Penerapan sistem politik sentralistik dan hegemonik menyebabkan negara cenderung telah mengembangkan model kebijakan dan sistem birokrasi pemerintahan yang mengarah pada penyeragaman di hampir semua aspek kebijakan. Dalam kondisi demikian, variasi dan dan keanekaragaman budaya lokal yang mewarnai sistem birokrasi di berbagai daerah menjadi hilang.
Varian local dalam birokrasi berubah menjadi keseragaman budaya dengan ciri terjadinya sentralisasi kebijakan. Sistem sentralisasi telah menempatkan sistem pelayanan publik yang dikembangkan menjadi sangat birokratis, formalisme dan berbelit belit.
Implementasi kebijakan yang bersifat sentralistik dan penyeragaman tersebut di daerah dilakukan dengan penyusunan sejumlah kebijakan teknis yakni dalam petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis. Penyimpangan dari juklak dan juknis akan dianggap sebagai penyimpangan. Penyimpangan dari aturan baku akan mendatangkan stigma yang tidak menguntungkan bagi birokrat karena mempunyai konsekuensi terhadap karier mereka pada masa mendatang.
Budaya birokrasi dapat digambarkan sebagai sebuah sistem dan seperangkat nilai yang memiliki simbol, orientasi nilai, keyakinan, pengetahuan dan pengalaman kehidupan yang terinternalisasi ke dalam pikiran. Seperangkat nilai tersebut diaktualisasikan ke dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan yang dilakukan oleh setiap anggota dari sebuah organisasi yang dinamakan birokrasi. Jika dicermati ada beberapa budaya birokrasi yang muncul di Indonesia yaitu :
1. Paternalisme : Sebuah Pengaruh Sistem Kerajaan
Internalisasi budaya kraton ke dalam birokrasi memunculkan watak birokrasi yang cenderung menempatkan dirinya merasa lebih tinggi daripada masyarakat kebanyakan. Hal ini, pada akhirnya berimplikasi kepada sistem nilai dan norma yang dipakai dalam sistem birokrasi di Indonesia adalah menggunakan standar ganda.
Pada satu sisi ada keinginan birokrasi untuk berperilaku layaknya sebagai seorang priyayi yang berkuasa yang harus dilayani dan pada sisi lain birokrasi juga berfungsi sebagai pelayan yang harus mengetahui kebutuhan masyarakat yang dilayaninya. Dualisme orientasi nilai ini mengakibatkan munculnya sikap yang ambivalensi, karena tidak ada pemisahan antara kepentingan formal kedinasan dengan kepentingan pribadi. Realitas birokrasi ini akan melahirkan gaya hidup feodal dalam birokrasi yang mempengaruhi perlakuan birokrasi terhadap rakyatnya.
2. Nilai, Tradisi dan Simbol dalam Birokrasi
Pada tingkat atas struktur birokrasi, perilaku dan simbol–simbol yang digunakan oleh elite birokrasi diarahkan untuk mencari dan mempertahankan karakteristik yang menjadi status dan simbol dari kelompok elite dalam birokrasi. Nilai–nilai tradisional yang menjadi ciri khas dari budaya feodal justru lebih tampak menonjol dalam sistem birokrasi di Indonesia dibandingkan dengan nilai–nilai budaya sebagai birokrasi modern yang ingin diterapkan.
Simbol budaya priyayi yang menjadi simbol dari budaya feodal lebih banyak diadopsi dan diminati oleh Para anggota birokrasi. Selain itu, sistem nilai dan simbol yang berlaku pada pejabat birokrasi juga tampak pada tempat kerja dan perrsyaratan yang harus dipenuhi agar dapat menemui pejabat birokrasi.
3. Kultur Birokrasi Dalam Kinerja Pelayanan
Kultur birokrasi pemerintahan yang seharusnya lebih menekankan pada pelayanan masyarakat ternyata tidak dapat dilakukan secara efektif oleh birokrasi di Indonesia. Corak budaya agraris yang masih dimiliki oleh sebagian besar masyarakat Indonesia cenderung mengembangkan budaya harmoni sosial dalam masyarakat. Sentralisme birokrasi telah membentuk pola pemerintahan yang bersifat hierarkhisbirokratris sehingga terkesan sangat kaku dan menjadi tidak responsif terhadap tuntutan perkembangan dalam masyarakat. Sentralisme birokrasi telah menyebabkan birokrasi terjebak ke dalam pengembangan kultur organisasi yang lebih berorientasi vertikal daripada kultur horizontal yang lebih berorientasi kepada kepentingan publik.
Rekomendasi Kebijakan Di Indonesia
Ada beberapa rekomendasi kebijakan yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kinerja birokrasi pelayanan publik di Indonesia yaitu :
1. Perubahan struktur birokrasi yang memungkinkan prosedur pelayanan yang sederhana, kewenangan mengambil keputusan sehingga tindakan para penyelenggara menjadi lebih responsif, dan kelonggaran hubungan hierarkhi yang memungkinkan hubungan antara atasan dan bawahan menjadi bersifat kolegial dan egaliter.
2. Perubahan–perubahan non struktural yang memungkinkan perubahan pada perubahan nilai–nilai, budaya dan etika pelayanan yang berbeda.
3. Pemerintah perlu mendorong terjadinya perubahan lingkungan birokrasi dan menciptakan lingkungan baru yang lebih kondusif bagi berkembangnya good governance.
4. Pengembangan kemitraan antara pemerintah dengan masyarakat, termasuk dunia usaha dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
5. Pemerintah bisa menyerahkan kepada swasta kegiatan–kegiatan tertentu dalam penyelenggaraan pelayanan kepada dunia usaha.
6. Perlu ada kebijakan makro yang mengubah mindset dari para pejabat birokrasi dalam penyelenggaraan pelayanan.
7. Kebijakan untuk memberikan batas waktu usia sebuah prosedur dan peraturan dalam penyelenggaraan pelayanan. Ketika sebuah prosedur dan peraturan pelayanan publik tidak disahkan lagi, maka para pejabat birokrasi bisa menggunakan dikresinya untuk menentukan cara terbaik dalam melayani masyarakat.
8. Penggunaan misi birokrasi sebagai kriteria untuk menilai tindakan seorang pejabat pemerintah dan birokrasi.
9. Pemerintah perlu melakukan konsolidasi dan restrukturisasi pemerintah dan birokrasinya
Referensi :
Dwiyanto, Agus, dkk., 2002, Reformasi Birokrasi Publik Di Indonesia, Yogyakarta, Pusat Studi Kepcndudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada.
Koentjaraningrat, 1997, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta, Gramedia.
Mas’oed Mochtar, 1994, Politik, Birokrasi dan Pembangunan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.