Pendekatan ciri bawaan yang diuraikan di atas secara jelas menunjukkan adanya kelemahan yang mendasar. Ketika secara jelas dasar ciri bawaan tidak dapat dipergunakan dengan baik untuk menjelaskan fenomena kepemimpinan, para ahli kemudian mulai mengalihkan perhatiannya pada studi mengenai perilaku pemimpin.
Dasar utama pendekatan ini adalah hubungan antara manajemen dengan para pekerja. Dalam pendekatan manajemen tradisional, manusia dianggap malas dan tidak guiat. Oleh karena itu, fungsi dari manajemen adalah untuk memaksa, mengarahkan dan memotivasi para pekerja melalui suatu imbalan ekonomi (upah atau bonus).
Manajemen berusaha untuk mengurangi pemborosan waktu dan bahan material untuk mencapai efisiensi, tanpa ada suatu pertimbangan bahwa para pekerja juga merupakan suatu modal atau asset. Dengan kata lain, manajemen tradisional melihat pekerja itu pada dasarnya malas, tidak kreatif dan tidak bertanggung jawab, sehingga pemimpin memiliki kewajiban untuk mengarahkan dan memerintah.
Perkembangan pada pendekatan ini terjadi ketika studi tentang kelompok informal, pemimpin informal dan penekanan pada pentingnya hubungan informal dilakukan oleh Elton Mayo (Sharma, 1982:217). Studi itu menunjukkan bahwa hubungan interpersonal yang demikian memiliki sumbangan yang berarti pada produktifitas. Ini merupakan babak baru pada pendekatan ini, dimana di satu sisi terdapat penekanan pada hasil atau keluaran, sedangkan pada sisi yang lain, perhatian pada hubungan antar pekerja mulai mendapat perhatian pula.
Semua ini memberikan dasar bagi studi tentang kepemimpinan, yang dilakukan dengan menggunakan gaya kepemimpinan sebagai dasar yang penting. Dalam hal ini gaya kepemimpinan terdiri dari dua tipe, yang pertama yaitu gaya kepemimpinan yang diktatorial atau otokratis atau otoriter, dan yang kedua adalah gaya kepemimpinan yang demokratis atau konsultatif atau partisipatif atau gaya kepemimpinan yang memberi kebebasan atau tanpa kekangan.
Studi mengenai kepemimpinan ini menekankan pada pengaruh gaya kepemimpinan tertentu terhadap perilaku perorangan atau kelompok.
Pemimpin dengan gaya kepemimpinan yang diktatorial adalah pemimpin yang memiliki kewenangan mutlak dan menggunakan paksaan dan hukuman untuk memerintah para pekerja. Pemimpin dengan gaya kepemimpinan otoriter adalah pemimpin yang memakai cara lain untuk menggunakan kewenangan bagi kepentingan dirinya untuk memerintah atau memberi imbalan pada pera pekerja. gaya kepemimpinan otoriter ini menggunakan hubungan fromal sebagai sarana hubungan antara pemimpin dengan para pekerja.
Pemimpin dengan gaya kepemimpinan demokratis atau partisipatif adalah pemimpin yang memperhatikan pendapat para pekerja bawahannya dalam urusan organisasi, memberi arahkan dalam menghadapi masalah pekerjaan, secara emosional melibatkan dirinya dalam membantu pekerja untuk mencapai tujuan perorangan maupun tujuan organisasi. Pada gaya kepemimpinan yang bebas atau tanpa kekangan, pemimpin memberikan informasi kepada para pekerja, tetapi dengan keterlibatan emosi yang rendah dan tidak banyak terlibat dalam berbagai aktifitas yang dilakukan para pekerja.
Dari hasil studi ini nampak adanya beberapa hal yang bertentangan. Sebagai contoh, pemimpin dengan gaya kepemimpinan otoriter dan otokratik menghasilkan peningkatan produksi, tetapi mengabaikan unsur pekerja sebagai modal atau aset secara serius.
Dalam kasus pemimpin dengan gaya kepemimpinan yang demokratik, hasil yang diperoleh dalam produksi tidak setinggi pada gaya kepemimpinan otoriter atau otokratik, tetapi secara kualitas lebih baik dan masalahmasalah pekerja menjadi sangat berkurang.
Meskipun organisasi menghadapi masalah yang bertentangan, yaitu antara kenaikan hasil produksi dengan pengabaian unur manusia, atau sebaliknya memperhatikan unsur manusia tetapi hasil produknya tidak optimal, namun hasil akhir dari studi itu menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan yang demokratik merupakan gaya kepemimpinan yang dianggap paling tepat karena gaya kepemimpinan ini melibatkan para pekerja dalam pengambilan keputusan.
Dalam perkembangannya, pada pendekatan ini terdapat beberapa studi yang dilakukan untuk melihat fenomena kepemimpinan dari sudut perilaku pemimpinnya (Sharma, 1982:218-222). Beberapa studi yang dilakukan itu memang memberikan beberapa temuan baru, tetapi tetap saja terdapat beberapa kelemahan yang ditemui, Beberapa studi itu melihat bahwa tingkah laku pemimpin yang efektif ditandai oleh dipentingkannya prakarsa dan berbagai pertimbangan.
Sebaliknya, tidak efektifnya tingkah laku pemimpin jika prakarsa dan pertimbangan tidak dikedepankan. Kelemahan dari studi ini misalnya tidak dapat menjelaskan bahwa dalam organisasi angkatan bersenjata di masa perang, prakarsa yang dipentingkan, sedangkan berbagai pertimbangan tidak mendapatkan tempat yang penting.
Demikian pula halnya dengan regu pemadam kebakaran yang harus segera bertindak ketika terjadi kebakaran, dalam kasus ini, prakarsa lebih dipentingkan sedang pertimbangan kurang dipentingkan.
Secara umum pendekatan ini telah berupaya untuk menjelaskan fenomena kepemimpinan dari sisi perilaku pemimpin. Hal yang penting bagi pendekatan ini adalah apa yang dilakukan oleh pemimpin, bukan pada karakteristik perorangan dari pemimpin itu. Kesimpulan dari beberapa studi yang dilakukan dalam pendekatan ini masih memiliki beberapa kelemahan.
Dari apa yang dikemukakan pendekatan ini nampak bahwa pencarian bentuk atau tipe kepemimpinan yang efektif merupakan sesuatu yang tidak mudah dilakukan. apa yang oleh pendekatan ini dianggap gaya kepemimpinan yang terbaik, ternyata tidak selalu tepat jika diterapkan dalam suatu organisasi modern yang kompleks.
Jika suatu gaya kepemimpinan dianggap sebagai yang terbaik bagi setiap organisasi dalam semua tingkatan kegiatan, ini berarti telah mengabaikan faktor lain yang memiliki pengaruh penting, misalnya ciri-ciri dari para pekerja atau anggota organisasi, ciri-ciri dari kegiatan yang dilakukan, perbedaan budaya yang ada, perbedaan kebiasaan dan tradisi, tingkat pendidikan, kemampuan ekonomi dan sebagainya.
Suatu kepemimpinan tidaklah berada di dalam suatu ruang hampa dan kepemimpinan itu ditujukan untuk mempengaruhi tingkah laku orang lain. Ini berarti faktor situasi tidak dapat diabaikan dan dalam studi tentang fenomena kepemimpinan, tidak cukup hanya melihat karakteristik bawaan pemimpin dan tingkah lakunya, tetapi harus pula melihat bagaimana faktor situasi ini ikut menentukan kepemimpinan.