Lompat ke konten
Kategori Home » Sosial Politik » DEVELOPMENTAL DEMOCRACY

DEVELOPMENTAL DEMOCRACY

  • oleh

Persoalan sentral protective democracy adalah penekanan yang berlebihan pada liberalisme  dan  kecenderungan  menjadikan  demokrasi  sebagai  alat  untuk mencapai  dan  melindungi  kebebasan  sipil.  Di  saat  bersamaan  kebanyakan pemikir  model  ini  tergolong  reluctant  democrats. Sebagian  besar  mewarisi kecurigaan  terhadap  tirani  mayoritas  yang  justeru  berpotensi  mengancam perwujudan  demokrasi  itu  sendiri. 

Karena  itu  hampir  dipastikan  jika  dalam praktiknya liberalisme bertentangan dengan demokrasi maka para pemikir ini akan  memilih  untuk  menjadi  tidak  demokrat.  Bertolakbelakang  dengan  itu, gagasan developmental democracy memperhatikan dua hal: pertama, kondisi perkembangan moral dan sosial setiap individu, dan, kedua, konsekwensi yang ditimbulkan   dari   keterlibatan   warganegara   dalam   proses   politik   terhadap perkembangan tersebut. Karena itu kalaupun demokrasi dilihat sebagai alat maka alat ini semestinya berfungsi untuk membentuk individu dan warganegara yang baik dan berkwalitas.

Pemikir   utama   developmental   democracy  adalah   Rousseau   dan Wollstonecraft.   Menurut   Rousseau   demokrasi   identik   dengan   partisipasi langsung setiap warganegara (dewasa dan laki-laki) dalam upaya menghasilkan general will. Partisipasi mendapat tekanan penting sebab bagi Rousseau dalam mekanisme ini setiap individu didorong bukan saja untuk terlibat aktif dalam kehidupan  bernegara  tapi  juga  untuk  berpikir  serius  tentang  general  will. Partisipasi karenanya memiliki kekuatan untuk mendorong perkembangan moral dan sosial individu melalui realisasi kapasitas berpikir (reason). Pada gilirannya realisasi kapasitas berpkir merupakan langkah awal menuju^/to experience of liberty.

Bagi Rousseau demokrasi bertentangan dengan kesenjangan kekayaan. Argumennya,  kesenjangan  pemilikan  dan  kontrol  atas  sumber  daya  akan menghasilkan ketimpangan politik, ketika kelompok sosial yang memiliki banyak privilege memiliki kans partisipasi yang lebih besar. Tapi kemudian cara berpikir ini dikritik Wollstonecraft. Pemikir feminis ini setuju dengan argumen Rousseau, namun memperluas isu kesenjangan ke wilayah gender. Bagi Wollstonecraft ketimpangan gender yang tampil dalam bentuk keterbatasan akses ke dunia politik dan publik bagi kaum perempuan merupakan hambatan penting—selain kesenjangan kekayaan—bagi perwujudan partisipasi dan demokrasi.

Pemikir  developmental  democracy lainnya  adalah  John  Stuart  Mill. Menurut Mill demokrasi mendorong free development of individuality karena sistem  ini  hanya  bisa  berjalan  jika  setiap  individu  mampu  mengoptimalkan kapasitas  pribadinya (reason dan  logic) secara  bebas.  Namun  agar  bisa terwujud, salah satu tugas penting demokrasi adalah mencegah munculnya kekuasaan politik yang despotik, terutama yang tampil dalam tirani mayoritas dan bersumber dari kecenderungan birokratisasi negara. Untuk itu Mill mengusulkan sistem representatif yang mengabungkan “akuntabilitas” dan “profesionalisme” dengan cara memilih fewselected elit yang berfungsi untuk mengontrol kerja pemerintah. Selain itu Mill juga mewarisi tradisi utilitarianisme. Upaya membatasi kekuasaan  negara  bagi  Mill  sejalan  dengan  semangat  pasar  bebas.  la menyatakan setiap orang mengetahui apa yang terbaik bagi dirinya (secara moral maupun dari sisi desire). Karena itu berikan kebebasan kepada setiap individu untuk mengejar prefernesi-preferensinya. Melanjutkan tradisi generasi pertama  utilitarianis  Mill  menekankan  pemisahan  yang  tegas  antara  private sphere yang dikelola menurut prinsip-prinsip pasar bebas dan public sphere yang ditata berdasarkan gagasan representative democracy, Wilayah privat atau pasar bebas merupakan wilayah tempat free development of individuality.

Wilayah publik atau demokrasi representatif berfungsi menjamin dan rnelindungi  pelaksanaan  pasar  bebas.  Akhknya,  Mil  juga  mewarisi  tradisi Wollstonecraft. la percaya pada emansipasi perempuan sebagai syarat penting lainnya bagi free development of individuality.

Ref : Universitas Gadjah Mada

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *