Lompat ke konten
Kategori Home » Ilmu Psikologi » Teori Konflik Realistik

Teori Konflik Realistik

  • oleh

Teori  ini  memandang  bahwa  terjadinya  kompetisi (biasanya  persaingan memperoleh sumber-sumber langka, seperti ekonomi dan kekuasaan) dan konflik antar kelompok dapat meningkatkan kecenderungan untuk berprasangka dan mendiskriminasikan anggota out group.

Kompetisi yang terjadi antara dua kelompok yang saling mengancam akan menimbulkan permusuhan dan menciptakan penilaian negatif yang bersifat timbal balik. Jadi, prasangka merupakan konsekuensi dari konflik nyata yang tidak dapat dielakan.

Judd dan Park (1988) menyatakan bahwa ketika kelompok ada dalam situasi kompetisi   maka   akan   memunculkan   efek   homogenitas  out   group,   yaitu kecenderungan untuk melihat semua anggota dari out groupadalah sama atau homogen semakin intensif.

LeVine dan Campbel (1972) menyebut kompetisi yang terjadi sebagai konflik kelompok yang realistik. Biasanya terjadi karena kedua kelompok bersaing untuk memperebutkan sumber langka yang sama.

Contoh dari teori konflik realistik adalah prasangka anti-Negro di Selatan (Amerika   Serikat)   yang  menyatakan   bahwa   penyebabnya   adalah   konflik kelompok yang realistis. Pada saat itu, di daerah Selatan relatif miskin, dan sangat tergantung pada perkebunan kapuk dan tembakau, serta industri yang relatif kecil. Ladang kerja sedikit dan jauh, sehingga kelas pekerja berdasarkan jenis kulit mengalami persaingan. Individu negro merupakan pekerja yang tidak terampil dan kurang terdidik berusaha memperebutkan ladang kerja yang langka itu dengan individu kulit putih yang pada dasarnya merupakan pekerja yang terampil dan terdidik.

Berdasarkan  teori,  konflik  yang  terjadi  antara  kedua  kelompok  tersebut menumbuhkan rasialisme dan menunjang timbulnya diskriminasi kerja terhadap individu Negro, karena individu kulit putih memiliki kekuatan ekonomi dan politik yang lebih besar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *