Lompat ke konten
Kategori Home » Sosial Politik » Model Model Demokrasi

Model Model Demokrasi

  • oleh

Empat model yang dibicarakan sebelumnya tergolong dalam model-model demokrasi klasik (Held 1987). Pada bagian ini pembicaraan akan dilakukan dengan memperkenalkan dan mendiskusikan pemikir demokrasi modern. Secara garis besar para pemikir abad 20 ini bisa dikelompokkan ke dalam empat model:

  • procedural democracy
  • pluralist democracy
  • legal democracy
  • participatory democracy

Pembahasan dimulai dengan model pertama.

Procedural democracy bersumber dari pikiran-pikiran yang dikembangkan Weber dan Schumpeter. Gagasan yang dikembangkan kedua pemikir ini memiliki setidaknya tiga karakter. Pertama, keduanya mewarisi tradisi protective democracy dalam hal melihat ancaman yang bisa ditimbulkan kekuasaan Negara dan suara mayoritas terhadap kebebasan sipil dan perhatian yang serba terbatas pada aspek partisipasi dan perkembangan moral individu.

Kedua, kedua pemikir ini, terutama Schumpeter, berupaya membedakan gagasannya dari pemikir sebelumnya dengan menyebut model yang dikembangkannya sebagai model saintifik yang berbasiskan pada empirisme dan berfungsi menjelaskan proses bekerjanya demokrasi dalam masyarakat modern.- Ketiga, baik Weber maupun Schumpeter melihat masyarakat pada umumnya terbelah dua menjadi kelompok elit dan massa.

Demokrasi bagi keduanya terkait erat dengan proses memilih elit. Weber adalah seorang liberal in despair. Kecemasannya bersumber dari pengamatannya atas kehidupan modern yang ia anggap berpotensi mengancam kebebasan sipil. Kehidupan modern ini adalah kapitalisme industrial. Sebagai

fenomena khas masyarakat Barat yang menempatkan rasionalitas sebagai pusat segala tindakan, kehidupan kapitalisme industrial menekankan arti penting keahlian, ilmu pengetahuan dan teknologi.

Menurut Weber rasionalitas menciptakan birokratisasi kehidupan modern yang ditandai dengan peningkatan pesat jumlah organisasi berskala raksasa dalam masyarakat Barat. Bkokrasi dan

organisasi-organisasi ini merupakan ancaman terbaru bagi gagasan individualisme dan social difference. Demokrasi bagi Weber adalah urusan mengendalikan kekuasaan birokrasi.

Sejak mesin birokrasi dijalankan tangan tangan profesional maka demokrasi juga harus menyediakan mekanisme yang menghasilkan kepemimpinan yang berkwalitas. Profesionalisme dalam birokrasi—yang ironisnya bagi Weber tetap diperlukan—hanya bisa diimbangi melalui sistem parlementer yang menghasilkan dan dihuni para politisi yang memiliki kapasitas kepemimpinan yang kuat. Tegasnya, demokrasi tak lain dari prosedur menyeleksi elit yang kuat dan berkwalitas.

Pandangan minimalis ala Weber diadopsi Schumpeter beberapa tahun kemudian.

Bagi Schumpeter demokrasi adalah sebuah prosedur politik dengan tiga fiingsi utama: Pertama, sebagai metode politik memilih pemimpin; kedua, sebagai metode yang memungkinkan warganegara mengganti pemerintah; ketiga, sebagai metode yang memungkinkan semua anggota masyarakat mendaftarkan preferensinya. Schumpeter menolak gagasan popular sovereignty.

Schumpeter percaya para pemilih (warganegara) pada umumnya lemah, mudah terjebak dalam dorongan-dorongan emosional, secara intelektual tidak memiliki kemampuan memutuskan dan mudah dipengaruhi. Dia juga percaya isu-isu politik adalah barang mewah, jauh dari persoalan dan kepentmgan hidup seharihari orang kebanyakan.

Tak heran jika Schumpeter mendiskreditkan semua model klasik yang menurutnya terlalu percaya pada adanya common good, meremehkan kwalitas keputusan yang dihasilkan oleh kekuatan dan mekanisme non-demokratis dan mengabaikan propaganda media sebagai kekuatan baru yang mengaburkan makna popular will.

Sebagai gantinya Schumpeter mengidentikan demokrasi dengan market politics yang menempatkan politisi sebagai produsen dan pemilih sebagai konsumen. Pemilihan (inti demokrasi)

adalah proses menyeimbangkan kebutuhan politisi/produsen/supply dan pemilih/konsumen/demand. Partisipasi di luar arena pemilu tidak diperlukan karena akan mengganggu keseimbangan permintaan-penawaran dan karenanya menghambat proses pembuatan keputusan yang baik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *