Lompat ke konten
Kategori Home » Arsitektur » Paradigma Post-Modernism

Paradigma Post-Modernism

  • oleh

(Bagian ini banyak mengutip secara langsung dari Josef Prijotomo yang menterjemahkan buku Theorizing A New Agenda For Architecture karangan Kate Mesbitt, 1996).

Fenomenologis

Fenomenologis sebagai aliran filsafat ini sering dikatakan sebagai dasar dan landasan bagi post-modernisme dalam bersikap terhadap tapak, tempat (place), landscape, dan perbuatan arsitektur. Ahli-ahli teoritisi di era post-modernisme menggunakan fenomenologi “investigasi yang seksama atas kesadaran beserta segenap obyeknya”. Merupakan obyek kajian para teoritisi tentang ketersambungan antara arsitektur dengan tubuh manusia. Beberapa teoritisi yang melakukan kajian terhadap fenomenologi arsitektur diantaranya : Husserl, dengan dasar pekerjaan fenomenologinya adalah “investigasi yang seksama atas kesadaran beserta obyeknya”. Martin Heidegger, dengan kajian fenomenologinya yang sangat penting untuk diketahui adalah “bangunan (building) itu berbeda dengan hunian (dwelling). Hunian menurut Heidegger mengandung makna “tinggal bersama benda” [dengan mengakui benda sebagai sebuah eksistensi, dan disini dimasukan golongan benda itu – catatan Josep Prijotomo]. Heidegger juga meyakini bahwasanya bahasa membentuk pikiran-pikiran manusia, sedangkan pikiran dan puitika menjadi tuntutan bagi hadirnya hunian. Christian Norberg-Schultz, dengan melakukan penafsiran terhadap fenomenologi Heidegger. Mengatakan potensi yang dimiliki oleh arsitektur adalah dalam mendukung keberadaan dan kehadiran dari hunian (dwelling). Norberg-Schultz memang diakui sebagai pendekar utama dari fenomenologi arsitektur, yang memiliki kepedulian yang tinggi tentang “konkretasi yang eksistensial” melalui pembuatan tempat (palce). Juhanni Pallasmo, banyak menyoroti aprehensi psikis dari arsitektur. Karena itulah dia berbicara tentang „membuka cakrawala pandangan terhadap realitas kedua dari persepsi, mimpi, kenangan yang terlupakan dan imajinasi‟.

Linguistik

Restrukturisasi yang berlangsung dalam paradigma linguistik telah memberikan efeknya bagi kepedulian post-modern terhadap kritik kebudayaan. Semiotika, Strukturalisme, serta Post-Strukturalisme tertentu (termasuk Dekonstruksi) telah mengubah bangun dari (demikian) banyak disiplin pengetahuan, termasuk susastra, filsafat, antropologi dan sosiologi. Pardigma-paradigma baru yang membanjir ditahun 1960-an ternyata sejalan pula dengan menggejolaknya perhatian dunia arsitektur dalam menghadirkan kembali makna dan simbolisme. Para arsitek melakukan kajian bagaimanakah makna “dibawa” oleh bahasa dan mengaplikasikan kajian itu, para arsitek melakukan kajian itu kedalam arsitektur, dengan melalui jalur „analogi linguistik‟. Dalam kajian itu, para arsitek mempertanyakan misalnya, sejauh manakah arsitektur itu bercorak kesepakatan (convention) itu mampu memahami bagaimanakah kesepakan itu menghasilkan makna. Dalam menetang fungsionalisme modern sebagai sebuah „determinant of form‟, dari sisi tinjauan linguistik dikatakan bahwa obyek-obyek arsitektur itu tidak memiliki makna yang inheren. Makna itu dikembangkan dalam arsitektur melalui kesepakatan budaya (cultural convention).

Semiotika

Teori linguistik diperlukan oleh post-modern dalam penciptaan dan respsi (reception) makna. Dengan menempatkan sebagai sebuah sistem yang tertutup, semiotika dan strukturalisme telah banyak berurusan dengan bagaimanakah bahasa itu berkomunikasi?. Sebagai sebuah sistem tanda (sign) yang memiliki dimensi tata susunan (structure) (syntactic) dan dimensi makna (meaning) (semantic), semiotika atau semiologi melakukan pengkajian bahasa dengan ancangan/pendekatan (approach) yang ilmiah. Disini pertalian-pertalian struktural mengikat tanda dengan komponen-komponennya (signifier/signified) bersama-sama. Pertalian sintaktik adalah pertalian diantara tanda-tanda. Pertalian semantik yang berurusan dengan makna, yakni pertalian antara tanda-tanda dengan obyek yang disuratkannya (di-denotai-nya). Beberapa asas penting telah dilontarkan oleh Pierce maupun Ferdinand Saussure. Sumbangan penting dari semiotika/logi diantaranya adalah pertama, bahasa dikaji secara sinkronik; kedua, tanda (sign) dalam pengertian linguistik adalah sebuah pertalian struktural dari penanda (signifier) dengan tertanda(signified). Tentu saja, tidak boleh dilupakan adalah gagasan yang mengatakan “bahasa adalah sebuah sistem istilah/sebutan yang interdependen dimana nilai dari setiap istilah/sebutan yang lain” [istilah/sebutan=term – catatan Josef Prijotomo). Semenjak 1960-an, penerapan teori semiotik ini mampu memasuki disiplin arsitektur. Disini dapat dimunculkan, misalnya saja, pandangan dari Umberto Eco yakni: Arsitektur dapat dipelajari sebagai sebuah sistem semiotik mengenai per-tanda-an (signification). Tanda arsitektural (morpheme) mengkomunikasikan fungsi yang memungkinkan (possible functional) melalui sebuah “sistem sepakatan (convention) dan sistem aturan (code). Tanda (arsitektural) mendenotasikan fungsi primer dan mengkonotasikan fungsi sekunder, bila yang dilakukan disini adalah penerapan literal dari fungsi-fungsi programatik.

Ringkasnya semiotika merupakan jalan yang dapat ditempuh oleh arsitektur dalam pengkajian arsitektur sebagai sebuah medan kegiatan memproduksi pengetahuan (arsitektur).

Strukturalisme

Strukturalisme merupakan metoda kajian yang meyakini bahwa “hakekat yang benar dari sesuatu benda tidak berada didalam benda itu sendiri, tetapi didalam pertalian-pertalian diantara benda-benda itu, yang kita bangun (construct) untuk kemudian kita cerap (percieve). Strukturalisme juga mengatakan bahwa dunia kita ini adalah jagad ke-bahasa-an, yakni sebuah struktur pertalian penuh makna diantara berbagai tanda arbiter. Dengan demikian, strukturalis menekankan bahwa didalam sistem linguistik itu yang ada hanyalah perbedaan-perbedaan, tanda istila/sebutan yang positif. Strukturalisme memusatkan perhatian pada aturan (code), sepakatan dan berbagai proses yang bertanggung jawab terhadap inteligibilitasnya (inteligibility). Dengan kata lain, memusatkan perhatian pada “bagamanakah sebuah makna sosial diproduksi”. Sebagai sebuah metoda, strukturalisme tidak berurusan dengan kandungan-kandungan tematik pertandaan, tetapi dengan kondisi-kondisi pertandaan. Strukturalisme itu bercorak lintas disiplin (cross diciplinary) walaupun akarnya adalah linguistik dan antropologi. Daya tarik strukturalisme bagi arsitektur dapat ditunukan dari kutipan “strukturalis menempatkan linguistik sebagai sebuah model dan berusaha untuk mengembangkan „tata-bahasa‟ himpunan yang sistematik atas unsur-unsur beserta segenap kemungkinan kombinasinya yang akan menentukan wujud dan makna dari suatu karya susastra”.

Post-Strukturalisme

Perbedaan antara strukturalisme dan post-strukturalisme dapat ditunjukan lewat pernyataan Hal Foster. Kalau strukturalisme berurusan dari stabilitas dari komponen-komponen tanda, maka post-strukturalisme bekerja dengan kelumatan kontemporer tanda-tanda dan terbebaskannya permainan penanda-penanda (contemporary dissolution of sign and the released play of signifiers). Memang, Rolan Barthes menunjukan bahwa penanda itu memiliki potensi untuk melakukan permainan bebas (free play) dan penundaan tanpa kahir (endless defferal) atas makna-makna. Potensi ini dapat dilihat dari mata rantai metafora yang tak berhingga banyaknya. Post-strukturalisme memang boleh saja ditempatkan sebagai kritik terhadap tanda-tanda. Lihat saja pertanyaan yang dilotarkannya “apakah tanda itu memang benar hanya terdiri dari dua bagian (penanda dan tertanda), ataukah dia juga bergantung pada kehadiran dari penanda lain yang tidak digandeng oleh tanda tadi (mengingat penanda lain itulah yang menentukan adanya perbedaan-perbedaan tanda)” [lihat sja contoh kasus bendera merah putih bendera Monaco dan bendera Indonesia. Adakah perbedaan dari Monaco dan Indonesia yang menjadikan merah putihnya Monaco bukanlah merah putihnya Indonesia. –catatan Prijotomo]. Terry Eagleton lantas mengatakan bahwa strukturalisme membagi tanda dari sisi pengacu (referent – the object refered to), sedang post-strukturalisme melangkah lebih lanjut, yakni membagi penanda dan tertanda yang masing-masing adalah sebuah entitas mandiri. Akibatnya, makna-makna tidak dengan serta merta hadir dalam sebuah tanda. [makna itu dihadirkan – catatan Josef Prijotomo].

Dekonstruksi

Dekonstruksi merupakan salah satu manifestasi post-strukturalisme yang paling benar (significant). Sebagai sebuah praktek filsafat dan linguistik, dekonstruksi melakukan pengamatan kritis terhadap dasar-dasar pemikiran logo-centrisme maupun disiplin-disiplin pengetahuan/keilmuan seumumnya.

Derrida mengatakan: “dekonstruksi menganalisa dan mempertanyakan segenap pasangan-pasangan konseptual (conceptual pairs) [betul/salah, elite/proletar-jp] yang selama ini diterima sebagai kenyataan yang alamiah dan tak perlu penjelasan karena sudah jelas, sepertinya pasangan konseptual itu tak pernah dilembagakan pada suatu waktu yang tertentu…. karena sudah dipandang cukup jelas, tidak disadari bahwa pasangan konseptual ini menghalangi/mengharamkan kegiatan memikirkan kegiatannya. Dekonstruksi cukup sopan santun dalam bekerja.

Dia memulai kerjanya diarah pinggiran (margin) sebuah teks/karya untuk selanjutnya melakukan eksposisi (memamerkan) dan menyingkapkan tabir pembungkus (dismantle) sehingga terkuak dan terlihatlah segenap oposisi dan kerawanan dari anggapan-anggapan yang dipakai untuk menstrukturkan teks/karya itu. Setelah terkuak dan tersingkap, dekonstruksi lalu masuk gelanggang mengambil alih posisi sebagai sebuah sistem. Bagaimana dia mengambil posisinya? Dengan menggelar apa yang oleh sejarah (dari disiplin pengetahuan yang ditangani) telah disembunyikan atau disingkiran agar disiplin tadi memperoleh identitasnya. Maksud dari dekonstruksi dlam bertindak seperti itu adalah untuk menggeser dan mengambil alih posisi kategori-kategori filosofikal yang biner (berpasang-pasangan), misalnya pasangan absen/hadir (absen/presence).

Pasangan-pasangan biner yang hierarkies itu tidak dilihat sebagai persoalan dalam posisi yang terisolasi atau teriteral (pinggiran), tetapi dalam posisi yang sistemik dan represif. Disitu Derrida lalu mengatakan bahwa tujuan dari arsitektur adalah mengontrol komunikasi dan transportasi sebagai sektor kemasyarakatan, termasuk ekonomi. Memang dekonstruksi adalah bagian dari kritik post-modern yang tujuan akhirnya adalah mengakhiri dominasi dari rencana-rencana arsitektur modern.

Lebih lengkap tentang pemahaman dan perspektif baru arsitekturnya Jacques Derrida : Tidak ada yang mutlak dalam arsitektur (cara, gaya, konsep) Tidak ada tokoh atau figur dalam arsitektur. Perkembangan arsitektur harus mengarah pada keragaman pandangan dan tata nilai. Disamping penglihatan, indera lain harus dimanfaatkan secara seimbang. Arsitektur tidak identik dengan produk bangunan bisa berupa : ide, gambar, model, dan fisik bangunan dalam jangkauan aksentuasi yang berbeda.

Gagasan dekonstruksi Jacques Derrida (sastra dan filsafat) dikembangkan dalam arsitektur oleh Peter Eisenman dan Bernard Tschumi sebagai teori dan praktek arsitektur yang berciri penyangkalan terhadap epistemologi arsitektur klasik dan modern dan prinsip perancangannya non klasik, dekomposisi, desentring, dislokasi dan diskontinuitas. Post-modernisme juga ditandai oleh pendalaman dan pemekaran paradigma-paradigma teoritik ataupun oleh kerangk-kerangka kerja ideologikal yang kesemuanya itu membentuk kerangka (struktur/structure) dari debat-debat tematik dari dan tentang Post-Modernisme. Paradigma-paradigma ini di import di luar arsitektur. Paradigma-paradigma utama yang mampu membentuk teori-teori arsitektur pada masa post-modernisme, diantaranya adalah paradigma fenomenologi dan paradigma linguistik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *