Dunia yang dibentuk secara sosial itu adalah suatu penertiban pengalaman (ordering of experience). Suatu tertib yang berarti atau nomos, dikenakan kepada pengalaman-pengalaman dan arti-arti yang tak terhubung yang terpisah-pisah. Presu posisi dalam hal ini seperti telah dikatakan terletak dalam konstitusi biologis manusia.
Manusia secara biologis tidak memiliki mekanisme penertiban (pengalaman) dalam binatang mekanisme tersebut sudah dibawa sejak lahir. Maka manusia terpaksa hams menertibkan pengaamannya. Sosialisasi manusia mengandalkan sifat kolektif dari kegiatan menertibkan ini. Penertiban pengalaman selalu ada dalam segala macam interaksi sosial.
Setiap tindakan sosial mengimplikasikan bahwa suatu arti individu diarahkan kepada orang lain dan interaksi sosial yang berjalan terus mengimplikasikan bahwa beberapa arti diintegrasikan kedalam tertib arti yang umum. Namun kelirulah bila kita menganggap bahwa sebagai konsekuensi penertiban interaksi sosial, maka sejak permulaan dapat dihasilkan suatu nomos yang dapat mencakup segala pengalaman dan arti yang terpisah-pisah dari individu-individu yang ambil bagian. Bila kita membayangkan suatu masyarakat awal mula (sesuatu yang secara empiris tidak mungkin), kita dapat tabu bahwa lingkup nomos semakin berkembang karena interaksi sosial semakin mencakup lingkungan yang labih luas.
Sebagaimana tidak ada sosialisasi total, demikian pula tidak ada nomos yang mencakup segala arti dan pengalaman yang bisa menertibkan segala pengalaman (arti-arti). Selalu ada pengalaman dan arti-arti yang ada diluar nomos (tertib) yang umum.
Dunia sosial membentuk suatu nomos (tertib) baik secara obyektif maupun subyektif. Nomos obyektif terbentuk oleh proses obyektif. Fakta Bahasa dapat dipandang sebagai pemasangan tertib atas pengalaman. Bahasa menertibkan dengan memaksa defrensiasi dan struktur pada gerak pengalaman yang terns menerus. Bila suatu pengalaman diberinama IPSO FAKTO pengalaman ini ditarik dari aliran pengalaman dan menjadi stabil. Kemudian bahasa memberikan tertib hubungan yang asasi dengan menambahkan sintaxsis dan gramatika kepada pembendaharaan kata. Tidak mungkin menggunakan bahasa tanpa ambil bagian dalam tertib bahasa.
Tindakan menertibkan mula-mula adalah mengatakan sesuatu butir adalah ini jadi bukan itu. Butir itu dipersatukan dalam tertib yang mencakup butir-butir lainnya. Butir itu diberi petunjuk linguistik yang lebih tajam lagi (butir ini laki-laki dan bukan perempuan, tunggal dan bukan jamak, kata Benda dan bukan kata kerja, dan sampai tercapai semua butir yang lebih komprehensif.
Atas dasar bahasa dan dengan melalui bahasa dibentuk suatu tats susunan kognitif dan normatif. Tiap masyarakat memaksakan suatu tertib interpretasi atas pengalaman, ini menjadi pengertian /pengetahuan obyektif melalui proses obyektivasi seperti telah dibicarakan dimuka. Hanya sebagian saja terjadi dengan teori-teori, meskipun pengetahuan teoritis itu penting pula terutama karena memuat interpretasi atas realitas yang ” resmi “.
Sebagian besar dari pengetahuan yang secara sosial diobyektivasi adalah pra teoritis ini terdiri dan skema-skema interpretatif, patokan moral dan kumpulan “kebijaksanaan ” tradisional. Bagimana variasinya, tiap masyarakat menyediakan bagi anggota-anggotanya suatu kelompok “pengetahuan”. Ambil bagian dalam masyarakat berarti ambil bagian dalam tertib masyarakat/ nomos.