Lompat ke konten
Kategori Home » Arsitektur » Ekologi Kota

Ekologi Kota

  • oleh

Sebuah kota berisi organisma, baik populasi manusia maupun binatang dan tumbuhan,   yang   saling   berhubungan   secara   kompleks.   Beberapa   penulis menyebutnya sebagai ekosistem kota, yang didalamnya terjadi pergerakan atau aliran energi dan material untuk proses kehidupan.

Meskipun demikian, beberapa penulis  menyangkal  bahwa  tidak  ada  satu  pun  kota  yang  dapat  mencukupi kebutuhannya  sendiri (self-sustaining), sehingga  kota  tidak  dapat  benar-benar dikatakan sebagai sebuah ekosistem. Untuk dapat mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri, sebuah sistem harus memiliki produsen, konsumen dan dekomposer, begitu juga energi dan material. Pada kenyataannya, kota tidak memiliki cukup tanaman — sebagai produsen — untuk menunjang kehidupan populasi manusia dan binatang yang  tumbuh  cepat.

Untuk  hidup,  mereka  bergantung  kepada  daerah-daerah pertanian di luar batas kota, bahkan di tempat-tempat yang sangat jauh di dunia. Disamping makanan, kota mendatangkan udara, material dan energi dan harus membuang produk-produk limbah padat, limbah cair, dan limbah gasnya.  Sebagai  ganti  dari  fungsi-fungsi  penunjang  hidupnya,  kota  menyediakan sejumlah keuntungan penting, seperti barang dan jasa, informasi, pengolahan pabrik, teknologi dan hiburan untuk seluruh masyarakat. termasuk lapangan kerja dan tempat  tinggal  bagi  penduduknya.  Itulah  sebabnya,  mungkin  lebih  tepat  kalau menyebut kota  dengan kawasan  sekitarnya  sebagai sebuah  ekosistem,  daripada hanya area di dalam kota itu sendiri.

Meskipun sebuah kota menghasilkan atau menyediakan berbagat keuntungan, sebuah  kota  juga  menciptakan  sejumlah  besar  persoalan.  Persoalanpersoalan tersebut sebenarnya tidak hanya ditemukan di daerah perkotaan (urban) dan memang salah satu penyebabnya adalah proses urbanisasi. Seperti dikatakan oleh Theodore Rozak dalam Miller dan Armstrong (1982):

“Kota metropolitan    merentangkan belalai-belalainya sepanjang puluhan kilometer dari pinggiran kota yang telah bertumbuh tidak karuan. Belalaibelalai itu menyedot setiap lahan subur dan hutan belantara ke dalam metabolisme teknologinya. Kota, kemudian memaksa penduduk perdesaan untuk keluar dari   jahan   mereka   dan   menggantikannya   dengan   kegiatankegiatan agroindustri yang sangat luas. Para pekerja kota membawa buldozer dan mobil-mobil derek dengan suara bising ke daerah-daerah yang masih   sepi   untuk   membangun   jaringan   transport.   komunikasi   dan infrastruktur lainnya, dan merubah lansekap perdesaan yang asri menjadi lansekap  liar.  Selanjutnya,  kota  membuang  limbahnya  ke  dalam  sungai, danau dan laut, atau membawa dan membuangnya ke tempat-tempat terbuka yang jauh. Bumi menjadi tempat sampah bagi kota”.

Kota, daerah perkotaan, dan megalopolitan dapat dianggap sebagai ekosistem yang self-sustaining (memenuhi kebutuhannya sendiri) hanya apabila kita memasukan:

1. Pertanian, pertambangan, transportasi, dan daerah-daerah lain di seluruh dunia yang menyediakan masukan material bagi kota tersebut; serta

2. udara, sungai, laut dan tanah sebagai wadah limbah-limbah yang dihasilkan.

Pada jaman dulu, kota merupakan bagian dari ekosistem lokal atau regional, tetapi pada waktu sekarang daerah perkotaan merupakan ekosistem global. Semua berkeinginan untuk menempati tempat  yang  sama  dan  mengeksploitasi  sumberdaya  yang  sama  yang  terbatas jumlahnya. Meskipun demikian perlu diingat bahwa dalam pertumbuhannya, tidak ada daerah perkotaan atau kota yang dapat berlanjut secara sendiri-sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *