Lompat ke konten
Kategori Home » Ilmu Psikologi » Krisis Demokrasi

Krisis Demokrasi

  • oleh

Sementara itu kemunduran ekonomi, krisis negara kesejahteraan, kekecewaan terhadap partai-partai dominan dan skeptisisme terhadap pemilu dan para politisi mencerminkan kesulitan struktural yang dihadapi negara-negara Barat.

Memasuki akhir dekade 1960an hanya segelintir pengamat dan ilmuwan politik yang masih mempercayai optimisme konsensus politik ala the end of ideology. Sebaliknya, politik dalam masyarakat Barat beralih tidak lagi spenuhnya bergeraka ke arah centre ground. Begitu juga dukungan instrumental kelas subordinan perlahan-lahan berubah menjadi ketidakpuasaan dan konflik.

Kesulitan struktural ini kemudian dianggap sebagai simptom yang tak terelakkan dari krisis demokrasi liberal yang tengah menjangkiti dunia Barat pada waktu itu. Dua kubu teori kemudian mendominasi perdebatan seputar krisis demokrasi liberal: overloaded state (OS) dan legitimation crisis (LC).

Teori OS cenderung menggambarkan hubungan kekuasaan dalam konteks fragmentasi. Fungsi pemerintah dalam banyak hal berupaya mengengahi dan menyelesaikan berbagai kepentingan yang bertolak belakang.

Di saat bersamaan ekonomi Keynesian yang bertumpu pada peran dominan negara menghasilkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakat. Akibatnya terjadi peningkatan harapan yang luar biasa yang dibarengi dengan peningkatan respek terhadap otoritas politik.

Dalam konteks ini tekanan terhadap pemerintah untuk memenuhi harapan masyarakat melalui kelompok-kelompok kepentingan berlipat ganda; menciptakan situasi yang memungkinkan para politisi yang memperebutkan suara dalam pemilu bernai mengumbar janji-janji kebijakan melebihi kemampuan untuk mewujudkannya atau bahkan bertentangan satu sama lain; yang ujung-ujungnya justeru semakin memompa the rising of expectations.

Startegi appeasement pemerintah dan partai—terutama yang berkuasa—ditambah dengan kepentingan pribadi para pejabat negara mendorong penambahan jumlah lembaga negara—perluasaan intervensi pemerintah. Seperti bisa diduga penambahan lembaga baru melemahkan kememapuan negara untuk beroperasi dan mengelola intervensinya secara efektif.

Padahal perluasan intervensi tersebut juga telah merusak individualism sebagai basis penting demokrasi liberal. Kesulitannya adalah situasi seperti ini menjadi lingkaran setan yang tak berujung karena tekanan pada pemerintah tidak pernah surut. Menurut teori OS lingkaran setan tersebut bisa ditanggulangi dengan kepemimpinan yang tegas dan mampu mengabikan tekanan dan tuntutan demokratis.

Di lain pihak, sekalipun bersifat fragmentatif, kekuasaan politik menurut teori LC selalu dibatasi oleh ketergantungan negara terhadap sumber daya material yang dihasilkan melalui proses akumulasi kapital. Dalam perekonomian negara-negara Barat proses akumulasi ini dilakukan oleh sektor privat yang memiliki hak pemilikan pribadi atas faktor-faktor produksi.

Selama periode pasac perang sitem produksi fordisme dan kebijakan ekonomi Keynesian menghasilkan kemakmuran ekonomi. Tapi perkeonomian yang berhasil sekalipun secara inheren selalu bersifat tidak stabil. Pertumbuhan ekonomi secara permanen selalu diselingi dengan resesi, membuat krisis fordisme menjadi bagian yang tak terelakkan.

Sementara untuk mempertahankan tertib politik dan ekonomi kapitalisme memerlukan peran negara yang efektif dengan tujuan menjamin keberlangsungan akumulasi kapital dan mengelola antagonisme kelas. Negara sendiri selalu berupaya untuk mendapatkan persetujuan dan sokongan kelas sosial dominan terutama komunitas bisnis.

Dalam rangka menhindari krisis politik dan ekonomi pemerintah memutuskan untuk memperluas tanggungjawabnya ke wilayah ekonomi dan berbagai urusan lain yang menyangkut masyarakat sipil. Akibatnya pemerintah— dan negara secara lebih luas—harus memperbesar struktur administrasi dan karenanya kompleksitas internalnya. Tapi yang terpenting kompleksitas ini menghendaki penambahan jumlah anggaran yang tidak selamanya mampu dipenuhi. Situasinya adalah negara harus membiayai dirinya sendiri melalui pajak dan pinjaman dari pasar modal.

Tapi negara tidak akan melakukannya jika bertentangan dengan kepentingan pemilik modal—karena akan mengganggu proses akumulasi kapital dan pertumbuhan ekonomi. Hambatan ini menciptakan situasi inflasi dan krisis pembiayaan publik yang bersifat permanen. Akibatnya kegagalan dan perubahan kebijakn pemerintah selalu terjadi terus menerus. Di saat bersamaan meningkatnya intervensi negara menimbulkan politisasi sebagain besar aspek kehidupan masyarakat; ketika menjadi bagian dari control negara.

Perkembangan ini mendorong peningkatan tuntutan pada negara. Ketika negara tidak mampu memnuhi tuntutan tersebut krisis legitimasi dimulai. Dalam situasi seperti ini sebuah strong state yang menempatkan tertib sosial di atas segalanya, menekan protes dan membuang sumber-sumber krisis mungkin akan tampil ke depan, yang ujungnya justeru berakhir dengan lingkaran setan Negara intervensionis.

Namun menurut teori LC transformasi fundamental bisa terjadi tanpa harus melalui revolusi sosial. Melainkan transformasi ini merupakan sebuah proses yang ditandai dengan kelumpuhan orde sosial yang sedang berlaku untuk mereproduksi dirinya sendiri dan tampilnya lembaga-lembaga sosialis alternatif. Lembaga-lembaga sosialis yang dimaksud tampil diantaranya dalam bentuk upaya negara mengambil alih industri agar menjadi milik publik, penguasaan negara atas semakin banyak sumber daya berdasarkan kebutuhan (bukan keuntungan) dan perluasan demokrasi di tempat kerja dan komunitas lokal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *