Pembinaan di lingkungan peradilan menurut UU Nomor 14 Tahun 1970 ada dua macam, yaitu:
a. Pembinaan Teknis Peradilan oleh Mahkamah Agung
Pembinaan teknis peradilan (teknis yustisial) secara garis besar berkenaan dengan tugas-tugas pengadilan atau proses peradilan, yaitu dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya.
Oleh karena itu, pembinaan teknis ini berupa pengarahan terutama dalam penerapan hukum oleh para hakim, baik hukum substansial maupun hokum prosedural.
Pembinaan teknis oleh Mahkamah Agung dilakukan dengan berbagai jalur dan metode:
a. Melalui jalur penerbitan pedoman atau petunjuk dalam pelaksanaan tugas-tugas pengadilan.
Pembinaan ini dimuat dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung (PERMA), Keputusan Ketua Mahkamah Agung (KMA), Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), dan Surat Tuada Man Uldilag. Ini merupakan pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan, terutama untuk kelancaran jalannya peradilan.
b. Melalui jalur penyebaran himpunan yurisprudensi.
Dalam hal ini mahkamah Agung telah menyusun dan menerbitkan Edisi Putusan-putusan Pengadilan Agama Dalam Serial Yurisprudensi Indonesia.
c. Jalur lain melalui penataran dan lokakarya.
b. Pembinaan secara organisatoris, administratif dan finansial.
Pembinaan ini untuk masing-masing peradilan diserahkan kepada departemen yang membawahi masing-masing peradilan yang bersangkutan.
Sementara pembinaan Peradilan Agama dilakukan oleh Departemen Agama yang meliputi bidang organisasi, administrasi, dan keuangan. Sedangkan tugas pengawasan dilakukan terhadap jalannya peradilan, terutama dalam kegiatan teknis non yustisial, dan kegiatan administrasi murni. Di samping itu, pengawasan dilakukan terhadap perilaku hakim, baik di dalam lingkungan kedinasan maupun di luar kedinasan.
Dengan berlakunya UU Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU Nomor 14 Tahun 1970 pada 31 Agustus 1999, terjadi perubahan dalam pembinaan peradilan. Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) : “Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) secara organisatoris, administratif dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung”. Latar belakang “satu atap” tersebut adalah untuk menunjang kemandirian hakim.
Oleh karenanya secara bertahap dalam waktu paling lama 5 tahun akan berlangsung penyatuan lingkungan peradilan itu secara administratif, organisatoris dan finansial di bawah Mahkamah Agung. Namun khusus untuk Peradilan Agama dikecualikan, yaitu tidak ada ketentuan yang merupakan batas waktu sampai kapan proses penyatuan Peradilan Agama dengan
Mahkamah Agung harus sudah dilaksanakan (Pasal 11 A ayat (1) dan (2) UU Nomor 35 Tahun 1999). Oleh karenanya selama belum ada peralihan Peradilan Agama dari Depag ke MA, maka peradilan agama masih berada di bawah Depag. Hal ini berdasarkan Penjelasan Pasal 1 angka 2 ayat (2) UU Nomor 35 Tahun 1999 yang menentukan :
“Selama belum dilakukan pengalihan, maka organisasi, administrasi dan finansial bagi Peradilan Agama masih tetap berada di bawah kekuasaan Depag”