Saat ini, Indonesia tengah berada pada masa transisi menuju demokrasi, di satu sisi rezim lama yang otoriter telah disingkirkan, sementara di sisi lain rezim baru yang diharapkan demokratis tengah diperjuangkan.
Dalam masa transisi ini, idealnya harus diakhiri dengan terwujudnya demokrasi yang kokoh di negara tersebut. Dalam studinya di Amerika Latin dan Eropa Selatan, Juan J. Linz dan Alfred Stepan menyimpulkan bahwa demokrasi yang kokoh / terkonsolidasi (consolidated democracy) membutuhkan lima arena penopang sebagai berikut: (Linz dan Stepan, 1996:7-11)
1. Negara yang kuat yang memiliki kapasitas regulatif, ekstraktif dan disrributif secara sah (legitimate) sehingga hak-hak warga negara bisa dijamin dan dilindungi. Dengan demikian demokrasi yang kokoh membutuhkan Negara yang kuat, memiliki kapasitas yang memadai (contohnya jika di desa adalah pemerintah desa).
2. Masyarakat politik (political society), yaitu lembaga perwakilan dan pemilihan umum. Pemilu adalah arena kompetisi aktor-aktor politik untuk membentuk lembaga perwakilan yang punya hak untuk mengontrol kekuasaan publik dan aparatur negara (contoh : BPD/BAPERDES di desa).
3. Masyarakat sipil (civil society), yaitu arena politik di mana kelompok-kelompok sukarela, gerakan dan warga negara yang relatif otonom dari negara, mencoba mengartikulasikan nilai-nilai, menciptakan asosiasi-asosiasi dan solidaritas, serta memperjuangkan kepentingan rakyat. Elemen-elemen tersebut berusaha saling membangun jaringan dan saling membantu atas dasar prinsip saling menghargai, peradaban, kesetaraan, kebebasan dan persaudaraan (contohnya : kelompok arisan, organisasi peternak, kelompok keagamaan, LSM, dll).
4. Masyarakat ekonomi (economic society) yang mapan. Masyarakat ekonomi merupakan arena produksi dan distribusi yang dilakukan oleh pelaku dan organisasi ekonomi. Asumsi dari arena keempat ini adalah bahwa ada hubungan timbal balik antara demokrasi dan kemakmuran ekonomi masyarakat.
Pertumbuhan ekonomi harus ditopang dengan demokrasi yang kokoh dan sebaliknya demokrasi yang kokoh akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (contohnya adalah para pelaku ekonomi seperti pedagang, pengrajin, pengusaha, dll).
5. Rule of law atau konstitusionalisme, yang membatasi kekuasaan Negara (termasuk militer dan birokrasi) dan sekaligus menjamin hak-hak sipil warga negara maupun masyarakat sipil. Semua elemen dari negara haras tunduk pada konstitusionalisme sebagai sarana mempertegas konsensus pada konstitusi dan sekaligus sebagai pembatas kekuasaan mayoritas, sehingga bisa memberi jaminan atas hak-hak sipil warga negara.
Sebenarnya istilah masyarakat sipil sebagai terjemahan dari civil society hanyalali salah satu pemaknaannya, karena ada yang mengartikannya sebagai masyarakat madani dan masyarakat warga (INPI-Pact dan Lemhanas,1998:43).
Tulisan ini tidak akan membicarakan lebih jauh latar belakang dari ketiga terminologi tersebut, tapi lebih tertuju pada keharusan keberadaan elemen ini bagi terwujudnya demokrasi yang kokoh. Istilah masyarakat sipil akan digunakan di sini dengan penjelasan tentang civil society dari Linz dan Stepan sebagaimana disebutkan di atas serta pernaknaan oleh Cohen-Arato.
Jean L.Cohen dan Andrew Arato memaknai civil society sebagai suatu ruang interaksi sosial yang terletak di antara ekonomi dan negara, yang terdiri dari lingkungan kekerabatan, lingkungan organisasi/asosiasi (khususnya asosiasi sukarela seperti NGO/LSM), gerakan sosial, dan bentuk-bentuk komunikasi publik (televisi, radio,dan lain-lain). Masyarakat sipil modern didirikan dengan peraturan sendiri dan dijalankan sendiri / mandiri (IMPI-Pact dan Lemhanas,1998:50).
Berdasarkan pendapat Linz-Stepan serta Cohen-Arato, maka masyarakat sipil (civil society) dapat dimaknai sebagai organisasi di dalam masyarakat (di luar masyarakat politik dan masyarakat ekonomi), yang keberadaannya relative otonom dari negara serta memiliki code of conduct dan komitmen untuk melaksanakannya. Institusi lokal yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dapat digolongkan sebagai bagian dari masyarakat sipil.
Secara historis, sejak dulu institusi-institusi lokal telah ada dan berfungsi secara efektif di masyarakat. Namun, keberadaannya semakin surut sejalan dengan intervensi negara dalam bentuk penerapan administrasi birokrasi yang bertujuan mengontrol kegiatan masyarakat sampai wilayah administrasi terkecil di desa / kelurahan. Sebagai contoh, di desa dibentuk Karang Taruna, PKK, Dasa Wisma, LSD, LKMD, LMD, Kelompok Tani dan lain sejenisnya yangkeberadaannya kental dengan muatan politis dan justru menggusur keberadaan institusi lokal asli yang tumbuh dan berkembang berdasar kebutuhan dan kreativitas masyarakat desa.
Keinginan pemerintah untuk memfasilitasi kehadiran institusi baru di tingkat lokal sebenarnya juga tidak berarti salah, asalkan hal mi dimulai dengan penjajagan kebutuhan sehingga intitiisi baru itu benar-benar merupakan kebutuhan masyarakat dan sinergis dengan program pemerintah dalam pemberdayaan masyarakat lokal. Esman dan Uphoff menulis bahwa ada 3 bentuk organisasi lokal yang sebagian diantaranya masih ada campur tangan pemerintah.