Lompat ke konten
Kategori Home » Sosial Politik » MOTIF KOGNITIF DALAM KOMUNIKASI MASSA

MOTIF KOGNITIF DALAM KOMUNIKASI MASSA

  • oleh

Motif kognitif menekankan kebutuhan manusia akan informasi dan kebutuhan untuk mencapai tingkat ideasional tertentu. Motif afektif menekankan aspek perasaan dan kebutuhan mencapai tingkat emosional tertentu.

Dengan mengacu pada table dibawah ini, Kita akan mulai dengan berbagai motif kognitif terlebih dahulu.

MATRIKS PARDIGMA MOTIVASI MANUSIA

Pada kelompok motif kognitif yang berorientasi pada pemeliharaan kesimbangan, McGuire menyebut empat teori: konsistensi yang menekankan kebutuhan individu untuk memelihara orientasi eksternal pada lingkungan. Teori kategorisasi yang menjelaskan upaya manusia untuk memberikan makna tentang dunia berdasarkan kategori internal dalam diri kita; dan teori obyektivikasi yang menerangkan upaya manusia untuk memberikan makna tentang dunia berdasarkan hal-hal eksternal.

Teori Konsistensi – yang mendominasi penelitian psikologi soaial pada tahun 1960an – memandang manusia sebagai makluk yang dihadapkan pada berbagai koriflik. Konflik itu mungkin terjadi di antara beberapa kepercayaan yang dimilikinya (seperti antara merokok itu merusak kesehatan” dan merokok itu membantu proses berpikir”), atau di antara beberapa hubungan sosial Seperti “saya menyukai Diah”, “Diah membenci Amir”, sedangkan “Saya menyukai Amir”), atau diantara pengalaman masa lalu dan masa kini.

Dalam suasana konflik, manusia resah dan berusaha mendamaikan konflik itu dengan sedapat mungkin mencari kompromi. Kompromi diperoleh dengan rasionalisasi (“Tetapi rokok yang saya isap sudah disaring filter”), atau melemahkan salah satu kekuatan penyebab konflik (“Saya tidak begitu senang pada Amir”). Dalam hubungan ini komunikasi massa mempunyai potensi untuk menyampaikan informasi yang menggoncangkan kestabilan psikologis individu.

Tetapi, pada saat yang sama, karena individu mempunyai kebebasan untuk memilih isi media, media massa memberikan banyak peluang untuk memenuhi kebutuhan akan konsistensi. Sikap politik tertertu yang bertabrakan dengan kenyataan dapat diperkokoh oleh pemberitaan surat kabar yang sepihak. Media massa juga menyajikan berbagai rasionalisasi, justifikasi, atau pemecahan persoalan yang efektif. Komunikasi massa kadang-kadang lebih efektif daripada komunikasi interpersonal, karena melalui media massa orang menyelesaikan persoalan tanpa terhambat oleh gangguan seperti yang terjadi dalam situasi komunikasi interpersonal.

Teori atribusi yang berkembang pada tahun 1960an dan 1970an memandang individu sebagai psikolog amatir yang mencoba memahami sebab-sebab yang terjadi pada berbagai peristiwa yang dihadapinya. Ia mencoba menemukan apa menyebabnya apa, atau apa yang mendorong siapa melakukan apa.

Respons yang kita berikan pada suatu peristiwa bergantung pada interpretasi kita tentang peristiwa itu. Kita tidak begitu gembira dipuji oleh orang yang – menurut persepsi kita- menyampaikan pujian kepada kita karena ingin meminjam uang. Kita sering dipuji oleh orang asing yang – menurut persepsi kita memberikan pujian yang obyektif.

Kita semua memiliki banyak teori tentang peristiwa-peristiwa. Kita senang bila teoriteori ini “terbukti” benar. Komunikasi massa memberikan validasi atau pembenaran pada teori kita dengan penyajian realitas yang disimplifikasikan, dan didasarkan stereotip. Media massa sering menyajikan kisah-kisah-fiktif atau aktual- yang menunjukkan bahwa yang jahat selalu kalah dan kebenaran selalu menang. Beberapa kelompok yang mempunyai keyakinan yang menyimpang dan norma yang luas dianut masyarakat akan memperoleh validasi dengan membaca majalah atau buku dan kelompoknya.

Orang-orang lesbian atau homoseks yakin perilakunya bukanlah penyimpangan karena membaca buku dan majalah yang mendukungnya. Teori kategorisasi memandang manusia sebagai makhluk yang selalu mengelompokkan pengalamannya dalam kategorisasi yang sudah dipersiapkannya.

Untuk setiap peristiwa sudah disediakan tempat dalam prakonsepsi yang dimilikinya. Dengan cara itu individu menyederhanakan pengalaman, tetapi juga membantu mengkoding pengalaman dengan cepat. Menurut teori ini orang memperoleh kepuasan apabila sanggup memasukkan pengalaman dalam kategori-kategori yang sudah dimilikinya, dan menjadi kecewa bila pengalaman itu tidak cocok dengan prakonsepsinya.

Pandangan ini menunjukkan bahwa isi komunikasi massa, yang disusun berdasarkan alur-alur cerita yang tertentu, dengan mudah diasimilasikan pada kategori yang ada. Bermacam-macam upacara, pokok dan tokoh, dan kejadiankejadian biasanya ditampilkan sesuai dengan kategori yang sudah diterima. Ilmuwan yang berhasil karena kesungguhannya, pengusaha yang sukses karena bekerja keras, dan proyek-proyek pembangunan yang menyejahterakan rakyat adalah contoh-contoh peristiwa yang memperkokoh prakonsepsi bahwa kerja keras, kesungguhan, dan usaha melahirkan manfaat.

Teori obyektifikasi memandang manusia sebagai makhluk yang pasif, yang tidak berfikir, yang selalu mengandalkan petunjuk-petunjuk eksternal untuk merumuskan konsep-konsep tertentu. Teori ini menyatakan bahwa kita mengambil kesimpulan tentang diri kita dan perilaku yang tampak. Kita menyimpulkan bahwa kita menyenangi satu acara radio karena kita selalu mendengarkannya.

Penelitian Schacter, misalnya, membuktikan bahwa rangsangan emosional yang sama dapat ditafsirkan bermacammacam bergantung pada faktur situasi. Teori objektifikasi menunjukkan bahwa terpaan isi media dapat memberikan petunjuk kepada individu untuk menafsirkan atau mengidentifikasi kondisi perasaan yang tidak jelas, untuk mengatribusikan perasaanperasaan negartif pada faktor-faktor eksternal, atau memberikan kriteria pembanding yang ektrem untuk perilakunya yang kurang baik.

Untuk contoh yang terakhir kita dapat menyebutkan seorang pegawai yang merasa tidak begitu bersalah ketika ia menyelewengkan uang kantor setelah mengetahui peristiwa korupsi besar-besaran yang dilakukan orang lain.

Keempat teori di atas (konsistensi, atribusi, kategorisasi, dan objektifikasi) menekankan aspek kognitif dan kebutuhan manusia, yang bertitik tolak dan individu sebagai makhluk yang memelihara stabilitas psikologisnya. Empat teori kognitif brikutriya- otonomi, stimulasi, teori teleologis, dan utilitarian- melukiskan individu sebagai makhluk yang berusaha mengembangkan kondisi kognitif yang dimilikinya.

Teori otonomi, yang dikembangkan oleh psikolog-psikolog mazhab humanistik, melihat manusia sebagai makhluk yang berusaha mengaktualisasikan dirinya sehingga mencapai identitas kepribadian yang otonom. Dalam kerangka teori ini, kepribadian manusia berkembang melewati beberapa tahap sampai ia memiliki makna hidup yang terpadu. Secara sepintas, komunikasi massa tampaknya sedikit sekali memuaskan kebutuhan humanistic ini. Acara televisi atau isi surat kabar tidak banyak membantu khalayak untuk menjadi orang yang mampu mengendalikan nasibnya.

Tetapi, dengan mengikuti peristiwa-peristiwa yang aktual yang terjadi diseluruh dunia, orang mungkin merasa ikut serta dan terlibat dalam hal-hal yang lebih besar daripada dirinya. Pengetahuan tentang kejadian-kejadian memberikan ilusi kekuasaan. Hal-hal factual yang disajikan media mengembangkan minat individu dan memberikan tema yang bersifat memadukan berbagai gejala dan kesempatan untuk beridentifikasi dengan gerakan yang mengatasi peristiwa-peristiwa personal.

Pahlawan-pahlawan dalam cerita-cerita televisi atau novel memberikan acuan kepada kita untuk mengembangkan diri kita. Seorang wanita muda menjadi ibu yang baik dengan melihat tokoh ibu ideal dalam drama televisi; seorang penyandang cacat merasa optimis terhadap masa depannya, dengan membaca kisah penyandang cacat yang berhasil dalam hidupnya.

Teori stimulasi memandang manusia sebagai makhluk yang “lapar stimuli”, yang senantiasa mencari pengalaman-pengalaman baru, yang selalu berusaha memperoleh hal-hal yang memperkaya pemikirannya hasrat ingin tahu, kebutuhan untuk mendapat rangsangan emosional, dan keinginan untuk menghindari kebosanan merupakan kebutuhan dasar manusia. Komunikasi massa menyajikan hal-hal yang baru, yang aneh, yang spektakuler, yang menjangkau pengalaman-pengalaman yang tidak terdapat pada pengalaman individu seharihan.

Televisi, radio, film, dan surat kabar mengantarkan orang pada dunia yang tidak terhingga baik dengan kisah-kisah fantastis maupun peristiwa-peristiwa aktual. Dengan menggunakan istilah Daniel Lerner, media massa menyajikan pengalaman bautan (vicarious experience).

Teori teleologis memandang manusia sebagai makhluk yang berusaha mencocokan persepsinya tentang situasi sekarang dengan representasi internal dan kondisi yang dikehendaki. Teori ini menggunakan komputer sebagai pemuasan kebutuhan yang subur.

Isi media massa sering memperkokoh moralitas konvensional dan menunjukkan bahwa orang yang berpegang teguh kepadanya memperoleh ganjaran dalam hidupnya. Selain itu cerita-cerita yang mengisahkan tokoh-tokoh yang menyimpang, tetapi kemudian berhasil dalam hidupnya memberikan konfirmasi pada orang-orang yang sekarang berperilaku tidak konvensional.

Teori utilitarian memandang individu sebagai orang yang memperlakukan setiap situasi sebagai peluang untuk memperoleh informasi yang berguna atau keterampilan baru yang diperlukan dalam menghadapi tantangan hidup. Dalam teori ini, hidup dipandang sebagai satu medan yang penuh tantangan, tetapi juga yang dapat diatasi dengan informasi yang relevan.

Komunikasi massa dapat memberikan informasi, pengetahuan dan keterampilan seperti – walaupun tidak sama – apa yang dapat diberikan oleh lembaga-lembaga pendidikan. Berbagai penelitian membuktikan bahwa banyak orang yang memperoleh informasi dan media massa. Ibu-ibu rumah tangga mungkin memperoleh keterampilan memasak dan resep-resep yang terdapat dalam majalah wanita. Anak-anak SD belajar mënjawab pertanyaan TPB dan soal-soal yang terdapat pada majalah anak-anak. Petani mengetahui cara menggunakan pupuk dan insektisida dari siaran radio pedesaan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *