Dalam perkembangan berturut-turut sebagai teori-teori politik, juga perwujudan nasionalisme yang kontradiktif baik sebagai kekuatan liberal maupun iliberal harus dipahami sebagai sejarah kehidupan yang paralel atau kohabitasi ketimbang degenerasi atau suksesi. Dapat dikemukakan bahwa sebagai suatu doktrin, nasionalisme liberal memiliki usia yang samatuanya dengan liberalisme itu sendiri.
Dengan mengambil bahan dari prinsip-prinsip nasionalisme dan kemajuan Abad Pencerahan, nasionalisme menekankan keberadaan hak-hak dasar yang didasarkan atas hak-hak seseorang sebagai manusia. Namun demikian, hak-hak tersebut hanya bisa dinikmati dalam contoh pertama di dalam masyarakat sipil tertentu yang didasarkan pada hukum-hukum yang dapat dilaksanakan di dalam batas-batas wilayah yang ditentukan.
Dengan kata lain, liberalisme mengandaikan eksistensi atau pembentukan suatu negara-bangsa yang konstitusional, meskipun visi akhirnya adalah suatu masyarakat global yang terbentuk dari negara-negara semacam itu di mana semua manusia bisa hidup berdampingan secara damai dan bebas. Di dalam skema ini, nasionalitas yang muncul diidentifikasi terutama dari kenegaraan, kewarganegaraan, dan kebebasan universal, dan tidak berdasarkan identitas etnis, homogenitas rasial atau suatu sejarah tertentu.
Sejak akhir abad ke-18 sejumlah ilmuwan politik penting sudah memberikan kontribusi bagi penjelasan teoretis terhadap impian akan suatu tatanan dunia yang didasarkan pada hidup bersama yang damai dari bangsa yang liberal. Beberapa ilmuwan politik tersebut yang paling terkenal adalah Jean Jacques Rousseau (1712-1778), Immauel Kant (1724-1804), Jeremy Bantham (1748-1832), Richard Cobden (1804-1865), John Bright (1811-1889), dan Francieque Bouvet (1779-1971).
Namun demikian, seperti halnya dengan banyaknya isu dasar lainnya yang berhubungan dengan liberalisme, agaknya hanya J.S.Mill (1806-1873) yang menawarkan kepada mahasiswa kontemporer uraian pemikiran politik yang paling jelas dari pemikiran liberal tentang nasionalisme. Misalnya dalam sebuah esai yang ditulis pada tahun 1840, Mill menyerang “nasionalisme dalam pengertian yang vulgar” di mana yang ia asosiasikan dengan suatu ” antipati yang total terhadap orang asing dan acuh terhadap kesejahteraan umum serta ras manusia, atau suatu pilihan yang tidak adil dari kepentingan yang dianggap benar tentang negara kita sendiri.”
Meskipun demikian, Mill melihat nasionalitas sebagai “kondisi esensial dari stabilitas dalam masyarakat politik” ketika nasionalitas berisi “perasaan tentang kepentingan bersama di antara mereka yang hidup di bawah pemerintahan yang sama, dan berada dalam batas-batas alam dan historis yang sama”. Nasionalitas dalam pengertian ini dianggapnya sebagai hal yang krusial guna memungkinkan masyarakat “melewati masa-masa pergolakan tanpa melemahkan keamanan apapun juga bagi eksistensi yang damai.”
Sembilan tahun kemudian Mill merasa terdorong untuk mempertahankan Revolusi Paris Februari 1848 yang mengakhiri “monarki borjuis” Louis Philipe. Dengan melakukan itu, ia melibatkan diri dalam membicarakan isu mengenai putusan Lord Brougham di mana Mill mempermasalahkan apa yang dilihatnya sebagai sebab yang sesungguhnya dari penurunan takhta raja, yakni “prinsip, bahwa spekulasi baru dalam hak-hak negara merdeka, keamanan pemerintahan negara tetangga, dan bahkan kebahagiaan dari semua bangsa, yang disebut Nationalitas, diadopsi sebagai suatu jenis aturan bagi pembagian dominion”-sutu komentar yang menggarisbawahi keadaan terakhir konsep tentang kedaulatan rakyat hingga tahun 1948.
Namun demikian, sembari mempertahankan nasionalisme sebagai suatu arus utama liberalisme, Mill merasa perubahan hanya demi pembuktian yang disiapkan oleh revolusi-revolusi terakhir di Jerman dan Eropa Timur yang kadang-kadang bersifat “sentimen nasionalitas yang dibebani terlalu berat dengan kecintaan pada kebebasan sehingga orang ingin untuk bersekongkol dengan aturan mereka guna menghancurkan kebebasan dan kemerdekaan dari setiap orang yang tidak berasal dari ras dan bahasa mereka.” Mill kembali kepada topik tentang nasionalisme dalam suatu bab karya seminalnya tentang teori liberal, Consideration on Constitutional Government (1861) yang diberi judul Of Nationality, As connected With Representative Government.
Ini berisikan rumusan klasik tentang hak masyarakat untuk penetuan nasib sendiri. Di mana sentimen nasionalitas hadir dalam kekuatan apa saja, berlaku primsip prima facie dalam menyatukan semua anggota dari nasionalitas itu di bawah pemerintahan yang sama, dan sebuah pemerintahan bagi mereka yang terpisahpisah.
Ini hanya untuk mengatakan bahwa persoalan tentang pemerintahan seharusnya diputuskan oleh yang diperintah. Orang hampir tidak tahu apa pembagian ras manusia apakah sebenarnya dilakukan secara bebas atau ditentukan untuk dilakukan, dari berbagai badan kolektif dari umat manusia yang ada, manakah yang dipilih untuk mengasosiasikan diri mereka?
Bagaimanapun, istilah prima facie merupakan suatu kualifikasi penting karena Mill tidak berniat untuk menulis suatu cek kosong yang akan membiarkan gerakan kaum nasionalis yang mengangkat dirinya sendiri untuk mengkonstitusikan diri mereka sendiri sebagai sebuah negara. Beberapa paragraf kemudia ia tambahkan hal-hal penting bahwa jika “berbagai macam nasionalitas yang berbeda-beda menjadi begitu bercampur-campur aduk secara lokal sehingga tidak praktis bagi mereka untuk berada di bawah pemerintahan yang terpisah.
Tidak ada jalan yang terbuka bagi mereka untuk mengerjakan dengan suka hati apa yang harus dikerjakan, dan mendamaikan mereka sendiri untuk hidup bersama di bawah hak-hak dan hukum-hukum yang sama”. Mill juga memberikan sedikit sekali rasa belaskasihan kepada gerakan separatis” untuk bertumbuh dan berkembang dalam aliran ide dan perasaan tentang masyarakat yang sangat beradab dan terpelihara”, suatu penilaian yang ia terapkan kepada orang-orang seperti Bretons, Basques, Wets, orang-orang Skotlandia dan dengan pertimbangan tertentu, termasuk juga Irlandia.
Dalam esai yang sama, Mill menyesalkan kasus di mana suatu masyarakat yang maju diambil alih oleh suatu masyarakat yang kurang beradab, tetapi yang lebih banyak lagi, dalam suatu bagian yang oleh sebagian orang dianggap sebagai profetis, bahwa jika Rusia mengisap “setiap negara terkemuka di Eropa” maka “ia akan menjadi satu dari berbagai kemalangan yang paling besar di bunia ini”.
Seorang negarawan kontemporer yang mungkin mendukung sebagian besar refleksi Mill tentang nasionalisme, adalah Vaclav Havel (1936-), mantan Presiden Chekoslovakia dan sekarang Presiden Republik Chechnya. Penggunanaan puisi dan dramanya untuk menyerukan kebebasan dasar sudah membuatnya menjadi pembangkang paling terkenal di negara itu di bawah Soviet, dan stetlah Revolusi Velvet pada tahun 1989, ia mulai menjadi duta besar untuk penentuan nasib sendiri negaranya dengan semangat humanisme yang erat kaitannya dengan inti dari sejumlah penganjurnya pada Abad Pencerahan seperti Kant. la merumuskan dalil tentang visinya ketiak pada tahun 1991 ia menerima suatu gelar kehormatan dari Universitas Lehigh di Bethehem, Pennsylvania.
Dalam pidatonya, ia mengingatkan konsep tentang “negeri sendiri” (home) yang menekankan betapa pentingnya bagi suatu perasaan identitas dan tujuan pribadi. Di antara komponen-komponen penting dari negeri sendiri yang ia identifikasi ada kesadaran etnis dan nasional, yang dalam kasusnya bisa dibedakan ke dalam “ke-Cekoslovakia-an” .
Meskipun demikian, tema sentral pembicaraannya adalah menolak jenis nasionalisme yang dilihat Mill sebagai yang kemungkinan besar bisa menghancurkan kebebasan dan kemerdekaan orang lain. Bagi Havel, negeri sendiri harus digambarkan sebagai serangkaian lingkaran konsentris yang meluas dari tingkat lokal (keluarga, teman, gereja, profesi) sampai melampoi batas-batas negara (supranational) yakni Eropa, peradaban modern dan planet bumi secara keseturuhan. Satu-satunya landasan bagi perasaan identitas tingkat ganda ini adalah kedaulatan manusia yang “menemukan ekspresi politiknya dalam kedaulatan kewarganegaraan”.
Oleh karena itu saya tentu saja tidak ingin untuk merusak dimensi nasional dari identitas seseorang, atau menyangkalnya atau menolak untuk mengakui legitimasinya dan hak-haknya untuk realitas diri sepenuhnya. Saya hanya menolak jenis gagasan politik yang berusaha atas nama nasionalitas menindas aspek-aspek lain dari rumah manusia, aspek-aspek lain dari perikemanusiaan dan hak-hak asasi manusia.
Untunglah bahwa kebutuhan untuk berjuang dalam teori dan dalam praktik suatu nasionalisme telah melucuti etnosentrisme dan yang cocok dengan hak-hak asasi manusia universal belum menjadi kepedulian dari para fils:` humanistik atau senima-seniman pembangkang. Nasionalisme terletak pada inti yang paling dalam dari salah satu institusi dunia global yang paling penting, yakni PBB.
Deklarasi dan kebijakan-kebijakan yang teremanasi dari suatu arus yang cepat yang datang dari berbagai komponen organisasinya, semuanya diterangi oleh visi yang keluar dari suatu turun-naiknya perubahan menentang nasionalisme rasis yang memunculkan ketakutan terhadap Perang Dunia II. Inti dari visi ini adalah keyakinan bahwa semua masyarakat dunia pada dasarnya hidup berdampingan secara damai dan bekerja sama dalam meringankan penderitaan yang dibuat oleh manusia.
Dengan kata lain, mereka mencerminkan suatu komitmen (sekurangkurangnya dalam prinsip, meskipun dalam praktiknya ia sudah sering dikompromikan dengan kepentingan setempat dari negara-negara anggota) untuk suatu egalitarianisme radikat berdasarkan isu nasionalitas. Yang tipikal untuk hal ini adalah Dektarasi tentang Ras dan Prasangka Rasial 27 Nopember 1978 yang dikeluarkan oleh badan dunta UNESCO: “Perbedaan antara prestasi orang yang berbeda-beda secara keseluruhan dapat diatributkan pada faktor-faktor geografis, historis, politis, ekonomi, sosiat, dan kultural. Perbedaan semacam itu sama sekali tidak berlaku sebagai suatu datih bagi setiap klasifikasi peringkat bangsa-bangsa dan masyarakat.
Referensi :
Universitas Gadjah Mada