Salah satu warisan penting pengalaman demokrasi pada periode Athena adalah gagasan tentang kewarganegaraan. Gagasan ini percaya setiap individu dapat menjadi warganegara yang terlibat aktif dalam kehidupan kenegaraan, tidak sebatas menjadi obyek perintah para penguasa. Sayangnya di abad pertengahan gagasan kewarganegaraan kalah bersaing dengan gagasan nonsekular homo credens yang sangat dipengaruhi tradisi berpikir agama Kristen.
Secara garis besar homo credens menolak ide warganegara yang aktif dan mengalihkan sumber kedaulatan dan kebijaksanaan dari warganegara atau philosopher king seperti yang diusulkan Plato ke lembaga atau kelompok dan individu tertentu yang menjadi wakil Tuhan di bumi. Dalam perkembangannya representasi Tuhan di bumi muncul dalam kekuasan gereja dan raja yang memerintah secara tak terbatas.
Gagasan homo credens karenanya membawa abad pertengahan dalam masa kelam despotisme dan absolutisme. Pemikiran yang menjadi basis bagi model protective democracy berangkat dari despotisme abad pertengahan. Inspirasi utama model ini berasal dari gerakan liberalisme abad itu, yakni sebuah gerakan oposisi menentang sistim politik yang tiranik dan absoluit sembari memperjuangkan kebebasan sipil.
Gerakan ini mengembalikan elan homo politicus dengan mempercayai ide hakhak alamiah dan kepentingan pribadi.
Secara garis besar model protective democracy melihat demokrasi sebagai alat untuk menjamin dan melindungi kebebasan sipil dari kekuasaan yang sewenang-wenang. Pemikiran generasi pertama model ini menghabiskan waktunya untuk menyelesaikan dilema antara might dan right. Tegasnya, penekanan pada kebebasan sipil berpotensi menciptakan anarki dan ketidaktertiban sosial. Namun sebaliknya upaya menciptakan orde social berpotensi mengancam kebebasan sipil.
Machiavelli dan Hobbes menyelesaikan persoalan ini dengan memberikan tekanan pada might. Sementara Locke dan Montesqieu menekankan kontrol atas kekuasan negara untuk menjamin perwujudan hak dan kebebasan sipil.
Locke diantaranya mengusulkan consent, partisipasi, rule of law dan division of power sebagai upaya mengontrol kekuasaan negara. Sedangkan inovasi Montesqieu yang sangat terkenal adalah ide tentang separation of power yang bertujuan menyeimbangkan tiga sumber kekuasan politik yang ada pada waktu itu; monarchy, aristocracy dan the people.
Sekalipun masih berkutat dengan dilema might dan right pemikir generasi berikutnya mengalihkan perhatiannya pada beberapa isu penting lainnya. Madison diantaranya menegaskan ancaman terhadap kebebasan sipil tidak selamanya berasal dari negara yang absolut tapi juga bisa berasal dari sesame warganegara. Bagi madison demokrasi dapat berubah menjadi trirani (mayoritas) terutama ketika hak-hak minoritas terpinggirkan oleh keputusan suara terbanyak.
Untuk itu Madison mengusulkan dua hal:
Pertama, representative government yang memungkinkan deliberasi dalam proses membuat kebijakan ketimbang suara mayoritas dan terpilihnya sekelompok elit yang memiliki kapasitas yang memadai untuk memimpin negara.
Kedua, Madison juga berbicara tentang extended republic. Sebuah gagasan tentang bentuk negara yang memungkinkan kontrol warganegara terhadap sebuah negara modern dengan birokrasi dan sistem administrasi yang kompleks.
Berbeda dengan ini semua adalah unilitarianisme Inggris. Bagi Mill dan Bentham hak-hak alamiah dan kebebasan sipil bukan faktor penting. Pada dasarnya manusia bertindak untuk memuaskan desire dan menghindari pain.
Demokrasi diperlukan karena model politik ini bisa menjamin desire dan menjauhkan manusia dari pain. Untuk itu Mill dan Bentham mengusulkan dua hal.
Pertama, kekuasaan negara perlu dibatasi melalui mekanisme pertanggungjawaban dan pemilu secara berkala.
Kedua, pemisahan yang tegas antara kehidupan publik yang diatur secara demokratis dan kehidupan privat yang tunduk pada prinsip-prinsip pasar bebas. Negara/demokrasi/kehidupan publik berfungsi untuk menjamin dan melindungi prinsip-prinsip laisse faire.