berbeda pada wanita berumur 55 tahun atau lebih. Mereka yang menikah memiliki kondisi kesehatan yang lebih baik secara bermakna daripada mereka yang hidup sendiri. Hal ini dapat dijelaskan bahwa biasanya wanita yang menikah memiliki kondisi ekonomi yang lebih baik dibanding wanita single, sebagai hasilnya kesehatan merekapun lebih baik.
Gaya hiduppun ternyata berpengaruh terhadap status kesehatan orang lanjut usia, terutama wanita yang berumur 60 atau lebih. Mereka yang tinggal dengan lebih dari tiga orang memiliki status kesehatan lebih baik dari pada mereka yang tinggal dengan tiga orang atau kurang. Keadaan ini dapt dijelaskan dengan teori bahwa wanita lanjut usia yang sehat lebih mungkin tinggal dalam rumah tangga yang lebih besar karena mereka dapat membantu anggota keluarga yang lain.
Status pekerjaan terutama pada pria tampak juga berpengaruh terhadap kondisi kesehatan Alasan yang paling logis untuk status kesehatan yang lebih baik ini ialah bahwa mereka yang sehat memiliki peluang yang lebih besar untuk bekerja.
Dalam hal status kesehatan subyektif, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Isfandari ditemuklan bahwa dari semua yang melaporkan adanya penyakit selama bulan terakhir hanya 20 persen saja yang belum sembuh sampai saat penelitian dilakukan. Ini berarti interpretasi yang paling mungkin pada hasil ini bahwa pria yang tidak bekerja mengeluh lebih banyak tentang penyakit subyektif daripada mereka yang bekerja.
Untuk wanita pola-pola yang sama juga berlaku, yakni mereka yang bekerja melaporkan status kesehatan yang lebih dibanding mereka yang tidak bekerja. Terdapat perbedaan bermakna untuk kelompok umur 55 – 59 dan 70 tahun ke atas, sementara untuk mereka yang berusia 60 – 64 dan 65 – 69 perbedaan ini tidak bermakna.
Sumber listrikpun berpengaruh terhadap status kesehatan orang-orang lanjut usia. Namun faktor ini hanya bermakna bagi pria dan wanita yang berusia 70 atau lebih, dan untuk wanita berumur 55 sampai 59 tahun. Pola ini menunjukkan bahwa mereka yang berpenerangan listrik memiliki status kesehatan yang lebih baik.
Kebiasaan membaca surat kabar atau tidak juga berpengaruh terhadap kesehatan mereka. Terdapat perbedaan bermakna bagi mereka pria berusia 55 – 59, mereka yang membaca koran lebih sedikit yang melaporkan penyakit. Untuk semua kelompok umur yang lainnya, baik pria maupun wanita, tidak terdapat perbedaan bermakana, walaupun kecenderungan ini memperlihatkan bahwa makin tua responden makin mungkin melaporkan penyakit bila mereka tidak membaca koran.
2) Usia Harapan Hidup Penduduk Lanjut Usia.
Usia harapan hidup penduduk lanjut usia dapat dipakai sebagai indikator kualitas hidup penduduk. Semakin baik kualitas hidup yang ada dalam masyarakat akan berpengaruh terhadap tingginya usia harapan hidup. Untuk memahami hal tersebut kiranya perlu juga dibahas mengenai usia harapan hidup menurut data baik dari sensus penduduk ataupun dari survey antar sensus.
Berdasarkan data yang ada tentang usia harapan hidup bagi penduduk Indonesia termasuk penduduk lanjut usianya, menunjukkan adanya kenaikan. Usia harapan hidup menurut hasil sensus tahun 1980 adalah 57 tahun untuk daerah perkotaan dan 51 tahun untuk daerah pedesaan, dan angka ini menurut survey antar sensus tahun 1985 meningkat menjadi 63 tahun untuk daerah perkotaan dan 59 tahun untuk daerah pedesaan. Usia harapan hidup nasional menunjukkan angka 52 menurut sensus 1980 dan naik menjadi 60 menurut data survey antar sensus tahun 1985. Usia harapan hidup ini sangat bervariasi antara satu propinsi dengan propinsi lainnya. Berikut ini ditampilkan usia harapan hidup menurut propinsi di Indonesia.
3) Peranan Sosial yang dilakukan oleh Penduduk Lanjut Usia
Apabila ditinjau dari aspek peranan sosial, kebanyakan penduduk lanjut usia menghadapi realitas bahwa peranan sosial mereka terus menurun sehingga hal ini menyebabkan berkurangnya interaksi dengan lingkungan sosial mereka, dan selanjutnya berpengaruh terhadap waktu luang yang mereka miliki tanpa aktivitas sama sekali. Banyak para lanjut usia yang tidak melakukan kegiatan apapun karena mereka tidak mempunyai pekerjaan.
Sementara itu, bila ditinjau dari aspek ekonomi, berlangsungnya proses penuaan berpengaruh terhadap fisik para lanjut usia dan mengurangi stamina fisik mereka. Hal ini menyebabkan aktivitas dan produktivitas mereka terus menurun, sehingga secara ekonomis mereka tergantung pada anggota keluarga yang lain, terutama bagi mereka yang betul-betul sudah berusia lanjut. Meskipun demikian, kelompok lanjut usia yang lain (setengah tua dan tua) mungkin masih tetap terus bekerja.
Berdasarkan pada studi yang dilakukan oleh Wirakartakusumah (1994) terdapat 48.2 persen penduduk lanjut usia yang tetap bekerja. Persentase ini lebih tinggi di antara para lanjut usia yang tinggal di daerah pedesaan. Di antara penduduk lanjut usia yang masih bekerja, 68.8 persen bekerja di sektor pertanian.
Berdasarkan aktivitas keagamaan dapat diketahui bahwa dari 400 responden ternyata 61,5 persen di antaranya mempunyai aktivitas rutin dalam kegiatan keagamaan, dan hanya 10,5 persen yang tidak terlibat dalam kegiatan keagamaan. Kegiatan keagamaan yang dimaksudkan adalah berupa pengajian-pengajian yang dilakukan secara rutin di daerah tempat tinggalnya. Sedangkan sisanya sebesar 28 persen menyatakan pasif dalam kegiatan keagamaan.
Sedangkan mobilitas yang dilakukan oleh orang-orang lanjut usia seperti berkunjung ke rumah teman dari penelitian ini mendapatkan informasi bahwa 31,5 persen dari keseluruhan responden menyatakan tidak pernah berkunjung ke rumah teman mereka. Orang-orang lanjut usia yang berkunjung ke rumah teman satu kali sampai tiga kali dalam 3 bulan sebelum penelitian ini dilakukan sebesar 28,8 persen.
Selain itu dari penelitian ini juga dapat diketahui bahwa 3.0 persen di antara para penduduk lanjut usia mengatakan bahwa kesehatan mereka sangat buruk, dan 25.3 persen kesehatan mereka lebih buruk lagi. Selama 6 bulan sebelum penelitian, 39.0 persen dari responden menderita sakit yang mengganggu aktivitas fisik mereka, kebanyakan mereka dijumpai di daerah perkotaan.
Di samping itu, penelitian itu juga menemukan fakta bahwa 20.0 pesen dari responden mengalami sakit secara fisik yang menyebabkan mereka tidak mampu berjalan sendiri. Dari 80 responden dalam kategori ini, 25 orang atau 31.25 persen mengalami masalah tidak bisa berjalan sendiri meskipun hanya dilingkungan tempat tinggalnya.
Dari para responden, 50.5 persen masih tetap memiliki penglihatan yang bagus. Sepuluh orang atau 2.5 persen menggunakan alat bantu dengar, 24 orang atau 6.0 persen mengatakan mereka memerlukan alat bantu dengar. Data di atas menunjukkan bahwa faktor ekonomi sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup penduduk lanjut usia.
Referensi :
Anwar, Evi Nurvidya, Demographic Characteristics of Aging, in Indonesia, Demographic Institute, Faculty of Economics, University of Indonesia, Technical Report Series Monograph No 86, 1997