Lompat ke konten
Kategori Home » Arsitektur » Perkotaan dan Lingkungan

Perkotaan dan Lingkungan

  • oleh

Kota   merupakan   suatu   wilayah   administrasi   yang   ditetapkan   oleh pemerintah; kepadatan penduduknya tinggi; sebagian besar wilayah merupakan daerah terbangun dengan jalur lalu lintas dan transportasi; serta merupakan kegiatan  perekonomian  non  pertanian (Richardson, 1978).  Galion (1986) menyatakan bahwa kota merupakan konsentrasi manusia dalam suatu wilayah geografis  tertentu  dengan  mengadakan  kegiatan  ekonomi.  Dickinson  dalam Jayadinata (1992) mengungkapkan bahwa kota adalah suatu permukiman yang bangunan  rumahnya  rapat  dan  penduduknya  bernafkah  bukan  dari  hasil pertanian.

Kota-kota di Indonesia pada umumnya berkembang secara laissez-faire, tanpa dilandasi perencanaan menyeluruh dan terpadu. Kota-kota di Indonesia tidak betul-betul   dipersiapkan   atau   direncanakan   untuk   dapat   menampung pertumbuhan penduduk yang besar dalam waktu relatif pendek (Budihardjo dan Hardjohubodjo, 1993).

Royal Swedish Academy of Sciences (1995) menyatakan bahwa suatu kota berkelanjutan adalah: (1) mencakup aspek kultural, sosial dan ekonomi dari seluruh  lingkungan  urban-pedesaan; (2)  memberikan  manfaat  bagi  pelaku individual dalam masyarakat; (3) kriteria tersebut harus didefinisikan dalam kaitannya dengan kondisi lokal dan dibangun dengan partisipasi publik; (4) konservasi sumberdaya, menjaga keragaman hayati dan ekosistem; (5) mendukung kapasitas manusia untuk meningkatkan kondisinya; (6) menyediakan akses yang sama terhadap layanan untuk semua warga; (7) memprioritaskan opsi yang mensinergikan sosio-ekonomi dan  pencapaian lingkungan  (8) mendukung proses pembuatan keputusan yang demokratis; dan (9) menghormati ilmu pengetahuan dan kreativitas penduduk lokal.

Berkaitan dengan tataguna lahan perkotaan, Almeida (1998) melakukan penelitian  mengenai  pemahaman  dan  pemodelan  dinamik  tata  guna  lahan perkotaan  berkelanjutan.  Eksperimen  dilakukan  dengan  membangun  sebuah panduan metodologis untuk pemodelan perubahan tata guna lahan perkotaan melalui  metode statistik “pembobotan bukti”.

Variabel-variabel yang menjelaskan, dapat bersifat endogen (melekat di dalam sistem transformasi tataguna lahan) atau eksogen (di luar sistem). Variabelvariabel endogen berkaitan dengan ciri-ciri lingkungan alam dan buatan manusia maupun  berbagai  aspek  sosial  ekonomi  dari  sebuah  kota,  seperti  legislasi peruntukan  dan  legislasi  perkotaan;  prasarana  teknik  dan  sosial;  topografi; kawasan lindung/konservasi; pasar real estate; kesempatan kerja; adanya pusatpusat kegiatan yang terpolarisasi seperti mall, taman-taman tematik, tempat peristirahatan, dan seterusnya (Almeida, 1998). Djayadiningrat (2001)  mengungkapkan  pada  abad  kedua  puluh  satu keseimbangan lingkungan hidup alami dan lingkungan hidup buatan mengalami gangguan. Inilah yang dianggap awal krisis lingkungan akibat manusia sebagai

pelaku sekaligus menjadi korbannya. Berbagai fenomena terjadi akibat kesalahan yang dilakukan para pengelola kota dalam penataan ruangnya, dewasa ini dapat dilihat pada berbagai kota besar di Indonesia. Kesemrawutan tataruang kota dapat diamati dari aras (level) yang paling ringan hingga yang paling berat. Sebagai contoh, jeleknya fasilitas transportasi, kurangnya berbagai macam fasilitas, kurang lancarnya telekomunikasi, serta kurang memadainya air bersih dan prasarana umum lainnya.

Kebijakan lahan perkotaan termasuk perencanaannya merupakan salah satu faktor  eksogen  yang  mempengaruhi  keputusan  para  pengembang.  Tujuan kebijakan lahan perkotaan adalah untuk mempengaruhi kepemilikan lahan, harga dan tatagunanya, dan memanfaatkan nilai lahan sebagai salah satu dasar untuk memperoleh   dana   masyarakat.   Di   negara-negara   berkembang   yang pengendaliannya ditegakkan secara keras, ketersediaan lahan bagi perumahan untuk masyarakat miskin menciut, dan harga lahan meroket (Winarso, 2002).

Rahardjo (2003) dalam penelitiannya mengenai upaya pengendalian lahan diperkotaan mengungkapkan dengan semakin liberalnya ekonomi dan adanya desentralisasi pemerintahan yang berwujud otonomi memberikan kebebasan pada daerah untuk mengelola daerahnya sendiri. Sisi negatif dari kebijakan ini dapat berakibat pada terjadinya penurunan mutu lingkungan. Salah satu penyebabnya adalah tidak baiknya pengelolaan dan penggunaan lahan. Untuk mengurangi dampak   negatif   dari   pemanfaatan   lahan   maka   diperlukan   adanya   suatu penanganan terpadu yang melibatkan berbagai disiplin ilmu dan institusi terkait dengan lahan itu sendiri, baik pemerintah maupun swasta. Salah satu upaya untuk menghilangkan dan mengurangi dampak negatif adalah melalui manajemen lahan.

Selanjutnya Rahardjo (2003) mengemukakan kesalahan dalam manajemen lahan dapat mengakibatkan terjadinya degradasi lahan, berakibat tanah berubah menjadi  marjinal  yang  tidak  dapat  ditanami,  dan  rusaknya  ekosistem  alam. Kekuatan  yang  mendorong  degradasi  lahan  tersebut  antara  lain,  cepatnya pertambahan populasi, kebijakan ekonomi yang mengekploitasi sumberdaya alam secara berlebihan, dan dipercepat oleh buruknya manajemen pembangunan kota. Khusus bagi daerah perkotaan terbatasnya pasokan lahan, mengakibatkan lahan menjadi mahal sehingga mendorong para investor yang bergerak dalam sektor properti   mengkonversi   sawah,   situ,   dan   lahan   pertanian   menjadi   lahan perumahan.

Siahaan (2004) dalam kajiannya mengenai indeks konservasi lahan dalam pembangunan perumahan mengatakan bahwa adanya upaya mengambil jalan pintas untuk menguasai pangsa pasar perumahan yang tidak diikuti oleh kesadaran akan  adanya  bahaya  konservasi  lahan  dan  tidak  siapnya  aspek  pengelolaan kawasan mengakibatkan percepatan terhadap kerusakan lingkungan.

Permasalahan perkotaan hasil kajian Ionnides dan Rossi-Hausberg (2004) menunjukkan bahwa pertumbuhan perkotaan sebagai salah satu gejala ekonomi berkaitan dengan proses urbanisasi. Urbanisasi dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Kajian ruang kegiatan ekonomi yang diukur dengan populasi, output dan pendapatan, pada umumnya terkonsentrasi. Pola-pola konsentrasi variabelvariabel ekonomi dan demografi membentuk beberapa gejala ekonomi perkotaan.

Perpindahan penduduk secara besar-besaran dari pedesaan ke perkotaan  telah memicu berbagai pertumbuhan perkotaan di seluruh dunia.

Gejala lain adalah kecenderungan hilangnya ruang hijau akibat kurang jelasnya  kewenangan  pengaturan  dan  pemanfaatan ruang.  Selain  itu,  timbul berbagai macam kasus seperti taman yang merupakan paru-paru kota diubah fungsinya menjadi kawasan komersial seperti pompa bensin,  supermarketatau department store, yang mengakibatkan timbulnya berbagai masalah lingkungan.

Dampak    yang    ditimbulkan    sangat    menyedihkan,    mulai    dari ketidaknyamanan penduduk akibat kurangnya sarana dan prasarana lingkungan, kesengsaraan masyarakat akibat banjir, sampai masalah sosial, karena benturan berbagai kepentingan pemanfaatan lahan.

Degradasi lingkungan tidak dapat dibiarkan terus berlangsung. Salah satu jalan keluar untuk mengatasi degradasi lingkungan yang mengancam perkotaan adalah  upaya-upaya  penyusunan  tata  ruang  secara  terpadu  dan  berwawasan lingkungan. Penataan ruang tidak sekedar pengelolaan perubahan lingkungan binaan dan alam saja, melainkan sebagai upaya untuk penyelesaian berbagai benturan kepentingan yang berbeda.

Penelitian  mengenai  masalah  kebijakan  pembangunan  perkotaan  dalam kaitannya dengan lokasi  perumahan banyak diarahkan kepada upaya pemerintah kota  untuk  mengendalikan  aktivitas  pembangunan  perumahan  di  daerahnya sehingga dapat menunjang rencana induk pengembangan kota yang berkelanjutan. Kota yang nyaman huni adalah sistem perkotaan terpadu dengan dimensi sosial, ekonomi, budaya dan ekologi. Ada enam kendala kelembagaan yang dihadapi setiap pemerintah daerah dalam menciptakan kota nyaman-huni, yaitu: (1)  jurisdiksi yang terpecah-pecah; (2) kesinambungan politik yang buruk; (3) kerjasama antar pemerintah yang buruk; (4)  kerjasama lintas sektoral yang buruk; (5) ketidakselarasan budaya dan ideologi; dan (6) sistem pemerintah daerah yang lemah (Timmer dan Kate, 2006).

Pembangunan  perkotaan  harus  memperhatikan  konsep  berkelanjutan. Berkenaan dengan pembangunan kota berkelanjutan Timmer dan Kate (2006) mengajukan gagasan mengenai Inisiatif Kawasan Berkelanjutan (IKB).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *