Lompat ke konten
Kategori Home » Hukum » Pembuktian Perkara Perdata

Pembuktian Perkara Perdata

  • oleh

Salah satu tugas hakim adalah menyelidiki apakah hubungan yang menjadi dasar perkara benar-benar ada atau tidak. Hubungan ini yang harus terbukti di muka hakim dan tugas para pihak adalah memberi bahan-bahan bukti yang diperlukan hakim. Yang dimaksud dengan membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.

Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya. Sebab dalil-dali yang tidak disangkal, apalagi diakui sepenuhnya oleh pihak lawan tidak perlu dibuktikan. Selain itu juga hal-hal yang sudah lazim diketahui oleh umum (peristiwa notoir).

Hakim yang memeriksa perkara yang akan menentuKan siapa diantara para pihak yang harus membuktikan. Dalam menjatuhkan menjatuhkan beban pembuktian ini, hakim harus bertindak arif dan bijaksana serta tidak boleh berat sebelah. Semua peristiwa dan keadaan yang konkrit harus diperhatikan secara seksama oleh hakim yang memeriksa perkara.

Membuktikan suatu peristiwa mengenai adanya hubungan hokum adalah suatu cara untuk meyakinkan hakim akan kebenaran dalil-dalil yang menjadi dasar gugatan atau dalil-dalil yang dipergunakan untuk menyanggah tentang kebenaran dalildalil yang telah dikemukakan pihak lawan.

Hal-hal yang harus dibuktikan hanyalah hal-hal yang menjadi persengketaan (peristiwanya), yaitu segala apa yang diajukan oleh pihak yang satu, akan tetapi disangkal oleh pihak yang lain. Tentang masalah hukumnya tidak usah dibuktikan oleh para pihak, tetapi secara ex officio dianggap harus diketahui oleh hakim. Hakim terikat terhadap bukti-bukti yang diajukan para pihak dalam rangka pengambilan putusan.

Hakim bebas menilai pembuktian. Sebuah bukti dinilai lengkap dan sempurna apabila hakim berpendapat bahwa berdasarkan bukti yang telah diajukan, peristiwa yang harus dibuktikan itu dianggap sudah pasti dan benar.

Pasal 164 HIR menyebutkan bahwa alat bukti dalam perkara perdata terdiri atas :

1 ) bukti surat (tulisan);

2) bukti saksi;

3) persangkaan;

4) pengakuan, dan

5) sumpah.

Dalam praktek masih ada alat bukti yang sering digunakan hakim dalam mencari kebenaran akan sebuah peristiwa, yaitu:

1) pemeriksaan setempat (descente) dan

2) saksi ahli (expertise).

Alat bukti surat (tertulis) (Pasal 165-167 HIR)

Alat bukti surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikir seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.

Dalam perkara perdata, alat bukti ini merupakan bukti yang utama, karena dalam lalu lintas keperdataan seringkali orang dengan sengaja menyediakan suatu bukti yang dapat dipakai jika timbul suatu perselisihan, dan bukti itu lazim berupa tulisan.

Ada 3 macam surat sebagai alat bukti, yaitu :

1. Akta otentik

Akta otentik adalah surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang mempunyai wewenang untuk membikin surat itu, dengan maksud untuk menjadikan surat itu sebagai alat bukti. Pejabat umum ini adalah Notaris, Pegawai catatan Sipil, Jurusita, Panitera, pejabat KUA, dan sebagainya.

Akta otentik merupakan bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta orang yang mendapatkan hak daripadanya.

Dengan demikian, isi akta otentik oleh hakim dianggap benar, selama ketidakbenarannya tidak dapat dibuktikan. Terhadap pihak ketiga, akta otentik tidak mempunyai kekuatan bukti yang sempurna(bersifat bebas), melainkan hanya bersifat alat bukti yang penilaiannya diserahkan pada kebijaksanaan hakim.

Akta otentik mempunyai 3 macam kekuatan pembuktian. yaitu

1) kekuatan pembuktian formil, yaitu membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut;

2) kekuatan pembuktian materiil, yaitu membuktikan antara para pihak bahwa benar-benar peristiwa yang tersebut dalam akta tersebut telah terjadi, dan

3) kekuatan mengikat, yaitu membuktikan antara para pihak dan pihak ketiga, bahwa pada tanggal tersebut dalam akta yangbersangkutan telah menghadap kepada pegawai umum tadi dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.

2. Akta dibawah tangan

Akta dibawah tangan adalah suatu surat yang ditandatangani dan dibuat oleh para pihak sendiri, dengan maksud untuk dijadikan dari suatu perbuatan hukum, tanpa bantuan pejabat umum yang diberi wewenang untuk itu.

Akta dibawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, seperti akta otentik, jika isi dan tanda tangan dari akta tersebut diakui oleh orang yangbersangkutan. Terhadap pihak ketiga, akta dibawah tangan merupakan bukti yang bebas.

3. Surat biasa

Mengenai surat-surat lainnya yang bukan merupakan akta, dalam hukum pembuktian mempunyai nilai pembuktian bebas yang sepenuhnya diserahkan pada hakim. Dalam praktek, surat semacam ini sering digunakan untuk menyusun persangkaan.

Alat bukti saksi (Pasal 139-152, 168-172 HIR)

Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan membuktikan secara lisan pribadi oieh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara yang dipanggil di persidangan.

Yang dapat disampaikan dalam kesaksian hanyalah apa yang dilihat, didengar atau dirasakan sendiri dengan disertai alasan-alasan apa sebabnya atau bagaimana sampai diketahui hal yang diterangkan itu. Seseorang saksi dilarang menarik kesimpulan, karena itu adalah tugas hakim. Saksi yang akan diperiksa sebelumnya harus disumpah menurut agamanya dan berjani bahwa akan menerangkan yang sebenarnya.

Saksi yang sengaja memberikan keterangan palsu, dapat dituntut dan dihukum (Pasal 242 KUHP). Pasal 172 HIR memberi petunjuk kepada hakim agar dalam mempertimbangkan nilai kesaksian, memperhatikan benar cocok tidaknya keterangan-keterangan para saksi satu dengan yang lainnya tentang perkara yang diadilinya.

Dengan demikian, keterangan seorang saksi tanpa alat bukti lain dianggap tidak cukup (unus testis nullus testis). Dalam kesaksian dikenal istilah testimonium de auditu, yaitu keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain. Saksi ini tidak mendengar, melihat atau merasakan sendiri. Terhadap kesaksian seperti ini tidak mempunyai nilai pembuktian.

Pada asasnya setiap orang yang bukan salah satupihak dapat didengar sebagai saksi. Kewajiban menjadi saksi dapat dilihat dalam HIR maupun KUHPerdata. Saksi dapat dipaksa dan diancam dengan sanksi apabila tidak memenuhi kewajibannya sebagai saksi.

Namun demikian ada beberapa pengecualian, yaitu :

a. Ada golongan yang tidak mampu (dapat) menjadi saksi, dibedakan

1) tidak mampu secara mutlak

Hakim dilarang untuk mendengar mereka sebagai saksi, yaitu :

a). keluarga sedarah dan semenda menurut garis keturunan lurus salah satu pihak.

b). suami/istri salah satu pihak, meski sudah bercerai.

2). Tidak mampu secara relatip.

Mereka ini boleh didengar, akan tetapi tidak boleh menjadi saksi, yaitu

a). anak yang belum mencapai umur 15 tahun.

b). Orang gila, meski kadang ingatannya sehat.

b. Golongan orang yang atas permintaannya sendiri dibebaskan dari

1) kewajiban menjadi saksi, yaitu

saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-iaki dan perempuan dari salah satu pihak.

2) Keluarga sedarah menurut keturunan lurus dan saudara laki-laki dan perempuan dari suami atau istri salah satu pihak.

3) Mereka yang karena martabatnya. pekerjaan atau jabatan yang sah diwajibkan menyimpan rahasia.

Alat bukti persangkaan (Pasal 173 HIR).

Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dianggap terbukti atau peristiwa yang dikenal ke arah suatu peristiwa yang belum terbukti. Yang berhak menarik kesimpulan di sini adalah hakim atau undang-undang.

Menurut Pasal 173 HIR, persangkaan —persangkaan itu boleh diperhatikan oleh hakim, apabila persangkaan itu penting, seksama, tentu dan seuai satu dengan yang lain.

Persangkaan hakim sebagai alat bukti mempunyai kekuatan pembuktian bebas, yaitu diserahkan sepenuhnya pada kebijaksanaan hakim.

Alat bukti pengakuan (Pasal 174-176 HIR)

Pengakuan yang dilakukan di depan sidang memberikan suatu bukti yang sempurna terhadap siapa yang melakukannya. Artinya bahwa hakim harus menganggap dalil-dalil yang telah dikemukakan dan diakui itu adalah benar dan mengabulkan segala tuntutan atau gugatan yang didasarkan pada dalil-dalil tersebut. Pengakuan yang dilakukan di luar sidang mengenai penilaian kekuatan pembuktiannya bebas, yaitu diserahkan sepenuhnya kepada hakim.

Pengakuan yang disebut di atas adalah pengakuan murni, karena selain itu ada pengakuan tambahan, yang dibedakan :

a. Pengakuan dengan klausula

Yaitu suatu pengakuan yang disertai dengan keterangan tambahan yang bersifat membebaskan.

b. Pengakuan dengan kualifikasi.

Yaitu pengakuan yang disertai dengan sangkalan terhadap sebagian dari tuntutan. Baik pengakuan dengan kualifikasi maupun dengan klausula harus diterima bulat dan tidak boleh dipisah-pisahkan dari keterangan tambahannya. Pengakuan seperti ini sering disebut dengan pengakuan yang tidak boleh dipisah-pisahkan (onsplitsbaar aveu) dan diatur dalam pasal 176 HIR.

Selanjutnya pada bagian terakhir pasal di atas disebutkan bahwa larangan memisah-misahkan suatu pengakuan ini tidak berlaku alagi apabila tergugat dalam pengakuannya tadi guna membebaskan dirinya, telah mengajukan peristiwa yang ternyata palsu.

Alat bukti sumpah (Pasal 155-158 HIR).

Sumpah adalah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji dan keterangan dengan mengingat akan sifat Maha Kuasa daripada Tuhan dan percaya bahwa siapa yang memberikan keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oiehNYA. HIR membedakan 3 macam sumpah, yaitu

a. Sumpah supletoir?pelengkap (Pasal 155 HIR)

Sumpah supietoir adalah sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak guna melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa sebagai dasar putusannya.

Di sini perlu adanya pembuktian permulaan Iebih dulu, tapi bukti awal tersebut belum cukup, sehingga tanpa adanya bukti sama sekali, hakim dilarang memerintahkan diadakannya sumpah ini.

b. Sumpah aestimatoir/penaksir (Pasal 155 HIR).

Sumpah penkasir yaitu sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan sejumlah uang ganti kerugian. Sumpah ini Baru dapat dibebankan hakim apabila penggugat dapat membuktikan haknya atas ganti kerugian, tetapi jumlahnya belum pasti.

c. Sumpah decisoir/pemutus (Pasal 156 HIR).

Sumpah decisoir adalah sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak kepada lawannya.

Sumpah ini dapat dibebankan meskipun tidak ada pembuktian sama sekali dan dapat dilakukan setiap saat selama pemeriksaan di persidangan.

Pemeriksaan setempat (descente)

Dalam pemeriksaan terhadap benda tetap hakim sering mendapat kesukaran untuk mengajukan benda tersebut ke muka persidangan. Untuk memperoleh kepastian, maka persidangan harus dipindahkan ke tempat benda tersebut berada.

Yang dimaksud dengan pemeriksaan setempat adalah pemeriksaan mengenai perkara oleh hakim karena jabatannya yang dilakukan di luar gedung pengadilan, agar hakim dapat melihat sendiri memperoleh gambaran atau keterangan yang memberi kepastian tentang peristiwa yang menjadi sengketa.

Keterangan ahli (expertise)

Keterangan dari pihak ketiga untuk memperoleh kejelasan bagi hakim kecuali dari saksi dapat juga diperoleh dari keterangan ahli, yang dalam praktek disebut dengan saksi ahli.

Keterangan ahli adalah keterangan pihak ketiga yang objektif dan bertujuan untuk membantu hakim dalam pemeriksaan guna menambah pengetahuan hakim sendiri.

Laporan seorang ahli dapat diberikan secara lisan maupun tertulis yang diperkuat dengan sumpah. Siapa yang tidak boleh didengar sebagai saksi, tidak boleh didengar pula sebagai ahli.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *